Hingga di rumah pun dia tetap diam, besoknya saat aku menutup kios tempatku berdagang, aku berniat untuk membelikan Putri hadiah agar dia kembali ceria lagi.
Lama aku berpikir sampai menemukan hadiah yang cocok dengannya, biarlah uang yang ku dapat hari ini ku belikan hadiah untuk Putri, nanti malam aku bisa mengambil uang di atm untuk modal besok.
Aku sengaja memilih ponsel keluaran terbaru tapi harga masih terjangkau bagiku, tak apalah mengeluarkan uang sedikit. Sebenarnya Santi ibunya tidak ingin Putri memiliki ponsel, alasannya takut mengikuti sesuatu yang tidak baik di media sosial.
Dipikir-pikir kesian juga Putri, dulu pernah merengek minta belikan tapi tak di ijinkan Ibunya. Putri tunggu ayah ya, pasti kamu akan semakin sayang sama ayah.
Sampai di rumah ku berikan ponsel itu padanya, terlihat wajahnya sangat ceria. Bagus lah jika itu membuatnya senang, nanti gampang kalau aku menginginkan tu**hnya lagi.
Sore hari, Putri baru pulang dari rumah temannya, terlihat wajahnya senang sekali. Hingga aku mendengar dia meminta ijin kepada ibunya, untuk jalan-jalan besok.
Aku inisiatif menawarkan akan mengantarnya tapi, dia menolak karena akan menaiki angkot. Aku bilang akan memberinya uang jajan nanti.
"Mas, kenapa kamu belikan Putri ponsel?" Tanya Santi padaku ketika kami akan bersiap tidur.
"Ya, aku kesian padanya, sayang. Teman sebayanya semua memiliki ponsel, tak apa kan?" Kataku padanya.
"Tapi aku takut saja dia akan terpengaruh dari perkembangan zaman."
"Itu tidak akan terjadi, asalkan kita selalu mengawasinya."
"Hemm."
"Ngomong-ngomong, sayang. Bisa kita lakukan malam ini?" Tanyaku padanya.
"Tapi, bukankah kata bidan. Kita harus menunda melakukan itu sampai kehamilanku 2 bulan?" Ujarnya.
"Hemm, ya baiklah. Aku akan menunggu." Kataku lagi.
"Tapi, tidak apa kan Mas? Kalau kamu mau sekarang kita bisa pelan-pelan." Pintanya, itu tidak akan membuat aku puas.
"Tidak perlu, sayang. Aku akan menahannya, ini demi calon buah hati kita." Ucapku mencium perutnya.
Aku bangkit dari pembaringan, ku tatap wajah istriku sepertinya dia tidur pulas. Semenjak hamik, dia selalu tidur pulas saat malam, ini kesempatanku.
Jam menunjukan pukul 1 malam, saat ingin membuka kamar anakku tapi sayangnya di kunci dari dalam.
Aku tidak kehabisan akal, ku telpon nomor ponsel Putri agar dia bangun. Setelah mengangkat telponku, ku beri tahu bahwa aku baru saja membeli martabak manis karena itu kesukaannya, pasti dia akan mendatangiku.
Ternyata Putri menolaknya, aku ancam dia tidak mendapatkan uang untuk besok. Tak lama pintu kamarnya terbuka, Putri keluar dengan rambut acak-acakan dan wajah sendu.
Ku ajak dia ke ruang tamu, agar tidak ada yang mendengarnya nanti. Saat dia lengah ku terkam dia, ku lampiaskan hasratku yang tertahan. Entah mengapa aku selalu ingin dan ingin melakukan ini dengan Putri.
Setelah selesai menuntaskan hasratku, Putri terlihat diam. Ku ambil uang untuknya, sengaja ku beri lebih agar dia senang.
Aku kembali ke kamar dengan perasaan senang, Santi istriku masih tertidur pulas.
"Tidurlah yang nyenyak istriku." Kataku sambil mencium pipinya.
Paginya aku berdagang seperti biasa, kios akan ramai saat jam 7 pagi sampai jam 10, sisanya akan agak santai karena pembeli di pasar berkurang.
"Hei, Bang." Sapa Tono.
"Ya, ada apa, Ton?" Tanyaku sambil masih menghitung uang hasil hari ini.
"Gimana kabar istri, Abang. Sudah membaik?" Tanya Tono.
"Ya, agak mendingan. Sekarang sudah bisa beraktivitas." Kataku.
"Oh, bagus lah Bang." Ujarnya.
"Kamu sudah tutup kios jualan?" Tanyaku.
"Belum, tapi nggak ada pembeli juga jadi kesini lah aku cari teman ngobrol."
"Gimana mau ada pembeli, pedagangnya kelayapan." Ucapku padanya.
"Nanti juga keliatan dari sini kalo ada pembeli."
"Tuh ada yang beli." Tunjukku ke kiosnya.
"Ya, elah. Baru juga duduk di sini." Katanya berlalu.
Saat azan zhuhur terdengar, aku cepat menutup kiosku. Beberapa ikan yang tidak habis sudah ku masukan ke dalam freezer.
"Mana Putri, kok tidak keliatan?" Tanyaku saat makan siang bersama Santi.
"Dia belum pulang, Mas."
"Sudah jam 2 kok belum pulang?"
"Mungkin ke asikan, coba telpon Putri, Mas." Pinta Santi.
"Biarlah tidak usah di telpon, nanti juga pulang. Besokkan dia sudah harus masuk sekolah lagi." Kataku pada Santi.
Tak terasa sudah jam 4 sore, Putri belum pulang juga.
Aku ajak istriku duduk di kursi teras sambil menunggu Putri pulang, sedangkan Dila menonton televisi di dalam rumah.
Tidak lama, Putri datang bersama temannya menggunakan sepeda motor.
Putri masuk setelah memberi salam kepadaku juga Ibunya, Santi ingin masuk ke rumah untuk memarahi Putri.
"Sayang, kamu jangan memarahi Putri, ya." Ucapku memegang tangannya.
Terlihat wajahnya yang memerah tadi perlahan memudar.
"Iya, Mas. Aku cuma mau menasehatinya."
****
"Baru beberapa hari mempunyai ponsel, Putri sudah berubah, Mas." Kata Santi saat kami sesang di kamar.
"Berubah seperti apa, sayang?"
"Ya itu, dia selalu memainkan ponselnya."
"Itu biasa terjadi pada seseorang yang baru memiliki mainan baru, nanti juga akan berhenti dengan sendirinya." Kataku menenangkannya.
"Aku ingin membuka ponselnya, ternyata Putri memakaikan sandi di ponselnya, Mas." Keluh istriku.
"Nanti akan, Mas tanyakan. Kamu jangan terlalu memikirkan yang tidak penting, sayang. Cukup jaga kesehatan, Putri biar Mas yang urus." Kataku pada istriku.
Pikiranku hanya terisi, bagaimana aku akan menggauli Putri lagi, bahkan untuk melakukan bersama Santi terasa tak semangat lagi. OH, Putri jadilah anak yang selalu menurut kepada Ayah. Aku terbangun ditengah malam, dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Jam menunjukan pukul 01:23, penasaran aku menuju kamar anakku. Sayang pintunya di kunci, akan sangat indah kalau aku melihat Putri sedang tidur. Aku memilih menyalakan rokokku dan menghisapnya di ruang tamu. Aku teringat lagi hari di mana suara rin*ihan Putri terngiang di benakku, Putri sangat cant*k mungkin karena ada campuran darah Ayah kandungnya.
POV PUTRI...
Ponselku berdering, membangunkan aku yang masih tertidur.
"Ya?" Sahutku.
"Putri, kamu sudah bangun?" Tanya seorang laki-laki dari sebrang telpon. Ku lihat kayar ponsel, tertera nama Alek.
"Emm, ya. Baru aku bangun." Sahutku.
"Hari ini kita sudah masuk sekolah lahi, emm apa kamu mau aku jemput?" Ujar Alek.
"Emm." Ku lihat layar ponsel masih jam 6 pagi.
"Oke." Lanjutku pada Alek.
"Rumah kamu di mana?"
"Jalan Pusara, tapi rumah aku sama sekolahan tidak terlalu jauh." Kataku.
"Ya, sekali-kali aku ngantar kamu sekolah dan supaya tau rumah kamu, Put." Ujar Alek.
"Oh, oke kalau begitu. Aku mau siap-siap dulu."
"Iya."
Setelah telpon terputus, aku bergegas ke kamar mandi.
"Putri, sudah bangun. Tadi Ibu baru mau bangunin kamu." Kata Ibu.
"Emm, aku bisa kok bangun sendiri, Bu." Sahutku, lalu pergi ke kamar mandi.
Pukul 06:20 aku sudah siap, lalu pergi ke meja makan. Aku berpapasan dengan Ayah, sepertinya Ayah akan pergi ke pasar.
Aku berlalu melewatinya tanpa menyapanya.
"Putri." Panggil Ayah.
"Ya?" Sahutku.
"Uang jajan yang Ayah beri kemaren masih ada?" Tanyanya.
"Ya, masih ada." Sahutku.
"Oh, Ayah kira sudah habis. Kalau habis bilang sama Ayah, ya." Kata Ayah tersenyum. Tersenyum jahat menurutku. Aku tidak menyukainya lagi, aku benci padanya.