Seorang wanita berjalan dengan tenang menyelusuri sisi danau melewati jalan kota dengan payung merah ditangan kirinya untuk menghindari teriknya sang surya yang menyinari dunia.
''Hei!'' suara lantang membuatnya terhenti.
''Ya?'' Wajahnya yang tenang menatap sang pemilik suara asing tersebut.
''Jalan menuju per-tokoan kota ditutup. Sedang ada demo, berputarlah melewati jalan Gerrad''
Jalan tersebut adalah jalan yang selalu dipenuhi dengan Restoran yang menyajikan pangsit dan siumai tradisional dengan aroma campuran daging dan sayuran yang mampu menggoda para pejalan kaki dan turis yang berkunjung. Pada akhirnya wanita itu pergi menuruti perintah pria paruh baya tersebut, Jam menunjukan Sembilan pagi. Hendak hati membeli beberapa siumai untuk di bawa pulang, apa daya harus sirna ditelan kerumunan yang mengantri di hampir semua toko. Membuat toko tampak membludak tidak karuan. Dengan suara riuh pegawai toko dan restoran yang menawarkan berbagai macam dagangannya.
Namun, masih ada saja sayup-sayup orang yang sedang berdemo terselip dari ramainya jalan Gerrad.
''Tuhan akan marah! Tuhan akan menghancurkan kalian semua! Kalian akan binasa!''
Suara lantang tersebut terdengar menyuarakan kata-kata yang seakan menyatakan bahwa, dunia akan kiamat sebentar lagi. Semenjak perang dunia tiga usai, angka kelahiran manusia menurun secara drastis, dikarenakan adanya Negara yang tidak diketahui memakai senjata biologis yang dapat menyerang janin sekaligus sang ibu dari dalam tubuh. Senjata ini tidak diberi nama,hanya kode. Senjata kode Ozbos atau disingkat menjadi OZ.
OZ bermula hanya seperti demam biasa dan keesokannya akan turun dengan sendirinya atau dengan obat antibiotic yang biasanya ada di pasaran. Namun ini hanya permulaan, rasa tercekik di kemudian hari. Keesokan harinya akan diikuti oleh selaput darah di mata, dan rasa tidak nyaman di hidung. Jika seorang ibu sedang mengandung dan walau pun sang ibu sama sekali tidak memperlihatkan efek dari penyakit OZ ini, anak tersebut akan berakhir tewas di dalam kandungan dengan tubuh yang sama sekali tidak seperti manusia saat keluar. Dan pada akhirnya seseorang dengan penyakit ini akan tewas dengan kedua bola mata meledak keluar kepala.
Namun akhirnya setelah tiga bulan senjata biologis ini pun menghilang dengan perlahan. Tapi disitulah asal-muasal masalah baru muncul, dimana para ibu ketakutan untuk mempunyai anak dikarenakan senjata biologis tersebut sama sekali tidak ada vaksin. Maupun para pemerintah membuatnya, secara resmi dikarenakan menyepelekan masalah ini. Yang akhirnya dikarenakan trauma tersebut, penduduk dunia pun berkurang banyak.
Dan disinilah pemerintah mendorong para ilmuwan untuk melakukan sesuatu demi keberlangsungan kehidupan manusia yang lebih baik.
Setelah bertahun-tahun lamanya para ilmuan pun menciptakan sebuah penemuan baru yang dimana mereka menciptakan sebuah serum yang jika di suntikan pada manusia, manusia tersebut dapat membelah menjadi empat atau lebih, tanpa menghilangkan apapun. Manusia yang terbagi menjadi empat bagian terdiri dari tubuh, jiwa, hati nurani, dan pikiran rasional. Manusia yang sudah terpisah di sebut Petal, ini dikarenakan seorang ilmuan terinspirasi dari kelopak bunga yang dapat terbagi berbagai jumlah.
Petal diharapkan mampu membuat angka kelahiran melonjak naik. Namun masalah lain pun muncul, para petal tidak dapat membagi dirinya sendiri bagaikan amoeba. Dan ini lah yang membuat para masyarakat salah kaprah dengan petal. Ada sebuah satu kasuh dimana para masyarakat berfikir bahwa setelah petal muncul mereka tidak perlu beranak-pinak dan dapat menggunakan para petal untuk membelah diri di depan mata mereka. Yang pada akhirnya korban, yaitu seorang petal tewas sia-sia. Dengan adanya konflik seperti ini tentu membuat masyarakat tidak nyaman dalam melakukan apapun. Dan akhirnya para pemerintah memutuskan bahwa petal atau manusia yang sudah terbagi tidak dapat dikatakan manusia kembali, dan akan dipekerjakan sebagai tameng terdepan untuk melindungi masyarakat didalam kota mau pun diluar kota, akhirnya hal ini merujuk petal menjadi senjata baru dalam dunia konflik.
Para petal akhirnya digunakan sebagai polisi, tentara, pengawal pribadi maupun sebagai pembunuh bayaran. Ini dikarenakan para petal yang tidak mudah tewas walau pun tubuh mereka sudah koyak, walau pun jantung mereka sudah tertancap atau tertembak. Jika kaki sang petal masih bisa berdiri, jika tangan sang petal masih bisa bergerak. Mereka akan terus berusaha menyelesaikan tugas yang sudah diberikan. Untuk bisa membunuh seorang petal, seseorang harus mengetahui petal mana yang merupakan jiwa dari sang petal yang sebenarnya. Jika jiwa sang petal tewas, petal lain pun akan menyusul.
''Manusia adalah makhluk paling sempurna yang telah di ciptakan oleh tuhan!'' teriakan para demonstran sayup-sayup menghilang menjauhi para massa yang sedang berkerumun. Wanita kecil dengan rambut putihnya berjalan dengan cepat, tidak mau ikut campur dengan masalah tersebut. Ia terus berjalan dengan payung di atas kepalanya, melindungi kulitnya yang putih pucat dari teriknya matahari, melewati lautan manusia di depannya. Dikarenakan penglihatan yang buruk ia hanya bisa melihat secara dekat, namun baginya itu bukan masalah yang harus diselesaikan dengan menggunakan kacamata.
Wanita tersebut bernama Jenira Marco. Ia bekerja sebagai penjaga perpustakaan kota, namun semenjak kerusuhan dimulai perpustakaan terpaksa di tutup untuk menghindari pembakaran buku koleksi kota. Musim panas sudah dimulai seminggu yang lalu, membuat jalanan yang terbuat dari aspal panas menyerupai panggangan daging.
Mungkin bagi orang normal, lebih baik di dalam rumah daripada terpanggang hidup-hidup. terlebih jika anda adalah seseorang dengan ''Albinism'' atau albino, anda akan berfikir dua kali untuk keluar pada siang hari, di musim panas. Namun Jenira sendiri mengetahui betapa bodohnya ia keluar rumah dengan cuaca seperti ini. Ia biasanya mengurung diri di dalam kamar, membaca buku atau membuat laporan untuk perpustakaan. Baginya menulis sesuatu yang formal untuk kota seolah ia bekerja sebagai sekretaris seorang bos besar. Yang sebenarnya ia hanya bekerja pada pemerintah dengan gaji rata-rata, namun baginya dapat bekerja dengan dikelilingi oleh buku yang ia dapat baca secara leluasa adalah sebuah keajaiban. Namun hari ini, perpustakaan terpaksa tutup. Jenira berharap ia bisa meminjam beberapa buku atau sekedar melihat bangunan perpustakaan sekali lagi.
Namun nasib berkata lain. Ia harus pulang dengan tangan kosong. Semenjak adanya kerusuhan setelah peperangan, Jenira tidak bisa diam. Kota yang ia cintai berubah jadi tempat yang ia tidak kenal. Kota yang sama sekali tidak ada kerusuhan maupun massa yang terlampau besar jadi sebuah kota yang sama sekali ia tidak kenali.
Keluarganya memiliki toko teh tradisional. Tidak terlalu besar, maupun terlalu kecil. Toko yang selalu sederhana, damai dan tentram. Namun hal ini terhenti saat banyaknya orang yang berdemo di samping jalan, memenuhi jalanan dengan kata-kata pernyataan bahwa sang pemerintah harus turun dari jabatannya. Rumah dengan suasana yang mencekam, berharap tidak adanya lagi peperangan, tidak ada lagi rasa lapar, atau pun rasa tidak aman.
Jenira terus berajalan, berharap ia bisa mendapatkan pekerjaan lain selain menjadi penghuni bebas di dalam rumah orang tuanya. Walau keluarganya sama sekali tidak merasa keberatan bahwa Jenira masih hidup satu atap dengan mereka, baginya ia merasa tidak berguna. Ia anak pertama dari keluarga tersebut, namun sama sekali tidak dapat memberikan apapun, membuat mereka bangga, membawa nama keluarga menjadi kebanggan atau pun melakukan sesuatu demi membuat keluarganya merasa nyaman di dalam rumah.
Wanita pucat itu terus berjalan menghindari kerumunan sampai tiba akhirnya di sebuah taman kota yang sepi dengan dinding pengumuman pekerjaan yang luas dan panjang. Tanpa segan ia menghampiri dinding tersebut dan membaca satu persatu lowongan pekerjaan yang mampu ia lakukan saat ini. Namun sayangnya kebanyakan dari lowongan kerja hanya membutuhkan pekerjaan kasar, pria yang kuat, perawat, dokter, sekretaris keuangan dan koki.
Namun ada satu yang menarik perhatian wanita pucat ini. Kertas yang tersembunyi jauh dari mata lain yang mencari pekerjaan normal.
''DICARI! PRIA ATAU WANITA UNTUK MELAKUKAN PERCOBAAN PETAL!
Pengumuman yang sangat jarang di temukan, dengan keadaan berbagai masa yang ada dimana-mana, walau pun para penghuni kota ini tahu betul bahwa masa tersebut bukan masyarakat dari kota tersebut. Dikarenakan kota ini tidak mudah terprovokasi, dan akhirnya banyak orang yang mencari suaka di kota ini.
JIKA SUKSES AKAN DITEMPATKAN SEBAGAI PENEGAK HUKUM'' isi dari poster tersebut
Jenira hanya termenung melihat pengumuman tersebut. Menjadi penegak hukum? Maksudnya polisi? Atau militer? Pikir Jenira pada dirinya sendiri.
Berharap pertanyaannya terjawab oleh siapa pun.
Oleh seseorang yang ada disekitar taman.
Namun ia salah.
''Mungkin bisa jadi hakim!'' Seseorang dengan suara bernada tinggi menjawab. Tidak ada siapa pun di sampingnya, tidak seorang pun atau hewan yang mampu mendengar suara hatinya.
''Atau polisi, tidak mungkin dong kita jadi hakim tanpa pendidikan dasar'' suara lain menjawab satu sama lain, namun suara ini berbeda.
Suara ini lebih lembut dibandingkan yang lain.
Dan sekali lagi
Tidak ada seorang pun ada di samping perempuan pucat ini.
Tidak seorang pun
''Petal? Di kota ini sedang demo menolak petal dianggap manusia. Mau berubah jadi specimen percobaan?''
Lagi, suara yang berbeda.
lebih dalam dan dingin.
Suara yang membuat takut jika salah berbicara.
Namun suara ini yang membuat Jenira menaruh kepercayaannya.
''Tapi bukannya lebih baik dari pada tidak melakukan apapun dirumah?''
Suara ini lah yang membuat Jenira merasa nyaman,
suara yang lembut. Tidak terasa dari suaranya menyatakan bahwa ia marah atau tidak setuju dengan apa yang Jenira lihat.
Suara ini hanya bertanya padanya, semudah itu.
Jenira hanya menatap kertas dengan lama sambil mendengarkan semua percakapan yang ia dengar didalam dirinya, entah itu dari dalam otaknya atau hatinya. Mereka terus mengungkapkan berbagai macam pendapat, yang buruk maupun yang baik atau yang netral. Ia hanya menarik nafas untuk menenangkan dirinya dan mendengar apa yang suara-suara di dalamnya utarakan.
''Jika aku tewas pun, siapa yang peduli?''
Terpaku, dengan pertanyaan yang tiba-tiba saja terderngar dari suara yang agak tinggi.
''Lagi pula aku pengangguran, hanya bekerja sebagai penjaga perpustakaan, orang tua mempunyai adik dengan talenta hebat, dibandingkan dengan diri ini? Dia lebih kuat dan hebat dari mu''
Tangannya yang sudah pucat di kepal kuat-kuat berharap suara tersebut berhenti merendahkannya. Berharap ia bisa membentaknya. Namun jika itu ia lakukan, ia akan di anggap sinting di tempat publik.
''Dan untuk apa kau merendahkan diri ini? Bukankah kau adalah bagian dari kami?'' suara yang menenangkan itu bertanya dari dalam dirinya
''Kau merendahkan diri ini, padahal kau juga diri ini. Apa kau mengolok dirimu sendiri? masokis sekali'' Suara tawa pun terdengar.
Suasana yang panas pun meleleh dengan tawa.
Pada akhirnya suara yang ada dalam dirinya menghilang secara perlahan dan kini, ia kembali sendirian di jalanan kosong di hari yang terik. Ia berpikir berulang kali.
Dan akhirnya memutuskan untuk pulang dengan mengantongi alamat lowongan kerja yang ia pilih. Menulusuri jalan Leslie yang tenang, ia berjalan dengan santai bersama payung yang menemani ia berjalan. Kini ia sedang berfikir bagaimana menyampaikan hal ini pada keluarganya.
Berbohong?
Jika ketahuan selain ibunya akan bersedih, ayahnya akan sangat kecewa dengan apa yang ia lakukan. Berbicara secara jujur akan ditolak mentah-mentah jika kata bekerja terdengar dirumah maupun di toko. Jika ditanya bekerja dimana mereka akan kebingungan. Dengan pendidikan terakhir sebagai sarjana perpustakaan.
Admnisitrasi bagian mana yang menerima wanita yang buruk dengan penglihatannya? Atau perkantoran mana yang mau menerima orang lambat seperti dirinya? ia buruk dalam pengolaan informasi maupun analisa dalam arsip. Ia hanya baik dalam memanajemen pengelolaan informasi, baginya itu mudah seperti menyimpan buku perpustakaan yang berantakan pada tempatnya. Sesuai genre, informasi tertera, nomor seri, dan keterangan umur yang tersedia di dalam buku tersebut. Ia mampu mengingat isi buku yang telah ia baca namun jika buku tersebut berisi ilmu kode skrip seperti yang ada di dalam komputer, ia akan kebinggungan.
''Kalau kabur pun yang ada orang tua akan kena serangan jantung'' suara dengan nada tinggi itu kembali terdengar.
''Kalau pun bilang mau bekerja, orang tua akan marah besar'' ia hanya mendengarkan sambil berjalan dengan lebih perlahan.
''Bagaimana kalau kita datangi saja sekarang?''
Jenira berhenti.
Ia sadar dia berhenti bukan di depan toko milik keluarganya.
Melainkan suatu tempat yang ia tidak kenal.
Ia melihat sekeliling.
Tidak ada yang tertarik dengan bangunan kotak putih dengan satu pintu tersebut. Bangunan tersebut tidak terlalu besar tapi desainnya yang membuat Jenira terpaku.
Kotak, putih dan terbuat dari batu bata dengan satu pintu berwarna hitam. Disamping pintu tersebut ada nya plat hitam yang bertuliskan ''Laboratorium Genetik yang tidak berkepentingan dilarang masuk''
''Tunggu, ini dimana?'' bisik Jenira seakan ia takut jika terdengar oleh siapapun, walau ia tahu tempat itu sepi. Tanpa orang berjalan seperti jalan utama lainnya. Bangunan ini persis di samping jalan utama, namun tidak ada kendaraan yang berlalu, maupun orang yang melakukan aktifitas. Tempat yang tidak asing bagi Jenira namun baginya ini sangat janggal para diriny-
''Kan ada demo, makanya sepi'' ucap suara manis tersebut.
Tentu saja.
Pasti jalan ini ditutup.
Tapi kenapa kesini? Ia biasa seperti ini, berjalan tanpa ingat perjalanan yang ia lalui saat suara-suara itu terdengar atau berbicara pada dirinya. Ia tidak takut jika ia tersesat karena ia belum pernah berjalan terlalu jauh saat suara tersebut berbicara pada dirinya atau mengambil alih tubuhnya.
Seperti saat ini.
''Ayo masuk atau ketuk pintunya''
Tunggu, untuk apa ia melakukan itu?
''Loh katanya mau mencari kerja kan? Ayo!''
Jenira binggung dengan apa yang suara lembut katakan.
''Ayo, kita jadi petal''