Chapter 86 - BAB 77

Review Penting Reader Tentang Donor Sumsum Tulang Belakang:

😄 Bisa dikatakan Porche sekarang "Half-Blood Immortal?", tapi entah kenapa aku enggak mau pake istilah itu karena jadi kayak dunia sihir Harry Potter #BengekAnjirIniKanRealVibe

"Sebab kau adalah alasan dan jantung hatiku, meski tidak seorang pun bersedia menerimanya."

[ Kim Theerapanyakul ]

.

.

.

.

.

"KIM!!!"

Seketika, Porche pun berlari keluar. Dia menyusul Kim yang berjalan menyeret kaki, lalu menggebraknya ke dinding.

BRAKHHH!!

"Apa kau ini sudah gila?!" bentak Porche. "Jangan sampai lakukan! Tolonglah! Kau tak bisa sampai sejauh itu!!"

BRAKHH!!

Kim pun menggebrak Porche balik hingga posisi mereka berganti. "Memang kau mau menggantikanku?!" tantangnya jengkel. "Atau suamimu yang kotor itu!" tunjuknya kepada Kinn. Namun, emosinya hanya beberapa saat. Lelaki itu tiba-tiba tersentak mudur. Syok. Lebih-lebih karena menyadari tubuh Porche tidak tersembelih oleh perbuatannya beberapa jam yang lalu. Atau malah tampak lebih "hidup" daripada sebelumnya!

Langkahnya tertatih-tatih ... lemas. Porche sampai menjambak kerah Kim dulu agar sang adik ipar tidak jatuh terguling konyol ke tangga di belakangnya.

"Kenapa, hah?! Sekarang kau yang bingung karena aku? Aku paham apa yang kau pikirkan ...." kata Porche tepat di depan wajah Kim. "Aku hidup, Kim. Aku ada di depan matamu. Jadi, gunakan aku untuk lakukan apapun. Tapi jangan sampai ke hal tolol, oke?!"

"Apa?"

Mungkin karena kecemasan di mata Kim lebih besar, akal pikirannya pun jadi tercampur baur. Antara berusaha memahami situasi, juga memikirkan Tawan yang ujung-ujung jari mayatnya mendadak mulai membusuk.

"Bukankah memang itu tujuanmu? Kau sendiri yang bilang akan membunuhku--kita, dan semuanya bersama-sama," kata Porche. Dia mencamah kesadaran Kim tanpa peduli ludahnya menciprati wajah tampan tersebut. "Walau aku masih sangat bingung. Malam itu kau menolongku, malam yang lain kau menggendongku, tadi kau menyiksaku, dan sekarang tidak ingin menggunakanku--"

"Kau itu punya penyakit jantung!" (*)  sela Kim frustasi. Dia tampak ingin menjelaskan, tapi merasa tidak punya waktu lagi. "Ah, ck, MINGGIR!!"

katanya, lalu menjambak kerahnya sendiri agar lepas dari Porche.

(*) Syarat donor sumsum tulang belakang sangatlah banyak. Cek g*ogle saja untuk lebih detail-nya. Yang pasti salah satunya tidak boleh punya riwayat masalah jantung.

Tapi, Porche tetap tidak terima dengan reaksi Kim yang seperti itu. Kenapa malah menghancurkan diri sendiri? Bukankah dia paling ingin mencincang Kinn selama ini? Kenapa tidak seret kakaknya saja, atau manusia random di jalan, lalu mutilasi di tempat, kalau memang hanya ingin mengambil sumsum tulang belakang.

Kenapa perbuatannya banyak yang bertentangan? Porche yakin ada yang tidak beres dengan Kim, bahkan meski siapapun, atau sang adik ipar sendiri tidak menyadari hal itu.

"KIMMM!! WOE! SHIT LAH!!"

Porche pun tetap menyusul Kim. Persetan dia ikut dianggap tak waras. Porche benar-benar tak bisa memungkiri instingnya sendiri saat Kim membuka ruang rahasia di balik dinding-dindingnya.

Sraaaakkkkkhhh!!

Nyaris semua dekorasi berbanding terbalik. Namun, meski Porche ikut masuk ke dalam lift di dalamnya, Kim tidak lagi mempermasalahkan. Dia juga tidak marah, apalagi punya waktu untuk mengadili lebih lanjut. Fokusnya otaknya hanya kepada Tawan. Sampai-sampai Porche bisa melihat tidak ada keraguan sedikit pun dalam bola matanya selama lift mereka turun.

[ Tetap tenang. Kita segera menuju ke ruang operasi ]

"PORCHEEE!! OI PORCHEE?!"

Percaya tidak percaya, Porche juga mengabaikan Kinn yang baru menyusul dengan lift kedua yang tersedia. Sebab mengizinkan belum tentu Porche boleh melakukan sesuatu di luar pengawasannya. Kinn seketika berubah pikiran! Dia memang harus tahu semuanya!!

"Kim? Hei, bisa bicara padaku?" tanya Porche teguh pendirian. "Aku mengerti kau tidak menganggap mayatnya mati. Tapi, kumohon. Jangan sinting! Jangan sampai, oke? Kau tidak bisa memberikan daya hidup ke yang mungkin akan--"

"Aku memang tidak pernah menganggapnya mati," sela Kim. Lalu menyingkirkan Porche dari jalannya saat pintu lift terbuka. Ting! "Jadi, pergi saja kalau memang tak bisa membantu."

Brakh!

DEG

"Astaga ... oke!!" teriak Porche jengkel.

Kalau tidak bisa membuatmu paham dengan perkataan, maka memang  tanganku yang harus bicara--

BUAGHHH!!!

"Fuck!" maki Kim saat tubuhnya menabrak meja tumpukan ampul di depan. Dia tidak siap dengan jenis pukulan apapun. Dan karena kejengkelannya langsung naik, Kim pun melempar gunting bedah tanpa peduli lagi.

Crakkh!

"AARRGH!"

DEG

"PORCHE!!"

Namun, Porche juga langsung bisa mencabutnya selayaknya mainan. "Kau bercanda?!" teriaknya kesal. Lalu melempar benda itu asal, nyaris mengenai Kinn yang tak jadi cemas karena melihat secara langsung bagaimana lukanya menutup kali ini.

Tak hanya Kinn, tapi juga Kim. Kemudian Ken yang mendadak menginterupsi mereka dari balik pintu yang terbuka. "Hai, Tuan Porche. Senang melihatmu lagi walau sedikit tidak menyangka," katanya dengan senyuman. Lelaki itu mengenakan baju kedokteran siap operasi. Masuk dengan langkah santainya, dan membuat semua orang di dalamnya frustasi. "Padahal hewan terakhir yang kusuntik dengan ampul itu malah meledak menjadi serpihan daging setelah berusaha menyembuhkan diri."

"APA?!" Kinn lah yang pertama kali murka dengan ucapannya.

Ken lantas tertawa kecil. "Maksudku bagian kepalanya saja. Aku tidak bilang semuanya, Tuan," katanya. "Karena itulah aku tidak pernah berani mencobanya lagi, terlebih pada manusia. Tapi, baguslah bila bekerja dengan baik. Suatu keajaiban pasti telah terjadi."

"BRENGSEK KAU KEN! KAU YANG PERTAMA KALI AKAN KUBUNUH KALAU SAMPAI PORCHE BEGITU!"

Ken justru menggelengkan kepala saja ketika menghadapi situasi chaos itu. "Aku juga belum tahu kenapa, tapi mungkin karena bahannya terlalu keras," katanya. "Atau rasa sakitnya terlalu hebat. Yang pasti, sekarang siapa yang sebenarnya akan aku bedah?"

Cukup lima belas menit untuk Kim hingga bisa berpikir jernih. Sang eksekutif klona pun beranjak dari duduk setelah mengerti situasinya. Kedua matanya kini memandang Porche yang sudah berganti baju pasien.

Lelaki itu didampingi suaminya. Yang mengecek badan kanan kiri atas bawah--dan lebih seperti pasangan yang cemas istrinya akan melahirkan daripada donor sumsum tulang.

"Kita belum tahu apakah sumsum itu akan segera kembali," kata Kinn. Lalu memandang Ken yang sampai kini masih sulit dia percaya memiliki keahlian medis. "Dan kau, sekali lagi bercanda dengan eksperimen, aku sendiri yang akan ledakkan kepalamu."

Bukannya takut, Ken hanya mengangguk dan tersenyum. "Baik, Tuan," katanya. "Walau kata "sembarangan" itu tak bisa aku terima. Karena sedikit banyak, aku juga bertaruh akan beberapa kemungkinan."

"Persetan dengan dirimu."

Ken pun menoleh kepada Kim. "Oh, iya. Bagaimana dengan saran dariku?" tanyanya. "Sudahkah ingin saling bicara? Saya menanti kabar baik dari Anda berdua."

Mengabaikan dinding tegang antara suaminya dan Kim, Porche kini memandangi surat hasil pemeriksaan kesehatannya. "Ken ...." katanya, lalu menoleh ke bodyguard yang dulunya hilang di perbatasan pulau. "Apa ini kenyataan? Aku masih sulit percaya kalau kondisiku jadi begini."

Setelah memakai sarung tangannya, Ken pun menginstruksikan Porche agar berbaring di ranjang bedahnya. "Entahlah, tapi aku tidak mengada-ada," katanya. "Anda sehat seperti tidak pernah memiliki riwayat komplikasi apapun. Bukankah itu sudah patut untuk disyukuri?"

"Iya, memang ...." kata Porche. Lalu benar-benar naik ke ranjang panjang tersebut. Dia tak mau memandang Kinn, Kim, atau siapapun suster klona yang mendadak masuk siap membantu. Kedua matanya hanya fokus kepada Ken. Mendengarkan arahannya soal ini dan itu, lalu memejamkan mata karena biusan di bagian lengan.

"Entah kenapa aku merasa ini hal benar," batin Porche selagi merasakan kepalanya mulai memberat. "Meski dalam waktu bersamaan, aku juga tidak siap bertemu dengan Tawan jika eksperimen ini berhasil ...."

Bersambung ....

First of all, Author berterima kasih kepada setiap pembaca yang bertahan mengikuti FF ini terus-menerus. Jujur, saya terharu ada yang masih mau baca ketika alurnya begitu rumit dan konfliknya gak habis-habis. Belum lagi villain yang terus berganti dan fakta begitu minimnya fanservice.

Jujur, akhir-akhir ini saya sering merenung, bahkan menangis. Memikirkan bagaimana perasaan kalian saat membaca, apakah tingkat kerasnya perlu dikurangi, atau apakah kalian terlukai dengan FF ini, tapi saya keras kepala tidak merubah alurnya untuk keotentikan khas saya. Karena itulah, maaf sebesar-besarnya jika masih ada kekurangan di sana-sini. Pengeditan dilakukan nanti kalau sudah tamat saja, dan saya akan berusaha terbaik untuk menulis happy ending yang sesuai untuk FF "Sins of Bartender", meskipun MUNGKIN takkan memuaskan setiap pembaca.

Salam hangat,

Ren