Chereads / Voice Of Divided Soul [IND] / Chapter 3 - Chapter 2 ANTHURIUM : KINDNESS

Chapter 3 - Chapter 2 ANTHURIUM : KINDNESS

Wanita pucat itu hanya menatap gedung tersebut dengan tatapan kosong. Letaknya agak jauh dari rumahnya namun entah bagaimana ia sampai ditempat tersebut tanpa mengingat saat ia berjalan.

Biasanya saat suara yang ada didalamnya mengambil alih tubuhnya ia bisa melihat atau mengetahui dimana ia berada dan ia bisa dengan sangat mudah untuk melepaskan diri. Ini pertama kalinya dalam hidup Jenira, untuk terlalu larut atas apa yang ia pikirkan sampai suara didalam dirinya mengambil kemudi atas tubuhnya.

Apa boleh buat pikirnya.

Ia pun dengan mantap mengetuk pintu namun pintu tersebut terbuka dengan sendirinya sebelum ia menyentuhnya,

tentu saja oleh satpam dengan wajah tegasnya bertanya pada Jenira ada keperluan apa ia kemari. Setelah memperlihatkan kertas lowongan kerja yang ia dapat di dinding pengumuman Jenira diarahkan ke sebuah lorong yang panjang. Walau kelihatan bangunan kecil ternyata saat memasukinya tempat ini sangat luas.

''Dengan percobaan ini, kau tidak bisa kembali lagi. Apa betul kamu mau membuang semuanya?'' pria tersebut tidak terlalu tua mungkin ia berumur lima tahun lebih tua dari wanita pucat di sampingnya. Dengan suara dan mata yang lelah menandakan ia bekerja dengan baik.

''Tidak apa'' ia hanya menjawab singkat.

''Benarkah ini yang kau inginkan?'' suara langkah kaki menemani mereka berdua seakan menguping dari bawah kaki saat berjalan.

''Entahlah'' Jenira agak binggung menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan padanya. Sebenarnya ia juga agak binggung kenapa atau bagaimana bisa ia berjalan lebih dari satu kilometer dari rumahnya menuju tempat ini. Apa ia sudah sinting? Mungkin ya, karena ia selalu mendengar suara orang asing dari dalam dirinya saat orang lain tidak bisa mendengarnya.

Agak menakutkan kala ia bisa mendengar mereka bila ia membutuhkan nasehat saat melakukan sesuatu yang rumit. Tapi mereka tidak pernah melakukan hal yang bagi Jenira salah, atau menyesatkan.

Sampai saat kejadian seperti ini.

Mungkin dia harusnya pulang dan berbicara pada ibunya maupun adiknya yang sedang belajar

''Oh? dan menganggu mereka? Itu tidak baik'' suara dengan nada tinggi.

Seseorang atau sesuatu yang paling Jenira tidak terlalu suka.

Jika ditanya, apa Jenira membenci pemilik suara ini.

Jawabannya tidak, ia tidak membencinya Jenira hanya tidak suka dengan perkataan yang kerap suara tersebut lontarkan.

Saat ini hanya suara langkah kaki yang menjadi teman berjalan bagi Jenira. Dan tentu saja pria yang disampingnya terus menasihati Jenira bahwa keputusan ini tidak akan membuat siapapun senang, tentu saja wanita pucat itu hanya tersenyum. Tidak memberikan jawaban pasti pada penjaga tersebut.

Bagaikan bunga ringkih yang diterpa angin semilir terus bertahan sampai gugur

Akhirnya mereka pun berhenti disuatu tempat.

''Diruangan ini ada dokter yang akan mewancaraimu,'' pria itu menatap dalam-dalam pada Jenira

''Kau tahu, ini pertama kalinya aku melihat wanita sepucat kau. Kukira kau hantu atau semacamnya'' Wanita tersebut hanya tertawa kecil

''Terima kasih sudah mengantarkan'' Pria itu mengetuk pintu yang ada di depannya, pintu itu tidak berat tapi terdengar sangat ringan, saking ringannya suara ketukannya menggema ke seluruh ruangan.

''Masuk'' setelah jawaban tersebut pria itu membukakan pintu perlahan-lahan.

''Dokter Jonathan, ada yang ingin bertemu dengan anda'' Jonathan mengadah untuk melihat kearah pintu dan begitu kagetnya ia saat melihat Jenira berdiri di depan pintu.

''Pucat sekali''

Jenira hanya diam dan menurunkan tatapannya ke bawah. Seakan lebih tertarik dengan sepatu hitamnya yang sangat kontras dengan warna kulitnya.

''Ah….maaf. Silahkan duduk''

Setelah duduk Jenira menjelaskan untuk apa kehadirannya di dalam ruangan tersebut, tujuannya membuat Jonathan senang namun agak kecewa dengan keadaan kota saat ini. Wanita pucat ini akan sangat rentan dengan apa yang akan dia hadapi di masa depan, ditambah dengan warna rambut yang unik, kemungkinan besar dia akan tewas dengan cepat jika ia terbagi hanya menjadi beberapa bagian. Wanita ini sangat naif, saking naifnya Jonathan ingin menasehatinya.

Mungkin.

Apa orang tuanya tidak menasehatinya terkait dengan percobaan petal?

Atau apapun?

Sendirian menuju tempat ini dengan baju terusan berwarna kuning, topi lebar dan payung. Mungkin kulitnya sangat sensitive dengan matahari. Saking pucatnya Jonathan berfikir bahwa wanita ini hanya sebuah ilusi.

Mungkin ia harus berhenti meminum kopi setiap hari. Wajah lelah, dan kantung mata ditambah banyak pemberontakan terhadap percobaan petal dikota ini membuat ia tidak bisa tidur dengan tenang. Seakan bisa terbunuh kapan saja, dimana saja. Tapi begitu beruntungnya, laboratorium ini tidak memberikan informasi yang jelas didalam datanya.

''Maaf, apa aku harus membawa berkas yang harus ku bawa sebelumnya?''

Jonathan pun terbangun dari khayalannya. Keheninganya pasti membuat wanita pucat ini gugup.

"Tidak, kami hanya butuh kartu pengenal saja dan tentu saja wawancara. Jadi kenapa kau disini? Coba jelaskan kembali dengan singkat''

Jenira mengambil secarik kertas dan menunjukan pada pria di depannya.

''Kau ingin menjadi petal?'' Jenira menggeleng

''Aku juga ingin menjadi polisi atau seseorang yang bisa membantu''

Pria itu memberikan wajah bertanya

''Bukankah lebih baik jadi polisi dibandingkan polisi petal?'' Tentu jika anda manusia yang bisa dibilang 'normal' atau punya pemikiran yang jauh, anda tidak akan menjadi petal disaat genting seperti ini.

''Mereka lebih kuat di bandingkan manusia normal. Aku lemah sejak aku lahir. Lihat aku, kulitku sensitif dengan cahaya matahari. Fisikku kecil tidak mungkin dengan tubuh ini aku bisa pekerjaan kasar''

Jenira terus melihat kepada pria di hadapannya saat berbicara. Dengan Teguh ia menyampaikan apa yang ia inginkan. Lalu tentu saja, suara di dalam kepalanya terus berbicara yang tidak-tidak.

''Uwaau, pria tampan'' suara yang manis menggoda memuji Jonathan.

''Fokuslah sedikit'' suara ini, suara yang berbeda dengan yang lain. Suaranya menyerupai suara pria. Dalam, tapi tenang saat berbicara. Suara ini jarang terdengar oleh Jenira, suara ini selalu menjadi alasan wanita pucat ini tidak mengambil pilihan yang tidak benar.

''Tapi lihat bibirnya yang-''

suara ini terpotong saat Jonathan bertanya.

''Jangan berfikir yang aneh-aneh di depan orangnya!'' Jenira mencubit jarinya sendiri sehingga membuat suara yang ada dipikirannya berhenti.

''Jelaskan padaku, kenapa aku harus menerimamu?''

Akhirnya, pertanyaan yang membuat Jenira merasa putus asa. Karena pertanyaan seperti ini Jenira ditolak di sebuah bar. Walau sebenarnya ia sudah cukup umur, bar tidak menerima wanita seperti Jenira

Dikarenakan ia wanita, terlalu mencolok, dan wajahnya seperti anak-anak. Namun ia tahu benar pertanyaan seperti ini lah yang akan menilai pendirian pada pekerjaan ini, apa ia mampu atau apakah ia mau belajar dari apa yang diberikan padanya? Ini prosedur yang normal didalam kehidupan nyata.

Namun Jenira yang agak lambat dalam berpifikir mendapatkan pertanyaan seperti ini, membuatnya panik walau ia tidak menunjukan hal tersebut pada wajahnya.

''Aku tidak mudah menyerah''

Kata-kata menyerah.

Hanya itu yang bisa ia pikirkan. Ia tidak mau menyerah dengan hal-hal yang akan dihadapi. Dia tidak akan bisa menyerah jika keamanan keluarganya di pertaruhkan pada masa seperti ini.

Dia tidak akan bisa menyerah.

Karena suara didalam pikirannya tidak memperbolehkan dirinya menyerah dengan mudah.

''Jawaban yang bagus. Kami akan melihat, seberapa tangguhnya kamu saat kami berikan test tertentu'' Jonathan pun terdiam

''Kau pulang lah dulu, lusa kami akan menghubungi orang tuamu''

Bedebah, pikir Jenira. Jika orang tuanya tahu ia mendaftar sebagai petal polisi mereka akan pingsan di tempat.

''Tidak, jangan beri tahu orang tuaku, atau adikku. Mereka tidak boleh tahu soal ini'' jelas Jenira. Pria didepannya melemparkan senyuman terpaksa padanya.

''Hah! Sudah ku duga'' Jonathan melempar senyuman penuh dengan kemenangan, ia merasa wanita ini akan gagal seperti yang lain.

''Baiklah, Nona Jeni. Aku tahu kau akan berbohong pada keluargamu jika kau mendapatkan pekerjaan ditempat jauh bukan? Berbohong itu tidak baik pada orang tuamu. Itu dosa besar sekali"

Memang benar namu-

"Tapi jika surga saja belum tentu untukku, buat apa aku mengurusi nerakamu. Aku bukan tuhan, malaikat, atau apalah itu. Kita hanya manusia, dengan berbagai tujuan, berbagai macam sifat, berbagai macam bentuk dan berbagai macam keinginan. Intinya, aku tidak menilaimu buruk atau baik.''

"Tunggu, aku tidak mengerti dengan pria ini.'' Suara tenang terdengar didalam kepala Jenira.

''Jadi rencana apa yang harusku buat?''

Ia terdiam sejenak

''Tidak mungkin aku diterima sebagai peneliti. Aku hanya lulusan perpustakaan, dan ini sudah menjelang malam, orang tuaku akan bertanya padaku kemana saja aku pergi''

Dengan frustrasi Jenira melimpahkan semua yang dipikirnya pada Jonathan.

Entah suara siapa yang Jenira katakan,

entah ide siapa hingga membuat Jenira berbicara seperti ini.

Entah siapa yang mengambil alih tubuhnya saat ini.

''Akan ku antar pulang. Aku akan bilang pada orang dirumahmu kau akan bekerja sebagai sekretaris pribadiku dan akan ditempatan di kota yang agak jauh dari tempat ini'' Dengan mudah dan serius dalam suaranya pria ini melontarkan idenya pada Jenira.

Agak masuk diakal, Jenira yang memiliki Albinism bekerja di dalam ruangan sebagai sekretaris sebuah perusahaan. Fisiknya tidak terlalu buruk untuk dijadikan sekretaris pribadi, wajahnya juga masih muda ditambah dia barusan mengatakan lulusan perpustakaan. Jonathan tidak mengerti pekerjaan seorang perpustakawan tapi mungkin itu bisa berguna jika ia akan bekerja menjadi seorang sekretaris.

Jonathan pun bangkit dari kursinya.

''Sebelum kau diterima, ikutlah''

Jenira pun mengekor, keluar dari ruangan tersebut. Suara langkah mereka menemani perjalanan sunyi. Lorong tersebut seperti lorong rumah sakit, dan aromanya pula sangat mirip dengan cairan pengepel anti bakterial. Udara dialam ruangan pun terjaga, tidak lembab tidak pula terlalu kering.

Biasa saja,

namun ada satu yang mengganggu Jenira saat ia berjalan disamping pria yang lebih tinggi tersebut.

Suara erangan kesakitan, amarah, dan

tangisan?

Jenira terdiam saat suara teriakan semakin terdengar nyaring didepannya, membuat ia tersentak. Jonathan hanya memandangi wanita pendek disamping

''Yang kau dengar adalah mereka yang gagal dalam percobaan petal. Mereka gagal karena terbagi menjadi lima atau lebih, percobaan ini selalu tidak tentu"

Tidak tentu? Pikir Jenira. Jika percobaan ini selalu tidak tentu dalam hasil akhirnya, bukannya lebih baik untuk tidak melakukan hal tersebut? bukankah semenjak adanya virus yang menghilang secara tiba-tiba tersebut membuat hampir sebagian besar manusia tidak mau mengandung anak dan berdampak pada angka kelahiran manusia yang semakin menipis?

"Kau seperti memikirkan hal yang rumit, ada yang ingin kau tanyakan?" ucap Jonathan pada teman disebelahnya.

Melihat wajahnya yang sudah pucat seperti hantu membuat pria itu tidak bisa membaca ekspresi lawan bicaranya. Entah ia ketakutan dengan suara teriakan yang sekarang hanya sayup-sayup terdengar ditelinga mereka atau mungkin wanita disamping tersebut sedang berfikir untuk menjadi percobaan disini.

Pria tersebut tidak takut jika wanita ini adalah seorang wartawan yang ahli dalam memainkan watak sehingga membuat Jonathan sendiri kagum. Jika benar dia hanya berpura-pura. Karena walaupun wanita disampingnya adalah wartawan, ia tidak akan bisa keluar lagi. Ia akan dimasukan kedalam sel tahanan dan akan dituduh dikarenakan mengikuti demonstran dan melakukan hal yang provokatif sehingga mengancam jiwa orang lain. Bagi laboratorium ini, hal seperti itu lumrah untuk menjaga privasi, data terkait, dan rahasia-rahasia yang memang sengaja di kubur bersama dengan mayat para percobaan gagal maupun pembelot didalam gedung tersebut.

Didalam gedung ini hukum rimba terkait dengan pengkhianat akan selalu ada. Siapa yang mau menjalankan perintah ia akan selamat, tapi tidak dengan sebaliknya. Siapa pun yang membelot pada perintah yang diberikan akan menjadi bahan percobaan selanjutnya. Entah terkait dengan petal maupun tidak. Entah dibiarkan hidup, entah tidak.

Inilah kehidupan didalam gedung tersebut.

Siapa yang kuat akan hidup lebih lama.

"Jika aku tewas karena percobaan ini. Apa aku bisa menuliskan bahwa aku tewas dikarenakan hal lain?" pria disampingnya memandanginya dan berhenti berjalan didalam lorong tersebut. Terhenyak dengan apa yang wanita tersebut katakan. Ia tidak takut tewas namun ia takut dengan apa yang keluarganya pikirkan? Sebesar itukah wanita ini mencintai keluarganya?

Atau

mungkin sebesar itukah ketakutannya pada keluarga tersebut? wanita yang aneh pikir Jonathan. Ia hanya menatap dua buah bola mata yang warnanya hampir menyerupai warna delima

"Itu bisa diatur" mereka pun kembali berjalan. Didalam koridor panjang ini, Jenira tidak menemukan seseorang yang melewatinya maupun menegur sapa pria disampingnya.

Sepi, hening dan semakin mereka berjalan lebih dalam, udara disekitar menjadi lebih dingin. Seakan seperti musim dingin yang baru saja dimulai, semuanya putih. Kecuali pintu-pintu yang ada di koridor. Warna mereka sama, berwarna putih namun berbeda kontras dengan warna dinding yang terbuat dari semen lalu dicat putih. Suasana yang tenang dan damai.

Namun semua itu menghilang saat mereka berdua sampai disebuah lorong dengan sekat kaca dua arah. Mereka melihat banyak orang yang tengah dalam pertarungan. Tidak, ini lebih seperti pembunuhan.

Kenapa ramai sekali.

Banyak darah yang tumpah didinding, dan lantai.

Ricuh, dan riuh dengan suara teriakan dari luar sekat. Jenira hanya menatap dengan mata kosong. Tercengang dengan apa yang ia hadapkan.

Tempat apa ini?

Mereka semua bertarung satu sama lain, wajah mereka semua sama.

Kenapa? Bukankah mereka petal yang sama?

"Mereka semua adalah dari satu orang namun lihat apa yang terjadi bila mereka terbelah menjadi delapan belas orang. Setelah sadar dari bangunnya mereka mulai menghajar satu sama lain. Mereka tidak memberikan keterangan pada kami tentang apapun"

Tinggi dan besar,mereka berbeda satu sama lain namun wajah mereka semua sama. Tidak berbeda sama sekali hanya saja banyak dari mereka yang sudah tidak kuat bertarung akhirnya diam tak bergeming di lantai dengan darah yang menjalar keluar dari tubuh mereka. Seakan ingin mewarnai lantai menjadi merah.

"Inilah mengapa setiap petal yang gagal sama sekali tidak ada di berita-berita, mereka yang gagal karena tidak sempurna akan mencoba membunuh diri mereka yang lain. Tenaga mereka menjadi lebih kuat dibanding dengan sebelum mereka dipisah, kecepatan mereka pun meningkat, dan lihat mereka sekarang. Mereka tidak dapat kami hentikan, ya tentu jika kami membunuh jiwa mereka. Jika kami dapat temukan tentunya" jelas Jonathan, dia menatapnya dengan mata penuh kemenangan,

seolah berharap wanita disampingnya akan menyerah dan mulai menangis melihat madu merah yang berceceran kemana-mana. Air matanya yang asin akan mencari jalan keluar dari dua buah bola merah dimatanya.

Namun itu tidak terjadi.

Tatapan dari wanita tersebut tidak bergeming. Ia terus menatap para petal yang sudah tumbang didepannya, seperti berharap untuk bisa menolongnya. Namun tentu wanita ini akan jatuh tumbang dengan sekali hantaman dari bogem mentah para pria didalam.

"Jiwanya? Kita harus temukan jiwanya" suara yang tenang membuka suaranya dari dalam Jenira.

"Untuk apa? Kita tidak usah ikut campur!" seru suara tinggi,

"Apa kalian masih belum bisa menemukan jiwa pria tersebut?'' Tanya Jenira yang dengan matanya yang mencari jiwa dari para petal yang sudah bersimbah darah. Matanya terus mencari dimana keberadaan sang pemegang nyawa dari para pria tersebut. Lantai yang terbuat dari semen seakan sebentar lagi akan meluat dengan banyaknya darah yang mengalir dari celah dari tubuh-tubuh yang sudah berserakan. Wanita itu terus mencari secara gelisah, seakan seolah-olah dia ingin memberinya belas kasihan dengan kematian yang damai.

Atau dalam hal ini mati dengan menggunakan tatapan matanya yang sudah tajam atau tangan dari orang-orang yang berkuasa di dalam gedung ini. Karena tentunya dia tidak memiliki senjata sekarang.

Dia tidak pernah membawanya setiap kali dia pergi keluar. Matanya yang rabun jauh seakan berusaha diasah hingga tajam, untuk mencari sang jiwa.

Jonathan tertegun dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh wanita kecil yang sedang mencari seseorang di balik kaca dua arah tersebut. Dari luar kaca tersebut sangatlah gelap, mereka yang diluar tidak bisa melihat kedalam dari luar namun tidak sebaliknya. Dari dalam orang-orang bisa melihat betapa kejinya kejadian didalam ruangan dibalik kaca tersebut.

Ia mengira Jenira akan berteriak untuk segera keluar dari ruangan tersebut namun itu salah, bukannya takut melainkan wanita ini berharap untuk menemukan jiwa dari orang yang dia tidak kenal sama sekali.

Kenapa?

Untuk apa?

Kenapa wanita ini berharap sekali orang yang ia lihat diluar untuk tewas seketika? Apa ia ingin pria diluar tewas tanpa rasa sakit yang ia derita sekarang? Apa sebesar itukah empati wanita ini?

"Kami sedang melakukan uji coba pada pria ini. Jadi jangan coba untuk menolong dia, apa kau tau kenapa ia di uji coba dengan brutal seperti ini?'' ia bertanya

"Dia kami pilih dari penjara seumur hidup karena sudah melakukan pembunuhan terhadap satu keluarga yang berisi enam orang di dalam rumah, dia tidak mengambil barang yang ada didalam rumah mereka, ia membunuh hanya untuk bersenang-senang. Hukum pun berjalan nona. Siapa yang menanam ia yang menuai" sambung Jonathan pada Jenira. Wanita tersebut tidak dapat mempercayai apa yang ia dengar. Apa mungkin pria yang ada dihadapannya adalah penjahat yang ditangkap minggu lalu?

''Yvan? penjahat yang minggu kemarin dilaporkan polisi?" Tanya Jenira.

Dikatakan diberita bahwa pria besar dengan kulit putih dan rambut hitam acak-acakan tersebut adalah gangster dari kota lain yang disuruh untuk membuat keributan. Tapi entah itu berita yang benar atau hanya dibuat-buat oleh portal berita.

"Apa dia masih pantas dengan simpatimu? Tentu saja tidak" Ucap Jonathan. Pria tinggi dengan warna rambut kecoklatan seperti tanah basah menoleh kearah Jenira, menunggu jawaban darinya. Menunggu hal apa yang akan wanita itu akan lakukan selanjutnya.

"Semua manusia berhak mendapatkan simpati sebagai mahkluk hidup di bumi ini" ucap Jenira

"Namun apa ia masih bisa dianggap mahkluk hidup? Dia sudah dihukum seumur hidup. Itu artinya kehidupannya sudah menjadi milik hukum, jadi itu tergantung dari hukum yang ada dinegara ini" sambung Jenira.

Ia tidak bergeming melihat Yvan menggigit leher dengan muka yang sama satu sama lain. Namun pertanyaan yang dilontarkan oleh Jonathan terus bergeming didalam dirinya. Apa benar seorang penjahat seperti Yvan berhak mendapatkan simpati dari orang lain? Apakah setiap orang pantas diperlakukan dengan rasa hormat dan kebaikan oleh orang lain? Kapan seseorang pantas mendapatkan kebaikan dari orang lain? Atau kapan seseorang dianggap manusia? Seberapa jauh manusia bisa menyebut dirinya sendiri adalah manusia yang masih bisa berfikir lebih baik dari makhluk lainnya?

Pertanyaan demi pertanyaan terus melayang didalam pikiran wanita pucat ini. Ia tidak dapat menjelaskan pada dirinya mengapa ia terus mempunyai harapan untuk menolong pria yang sudah bersimbah darah sambil berteriak ganas ke semua orang yang ada didekatnya.

Bagaikan hewan liar yang mati-matian bertarung untuk tidak dapat dikurung di kurungan sempit demi terus merasa bebas dari semua campur tangan makhluk asing. Tapi lebih tepat dalam kejadian ini, dari semua campur tangan manusia asing yang Yvan lihat sekarang. Walau wajah mereka bak dibelah pinang ia merasa terancam dengan wajah mereka nan sama tanpa cacat sangat mirip denganya. Kini hanya tinggal tiga orang saja yang masih dapat berdiri dalam pertarungan ini. Mereka tidak dapat dihentikan, peluru, pisau dan hal lainnya tidak dapat membuat mereka berhenti. Kecuali jika seseorang mengetahui mana dari jiwa Yvan sebenarnya. Namun jika jiwa Yvan tewas semua petal yang sudah lemas terkulai pun akan tewas pula.

Mereka yang jatuh sama sekali tidak tewas melainkan kelelahan atau pun kaki dan tangan mereka tidak dapat digerakan sehingga mereka tidak dapat lagi bertarung. Namun darah mereka terus mengalir tanpa henti dari luka robek dari kuku dan tangan dari mereka yang memiliki wajah yang sama.

Terlihat adanya seseorang dari mereka yang kakinya patah dengan kearah yang tidak akan mungkin bisa diperbaiki hanya dengan sekedar istirahat atau dipijat dengan sederhana. Adegan ini sangat brutal, bahkan peneliti kehabisan kertas untuk mencatat dalam laporannya.

Begitu banyak hal yang sangat berguna untuk keberlangsungan percobaan ini, bahkan mereka kagum atas apa yang Yvan lakukan saat terbagun dan mulai melampiaskan emosi yang entah dari mana asalnya, pada dirinya sendiri dan orang lain yang bermuka sama denganya.

Bagi Yvan, yang ia lihat adalah cerminan dari setan yang harus ia berantas jika ia ingin hidup dipenjara ini. Ia tidak sadar bahwa ia sudah menjadi petal dan terbelah menjadi delapan belas orang sekaligus dalam sehari. Matanya masih kabur karena obat yang diberikan dan pikirannya masih berpikir bahwa ini adalah penjara seumur hidup di mana dia akan mati karena obat yang membuatnya melihat musuhnya di wajahnya sendiri.

Sungguh mimpi buruk, wajahku ada dimana-mana Pikirnya. Ia terus meluncurkan bogem mentah kepada orang-orang yang ia lihat dengan wajahnya. Entah berapa orang ia hajar sampai mereka semua tidak bergerak sama sekali.

Darah yang ia liat di pergelangan tangannya yang begitu besar tak ia hiraukan. Cairan kental dengan bau memusingkan khas besi membuat Yvan terus menghajar siapapun yang menyerangnya. Ia akan terus membalas tinjuan demi tinjuan hingga lawannya tidak dapat berdiri kembali. Yang ia lihat sekarang tidak ingin ia percayai sebagai dirinya. Mereka bukan dirinya, mereka hanya bayangan dari obat bius keparat yang disuntikan padanya karena menolak untuk dipindahkan menuju penjara yang lebih tertutup untuk menghindari ia kabur dari tempat yang mengurungnya.

Ia mungkin berpikir untuk kabur, untuk bisa membunuh keluarga yang berbahagia kembali. Bagi Yvan melihat keluarga yang berbahagia seolah mengolok-olok harga dirinya yang tumbuh di jalanan tanpa keluarga dan tanpa rasa kasih sayang atau perhatian dari orang dewasa, baginya membunuh adalah hal yang menyenangkan dan tidak membuatnya jenuh. Ia sudah sering membunuh orang namun baru kali ini ia dipenjara hanya karena ia membunuh satu keluarga dipemukiman padat. Memang apa salahnya membunuh untuk bersenang-senang? Bukankah membunuh sesama manusia itu normal? Pikir Yvan.