Kematian ...

... sebenarnya apa definisi kematian bagimu?
Kehilangan?

Kepergian?
Ketiadaan?

Sebuah awal?
Sebuah akhir?

Kekecewaan?
Amarah?

Ketidaksiapan?

... atau justru hanya bermakna cinta.

Ahh, cinta.
Siapa yang cukup jenius untuk mendefinisikannya? Atau cukup berpengalaman menggambarkannya?
Mungkin ... ada juga yang terlampau percaya diri bicara, seolah dia paling sanggup memahami segalanya di dunia.
Apapun itu, aku bukan termasuk bagian dari mereka, dan tidak sanggup untuk ada di dalamnya.
Sebab yang kurasakan ini mungkin berbeda.
______________________________________
Aku tenang saat dia senang. Aku gelisah saat dia terluka. Dan aku marah ... saat dia begitu kecewa.
____________________________________
Agak menggelikan, memang. Namun, kematiannya benar-benar merubahku dengan mudahnya.
Ini bukan tentang melupakan, merelakan, atau hal-hal lain yang sering dipuisikan. Melainkan saat aku sadar luka-luka ini ada, seolah bagian diriku sendirilah yang sebenarnya pergi bersamanya.

PHASE 4 ||
Bab 80: MINEFIELDS
Seketika, Ken pun melupakan sambungan telepon yang sudah terangkat. "Oh, Kim?" Dia tampak terkejut. "Tunggu--kita benar-benar batal menjalankan rencananya--"
"Itu bukan urusanmu," sela Kim. Sebab sebelum Porche setuju menjadi pendonor, mereka memang bicara sebentar berdua. Dari mata ke mata. Dari persyaratan ke kesepakatan. Tanpa melibatkan orang lain, Kim merasa ini memang pintu yang terbuka lebar untuknya. "Minggir," tegasnya sambil menghampiri tubuh Tawan yang masih dikerubuti perawat klona. Refleks, mereka pun membuka jalan.
"Tenang, Tuan. Beliau baik-baik saja--"
Tiiit ... tiiit ...

Satu ruangan pun langsung tegang saat suara detakan tadi kembali lagi. Memang hanya dua kali, tapi cukup membuat Kim terbeku di tempat. Dia memandangi layar elektrokardiogram seolah bukan realita. Tubuhnya kaku, tangannya beku. Dan dia hanya termangu hingga sistem melayang di depan matanya.
[ Laporan Catatan Prosedur Operasi Telah Selesai Dirangkum]
Pendonor: Porsche Pacchara Kittisawasd
Usia: 28
DT: Sumsum Tulang Belakang serta stem sel tingkat 30%

... kemudian terus berlanjut.
Semua rangkuman ada di layar. Memanjang dari atas hingga bergulir-gulir, kemudian dinyatakan berhasil dengan tingkat pengikatan jaringan syaraf serta organ sebanyak 87%.
Catat, bahkan infertilitas pada kematian otak Tawan mulai menunjukkan peningkatan seiring waktu direkamnya data-data yang lebih detail. Hal yang tentunya di luar nalar, karena bahkan sang inang sendiri memiliki kemampuan lambat saat menyembuhkan diri.
"Bisa katakan apa yang sudah terjadi?" tanya Kim, masih belum menerima fakta di depan matanya.
"Kami juga tidak tahu, Tuan, maaf," kata salah satu klona mewakili. "Tapi, mungkin ... saya bisa menganalogikan hal ini dengan kasus The Scavager," jelasnya sangat hati-hati. (*)

(*) Scavager sebenarnya sebutan praktik kanibalisme hewan kepada bangkai. Ini dimiliki para dekomposer untuk mengembalikan nutrisi ke dalam tanah. [Proses memangsa yang tentunya menyakitkan untuk "si hidup", tapi justru mudah diterima bagi "si mati"]. Jadi, maksud si perawat klona adalah efek pencangkokan sumsum tulang itu membangkitkan kemampuan stem sel sebelum-sebelumnya yang telah ditanamkan dalam tubuh Tawan.
Namun, Kim samasekali tidak tersinggung. Lelaki itu lantas mendekat demi melihat jelas perubahan tubuh Tawan dalam kaca. "Teruskan," katanya. Betapa menakjubkannya. Pembusukan kecil semalam sungguh menghilang, bahkan kuku-kuku Tawan juga merona. Lelaki itu bagai tunas tumbuh diantara kegersangan, lalu mekar cepat seperti bunga.
"Y-Ya ... tapi saya hanya bicara asal," kata si klona gugup. Dia khawatir Kim tidak puas karena jawabannya tanpa empirisme. "Lagipula, umn ... mayat itu bukan bangkai. Soalnya bangkai kan sebutan untuk hewan. Ugh ... maaf, saya benar-benar tidak sopan. Sungguh ... tadi saya tidak bermaksud begitu. Ini membahas efeknya saja--"
Tiiit ... tiiiiiit ... tiiit ....
Tiba-tiba, detak jantung Tawan kembali lagi. Lebih lama. Lebih panjang. Kim bahkan sampai menahan napas, lebih-lebih melihat jemari Tawan bergerak pelan.
DEG

"Phi?!"
Bagai sosok ayah yang mendamba bayi prematurnya, Kim pun duduk antusias di sisi ranjang tersebut.
Tiiiit ... tiiit ... tiiit ... tiit ...
Meski terdengar biasa, suara itu merupakan nada paling merdu bagi Kim dan sanggup mengalahkan lagu yang dia ciptakan selama ini. Apalagi tabung pernapasan Tawan mulai ikut bergerak. Perlahan, tampak berat, tapi kemudian ditarik begitu dalam.
"Haaaaahhhk."
Tawan benar-benar berjuang sebaik mungkin. Dia seperti diseret cepat dari mimpi gelap terdalam. Lalu dibanting menuju ruangan kosong.
Lelaki itu pun membuka matanya yang linglung. Sangat buram. Sangat pudar. Juga sulit bergulir dari wajah Kim yang di depan matanya.

Deg ... deg ... deg ...
Deg ... deg ... deg ...
"Phi?" panggil Kim dengan mata berair. "Phi Tawan? Phi?" senyum tampannya refleks terlukis. "Apa kau bisa dengarkan aku? Phi?" Bayangan wajah Kim pun bergerak-gerak semakin jelas. Membuat Tawan mengernyit samar, tampak pusing, kemudian berkedip-kedip sebelum terpejam lagi.
Tiitt ... tiit ... tiiit ... tiiiiiiiiiiiiiiit ...
DEG
Secepat itu Tawan kembali, secepat itu pun dia menghilang lagi. Sebab begitu wajah Kim menjadi jelas, kesadarannya malah segera pergi.
Lelaki itu kehilangan fungsi jantungnya perlahan. Napasnya jadi melambat seiring waktu, dan darah yang tersalur pada tubuhnya berhenti.

Sudah, begitu saja. Membuat binar di mata Kim jadi meluruh. Apalagi mendadak ada keributan di depan pintu.
"KIM BRENGSEK! APA YANG KAU LAKUKAN PADA LAURA?!"
BRAKH!
Dari sisi kotak kaca, tubuh Kim pun dijambak sang kakak melalui kerah baju. Dia dipukul hingga terguling, kemudian dilempar nyaris ke kolong ranjang.
BUAGHHH!!
"Arrrghhh!"
Tidak puas dengan sekali pukulan, Kinn pun menyeret Kim sekali lagi. Menggebraknya ke tembok, lalu menambahnya dengan beberapa pukulan lain.
BUAGGHH!
BUAGGHH!
BUAGGHH!
"BEDEBAH SIAL KAU TIDAK TAHU DIUNTUNG!" maki Kinn. "Biar kuwakilkan Mossimo untuknya. Bukankah Porche memintamu menghentikan penyerangan? Tapi apa?!"
BRAKH!!
Anehnya kali ini Kim tidak melawan samasekali. Kedua matanya berkunang-kunang. Telinganya berdenging nyaring, dan dia sangat menikmati rasa sakit yang diterima.
Apa yang tergambar pada matanya hanyalah kenangan singkat. Beberapa garis naik turun yang mirip tangga-tangga nada, tapi kini sudah sudah kembali lurus.
"TUAN KINN! JANGAN! INI HANYA SALAH PAHAM!"
Kim terbatuk-batuk setelah Kinn berhenti menghajar. Lelaki itu berusaha tetap duduk meski posturnya merosot di dinding, sementara Ken yang datang pun meninju sang mafia sekuat mungkin.
BUAGHHHHHH!!!
Saat itu, tatapan Kim begitu kabur. Dia memegangi kepala yang berdarah hingga ke kening, tapi tetap berusaha melihat apa yang sedang terjadi. Yang pasti, Ken tengah melawan Kinn saat ini. Mereka saling memaki. Juga berguling-guling ribut diantara para klona.
BRAKHHH!!
Keduanya menabraki rak-rak penuh kantung darah, tempat sampah berisi kapas bekas kotor, lalu saling membuat luka yang memar.
BUAGHHH!!
"BUKAN KIM, TUAN!"
BUAGH!!
"APA KATAMU ITU?!"
BRAKHHH!!
"BISA ANDA TENANG SEDIKIT?! JIRAYU PASTI BELUM TAHU SOAL INI! ANDA HARUS MEMBERIKAN KIM SEDIKIT WAKTU!"
BRAKH!!
"OH, YA?! DAN ITU UNTUK MENYAKITI LAURA? SEMUA DI LUAR KESEPAKATANNYA!!" kata Kinn. Meski tanpa senjata, bagaimana pun dia merupakan sang pemimpin selama ini.
Ken boleh jadi punya kemampuan medis rahasia, tapi untuk berkelahi, sang bodyguard tetap saja bukan tandingannya. Apalagi Ken dalam kondisi yang tidak bagus. Semalam tangannya berlumur darah, dan belum ada istirahat semenit pun hanya untuk fokus pada operasi. Akhirnya, Kinn pun membuat lawannya diam. Ken muntah darah dalam kondisi tersungkur, belum lagi kepalanya diinjak Kinn hingga merata lantai.
"Phi ...."
Namun, bukannya bersiap dengan pukulan yang yang lain, Kim justru melewati sang kakak begitu saja. Napasnya tertahan sulit. Bahkan dengan pandangan separuh jelas, Kim masih sanggup menata beberapa selang yang tak beres meski jarinya gemetar.

"Semua pasti baik-baik saja, semua pasti baik-baik saja ... cepat kembalilah padaku," kata Kim. Dan itu cukup membuat Kinn berhenti sejenak.
"Aku masih tidak percaya dia begitu serius ...." batin Kinn. Keinginan menghajarnya hilang saat Porche berjalan tertatih dipegangi seorang perawat klona.
"Kalian sebenarnya kenapa?" kata Porche dengan kening yang berkerut kesal. "Bisa hentikan sebentar semua ini?! Aku tidak mungkin memutuskan operasi hanya untuk dikacaukan, oke?!"
BRAKHHH!
"PORCHE! Shit!" maki Kinn sebelum menghampiri Porche yang nyaris tumbang di tempat. Lelaki itu menggantikan si klona, lalu duduk untuk memeluk sang lelaki tercinta dalam posisi yang lebih nyaman.
"Kumohon, Kinn. Sudah kukatakan kita adalah satu," pinta Porche dengan meremas baju Kinn. "Jadi, jangan rusak apapun rencananya untukku. Bisa?"
"Oke, baik. Aku benar-benar minta maaf. Aku benar-benar minta maaf ...." kata Kinn. Sebab mata Porche mulai berair, dan itu sangat menyakitkan baginya.
Tiiiit ... tiiit ... tiiit ...
Tiiit ... tiit ... tiit ...

Mendadak, ruangan pun senyap lagi. Segalanya seolah berhenti, diam, dan hanya dikuasai oleh sebuah nyawa yang kembali hadir.
"A--"
DEG
Walau hanya satu huruf, tetapi bermakna seluruh kebahagiaan Kim yang tercenung sambil menggenggam tangannya.
"Pelan-pelan, Phi. Tidak apa pelan-pelan saja," bisik Kim yang segera membuka lebar kotak kacanya. Napasnya begitu berat, tapi kali ini bukannya karena takut, melainkan bersemangat karena kedipan Tawan berulang lagi dan lagi.
"A ... umn ...." gumam Tawan, lalu bola matanya bergulir untuk pertama kali. Sangat pelan. Sangat halus. Jemarinya balas menggenggam ketika melihat senyum lelaki tampan di depannya dihiasi air mata. Hal yang begitu sederhana. Kecil. Remeh. Tapi cukup membuat dada Tawan menjadi hangat, meski dia tidak mengenali siapa identitasnya.
"... hmm ...."
Lelaki itu pun ikut tersenyum manis. Lemah. Lalu menggenggam semakin erat hingga jemari mereka bertaut menjadi satu.
...
...
..
.
Sayang, momen itu hanya sebentar.
KABOOOOOOOOOOOOOOOMM!!

Sebab mendadak ada suara ledakan besar di luar. Juga berondongan peluru dari udara yang diikuti semua ledakan lainnya.
BOOOMM!! BOOOMM!! BOOMMM!!
DOR! DOR! DOR! DOR! DOR! DOR!
DOR! DOR! DOR! DOR! DOR! DOR!
Membuat lapisan luar mansion Kim hancur sedikit demi sedikit. Bahkan pilar-pilarnya tergempur oleh serangan rudal terbang dari berbagai arah.
"ANAAAKIIIIIIIIIIINNNNNNNNN!!!"
DEG
Suara yang teramat familiar di telinga siapa pun. Namun, Mossimo tidak sendirian di atas pesawatnya yang terbang rendah tersebut. Di sebelah pilot yang berkeringat, sang mafia Sisilia tampak begitu murka.

"TUNGGU, TUAN MOSSIMO!" teriak Domenico dari belakang. "JANGAN! SEBENTAR LAGI NONA LAURA AKAN DIBAWA KE SANA! KUMOHON! MEREKA BERGERAK CEPAT KE ARAH KITA!!"
"PERSETAN!!"
BRAKHHH!!
Dengan tangannya sendiri, Mossimo pun memancarkan serangan melalui tombol-tombol kendali. Dia membuat Domenico ambruk diantara kursi-kursi pilot, kemudian menggeser bidikannya ke tempat yang baru lagi.
Mengabaikan apapun di depan matanya. Bahkan meski ada pesawat tempur lain yang melintas, gelak tawa dari lelaki jadi-jadian, belasan helikopter yang terbang seperti lalat, juga para infanteri yang mulai menyemut di bawah sana.
Bersambung ....
Because the worst distance between peoples are only misunderstanding
"Karena jarak terburuk diantara orang-orang hanyalah berupa kesalahpahaman ...."
..
.