Chapter 94 - BAB 84

REVIEW PALING BIKIN GW TERKEDJOED 😭

Makasihhhh 🤧 Dapat reader dari inter rasanya terjungkal, terpental, dan terguling-guling kek orang sinting. Apalagi sebenarnya kemarin saya ini demam, tapi tak sempetin update 1 bab. Kayak ... njir dapat hadiah mendadak!! Love buat readers lain jugaa!!! ❤️❤️❤️

Kinn dan Porche pun mengikuti arahan si klona. Mereka masih tidak hapal jalur lorong tempat rahasia ini, dan memilih patuh hingga bisa keluar.

"Dimana mereka semua?" tanya Porche. Dalam hati dia menyimpan rasa gentar saat melihat kekacauan pada mansion Kim. Bangunan mewah yang luasnya entah berapa hektar itu sudah rata dengan tanah. Api bekas bom dan tembakan rudal masih membumbung, sementara asapnya membuat mereka kompak terbatuk-batuk.

Klona di sebelahnya pun menjawab. "Para tawanan sudah dipindahkan ke "Lokasi 3", Tuan."

"Oh ...." desah Porche. "Jangan bilang ke rumah serba merah yang dulu kupakai berkelahi."

"Bukan, Tuan. Yang itu kami sebut "Lokasi 1," kata si klona. "Sekarang dalam masa perbaikan. Karena beberapa tempat hancur. Masih dibersihkan juga. Ada banyak noda darah di sana."

DEG

"Apa?!"

Kinn yang mendengar percakapan mereka pun menggandeng Porche masuk ke helikopter. "Sudah, ayo," katanya karena tak mau mengingat momen dikalahkan di tempat tersebut.

Meskipun ikut kata sang suami, Porche menoleh ke jendela untuk melihat-lihat. Dia fokus kepada Kim yang menggandeng Tawan keluar. Mereka dikawal puluhan klona yang sigap di kanan kiri, walau pergerakannya begitu pelan.

"Tidak apa-apa, Phi. Kau bisa," kata Kim. Yang tadinya hampir menggendong lelaki itu, tapi Tawan tiba-tiba ingin berjalan sendiri.

Tadinya sempat ambruk di sisi dinding. Namun, karena cengirannya begitu cerah, Kim tahu Tawan ingin mencoba meskipun sulit.

"Unh, un?" Lelaki itu pun memegangi Tawan dengan penuh kesabaran. Sesekali dia membiarkan Tawan melangkah sendiri, tapi juga memegangi bahunya jika ada tanda-tanda ambruk.

"Hei, hati-hati--"

"Ha ha ...." Tawan malah tertawa untuk pertama kali. Dia seperti mengejek Kim karena tak jadi jatuh, walau akhirnya tersandung sungguhan.

Jdugh!

"DAMMIT! PHI!"

Brugh!

Tawan sudah diserempet seorang bodyguard klona sebelum badannya limbung ke tanah.

"AKU DAPAT! SEMUA AMAN!" jerit si klona ikutan panik.

Entah kenapa, bukannya merasa sedih, Porche malah cukup terhibur karena pemandangan itu. Baginya lucu. Bayi yang tadinya dia nasehati dengan patuh, kini seperti baru belajar jalan. Dan kalau dipikir-pikir, tidak buruk. Wajar bila syaraf Tawan sangat lemas. Sebab 8 tahun itu bukanlah waktu sebentar, lebih-lebih untuk tidur dengan banyak orang yang menyodet isi organnya.

"Aku jadi senang sudah memilih jalan yang kuyakini," batin Porche. Lalu mengulum senyum tanpa sadar.

Beberapa saat kemudian, Porche jadi ingat sesuatu. Saat dia masih jadi tahanan di kamar dulu, sistem menjawab seperti ini pada pertanyaannya:

[Oke, Tuan Porche! Saya akan menampilkan data-data sang pemilik akses!]

Sahutan sistem pun langsung membuat Porche memperbesar layar virtual untuk meneliti satu per satu nama di dalamnya.

[Saya sediakan tiga data yang berbeda. Warna hijau sang eksekutif akses, warna biru pemilik akses terbatas, dan warna merah sudah dikeluarkan dari izin menggunakan sistem 😊]

⬇️⬇️⬇️

Porche yakin, selain dirinya nama-nama yang merah pernah berperan dalam rencana Kim. Baik diketahui sang pemilik identitas maupun tidak, baik bersedia maupun terpaksa. Namun, kini Kim memimpin seorang diri. Apa itu berarti Kim mengkhianati rekan-rekannya? Untung Laura tidak bergabung dengan mereka.

"Mungkin kita memang harus tetap hati-hati ...." batin Porche.

Hebatnya, kejanggalan tidak sampai di sana. Karena meski Tawan waktu itu masih mayat, Kim sudah memberikan akses penuh setelah dirinya. Bukankah itu hanya sia-sia? Atau Kim sebegitu percayanya kalau Tawan memang tidak pernah pergi.

Terus ... Bodyguard bernama Wik itu juga aneh. Porche ingat tangan kanan Kim itu sudah tertembak mati. Tepatnya pada malam dia bertarung dengan Kim bersama. Namun, kenapa masih terdaftar dalam pemilik akses terbatas? Apakah sebenarnya dia masih hidup? Terlalu banyak pertanyaan memusingkan.

"Aku tiba-tiba memikirkan yang tidak-tidak ...." gumam Kinn.

Porche pun menoleh pada sang suami. "Oh, kau juga memperhatikan mereka sejak tadi?" katanya agak tidak percaya.

"Bayangkan bagaimana jika suatu saat adikku lah yang justru mati," kata Kinn. Tatapan matanya baru beralih setelah helikopter semakin naik.

"Maksudmu?"

"Bagaimana pun, Tawan itu bagai benang merah," kata Kinn dengan pandangan yang menerawang. "Ada dia, situasi kita sekarang membaik. Walaupun aku yakin Mossimo masih belum terima dikuasai."

"Oh ...."

"Tapi jika yang terjadi hal sebaliknya, mungkin--"

"Sebenarnya aku ingin menegur perkataanmu," sela Porche sambil memandang dataran yang makin tampak mengecil. "Karena Kim memang tak bisa ditebak. Hari ini dia bisa setuju dengan kita semua, tapi besok ... siapapun tak ada yang menjamin sebenarnya dia mau apa."

Mendengarnya, Kinn pun membuang muka. "Aku justru melihatnya hanya sendirian," katanya. "Karena meski Ken dan Jirayu terlibat, kurasa mereka tak pernah sungguhan menjadi satu."

"Benar."

Keheningan pun melingkupi mereka sesaat.

"Menurutmu ...." kata Porche mengawali. "Jika bayangan kita menjadi nyata, apa yang akan terjadi?"

Kinn pun merasakan tengkuknya meremang dingin. What the fuck?!

Membayangkan sang adik sendiri mati? Tawan mungkin dilindungi klona yang beralih menghamba padanya, tapi pasti kehilangan arah dan tujuan. "Apapun itu, akan tetap kujaga nama baik Kim," katanya tegas

Porche pun menatap keteguhan di mata sang suami. "Karena dia punya marga yang sama denganmu?"

"Bukan."

Porche kini mengerjap pelan. "Lalu?"

"Tapi aku belum jadi kakak yang pantas selama ini," kata Kinn. "Dan meski bisa dibilang sangat terlambat, aku tetap ingin merubahnya perlahan-lahan."

...

________________

Mulai sekarang langkah-langkahku akan menyusul, Adik. Biarkan kupahami dunia kecilmu itu,

meski kita tetap saling melukai suatu hari nanti.

[Kinn Anakinn Theerapanyakul]

__________________

Cagliari, Sardinia, Italia.

Lokasi ketiga jauh dari dugaan Porche. Letaknya di Cagliari, Sardinia. Sebuah daerah dengan khas warna birunya.

Pantainya biru, langitnya biru ... arsitektur sekitarnya juga dominan klasik peach dan biru.

Entah kebetulan atau apa, Kinn dan Porche juga melihat arak-arakan walikota Paolo Truzzu yang tengah berkampanye di tengah kota. Lelaki itu tampak sangat necis saat membawakan speech diantara rakyat yang dipimpinnya, tetapi helikopter mereka terbang terlalu tinggi.

Porche jadi tidak bisa melihat fitur sang walikota lebih jelas dari atas sana, walau dalam hati sangat penasaran.

"Kita akan diturunkan dimana?" gumam Porche perlahan.

Seorang pilot klona pun menjawab dari depan. "Tenang saja, Tuan Porche. Kita sudah hampir sampai."

"Benarkah?"

"Tinggal dua kilometer lagi."

"Oh ...." desah Porche. Kali ini dia berusaha menebak-nebak, diantara bangunan mansion mewah yang mereka lewati, mana yang akan jadi tempat tujuan. Dan benar saja, begitu helikopter itu turun di sebuah lokasi megah, Porche tidak heran lagi.

"Sebenarnya adik ipar punya berapa rumah di negara ini?" batin Porche penasaran. Dan menyesuaikan desain arsitektur setempat, "Lokasi 3" memang lebih ramah bagi kedua matanya.

Ada kolam besar yang mengitari berbagai ruangan. Mulai bagian luar hingga ke dalam mengular, dan karpet-karpet yang dipasang juga menyesuaikan biru beludru. Hal yang membuat Porche merasa jadi tamu kehormatan lagi daripada tahanan musuh di sana.

"Lewat sini, Tuan Kinn, Tuan Porche

...." kata dua pelayan klona yang menyambut kedatangan mereka. Keduanya kompak menghormat sebagaimana perlakuan terhadap bangsawan, lalu membuka pintu ruang makan serempak. "Semuanya sudah menunggu. Tinggal kehadiran Tuan Kim saja. Mohon untuk bersabar sebentar ...."

"Hm," gumam Porche. Dia pun melepaskan gandengannya dengan Kinn, sementara sang suami mengangguk mengerti sebelum menghadapi para rekan mereka di dalam sana.

"Benvenuto e saluti!!" salam seluruh barisan klona yang ada di balik pintu. Mereka semua siap siaga. Memutar dengan seragam yang rapi. Tampak ramah di bagian mata, tapi semuanya kembali menodongkan senjata kepada para mafia yang duduk menghadap jamuan makanan. (*)

(*) Bahasa Italia, artinya "Selamat datang dan salam sejahtera!"

Bersambung ....

~ Info Lebih  ~

Related Books

Popular novel hashtag