Namaku Albert Wensten, aku mempunyai seorang putri bernama Emilia. Aku adalah seorang pekerja serabutan, setiap hari hanya menjadi kuli di mana aku di butuhkan. Di usiaku yang sudah lebih dari setengah abad, aku masih kuat bertahan dengan terpaan badai kehidupan yang tidak pernah habis.
Saat ini putriku Emilia akan segera masuk kuliah, dia sudah mengatakan untuk tidak melanjutkan pendidikannya, tetapi aku menekankan agar dia tetap maju, ada aku yang akan selalu menjadi tumpuannya.
"Ayah tidak perlu bersusah-payah mencari uang untuk aku kuliah, lebih baik aku yang bekerja." Begitu kata Emilia, putriku saat ini sedang duduk menunduk di hadapanku. Aku tau besar keinginannya untuk kuliah seperti teman-teman sebayanya, tetapi melihat kondisiku yang kurang mampu, dia juga tidak tega, tapi aku lebih tidak tega jika melihatnya mencari nafkah di usianya yang memang seharusnya mendapatkan pendidikan tinggi.
"Emilia tidak perlu khawatir tentang ayah, yang ayah ingin Emilia tetap kuliah. Ayah ingin melihat putri ayah menjadi sarjana, ayah ingin kelak anak ayah tidak melakukan pekerjaan seperti kami." Kataku meyakinkan putriku.
Emilia mengangkat wajah, melihat mataku dalam. Aku tau ada sebagian dari hatinya yang merasa senang karena aku sendiri yang memberinya dukungan untuk kuliah, tapi di sisi lain dia juga memikirkan aku yang hanya seorang kuli.
"Apa ayah yakin?" Tanya Emilia memastikan.
"Kenapa? Apa kamu meragukan keteguhan ayah, apa kamu pikir ayah akan membiarkanmu kesulitan?" Kataku, bertanya balik kepada Emilia. Anak itu menatap kagum ke arahku, senyum terkembang di pipinya, memperlihatkan dua lesung pipinya yang manis.
"Ayah tau, ayah hanya seorang kuli, tapi untuk membawamu ke bangku kuliah, ayah akan berjuang untuk itu, kamu hanya perlu percaya kepada ayah." Kataku meyakinkan.
"Terimakasih, ayah. Aku sayang ayah." Kata Emilia mendekat kemudian memelukku. Ku balas pelukan putih kecilku yang kini menginjak usia dewasa. Aku tak menyangka bisa membesarkan gadis itu, sekaligus merawat istriku yang sakit-sakitan. Istriku Rebeka (ibu Emilia) saat ini hanya bisa berbaring di kasur karena tragedi kebakaran rumah kami beberapa tahun lalu. Karena kecelakaan itu istriku mengalami syok berat menyebabkan lumpuh. Tapi, walau begitu, besar rasa cintaku kepadanya tak pernah luntur, dia sudah mengorbankan seluruh hidupnya untuk bersamaku, mana mungkin setelah dia sakit, aku meninggalkannya.
Setelah Emilia pergi untuk mengambil berkas-berkas syarat masuk kuliah dari sekolah asalnya, aku bergegas melihat istriku.
"Sayang, apa kau perlu minum?" Tanyaku melihat Rebeka berusaha menggapai gelas di samping kasur. Aku sengaja hanya meletakkan kasur tanpa ranjang agas istriku tidak jatuh.
Dengan sigap, ku ambil gelas dan memberikan minum kepada istriku.
"Terimakasih." Kata istriku pelan. Terkadang tak sengaja aku melihatnya meneteskan air mata, saat ku tanya mengapa, dia hanya menjawab tidak.
"Apa kau tidak lelah mengurusku setiap hari?" Tanya Rebeka tiba-tiba. Lihat, baru saja aku mengatakan tentang perasaannya, saat ini dia kembali mengatakan itu.
"Aku tidak akan pernah lelah mengurusmu, aku tidak pernah sekalipun mengeluh akan keadaanmu, mengapa kamu selalu berpikir aku akan lelah." Jawabku penuh penekanan.
"Apa kau mulai meragukan cintaku?" Tanyaku pada Rebeka yang mulai berkaca-kaca.
"Aku mencintaimu Albert." Mendengar perkataan Rebeka seakan menjadi kekuatan tersendiri untukku. Ku peluk istri tercintaku, ku cium seluruh wajah pudarnya tanpa melupakan satu titik pun.
"Emilia akan kuliah, aku akan bekerja lebih giat untuk mendapatkan biayanya, doakan semoga aku mampu memberinya gelar sarjana." Kataku memberitahu Rebeka.
Dia mengangguk antusias. " Aku akan selalu mendoakan mu, aku mendukung apapun keputusanmu, aku tau kau bisa." Lihat, betapa istriku mempercayai kemampuanku.
Aku tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan ini, akan aku buktikan pada dunia bahwa anakku juga bisa jadi sarjana.
12 Februari 2017 di salah satu kota besar di negara A, tempat aku tinggal bersama keluarga kecilku. Perjuangan ini tidaklah mudah, saat orang lain pergi bekerja menggunakan kendaraan pribadi, maka aku akan berjalan kaki untuk sampai di tempat kerja yang cukup jauh.
Aku menikmati lelah itu, demi putriku tercinta, akan aku tempuh dunia yang begitu keras, akan aku jalani segala cobaan.
"Nggak panas bang?" Tanya salah satu teman kerjaku. Melihatku berjalan di aspal hanya memakai sandal tipis, membuatnya mengeluarkan tawa mengejek.
"Ah, aku sudah terbiasa, mungkin aku sudah kebal dengan semua ini." Jawabku.
"Makannya bang, kalau nggak mampu itu jangan sok-sokan kuliahin anak, kan begini jadinya!" Ejek temanku lagi.
Dalam hati aku ingin mengatakan, apa ini yang di namakan dengan teman? Aku akui dia juga memang kuli sepertiku, hanya saja keberuntungan berpihak kepadanya hingga dia mampu bekerja sembari membuka usaha kecil-kecilan. Aku pernah mencoba mendirikan usaha, tapi karena istriku jatuh sakit kamipun harus merelakan semua yang kami punya.
"Mending anaknya di suruh cari kerja, itung-itung buat bantu perekonomian keluarga." Kata temanku lagi.
Aku tersenyum menanggapi. "Selama aku masih bisa, akan aku coba." Jawabku tegas.
Aku melanjutkan perjalanan, walau harus kuakui panas terik matahari memang sangat perih. Jika kalian mencari teman yang tadi bertanya padaku, maka jawabannya adalah dia sudah pergi menancap gas motornya sambil menertawakan aku. Dari sini aku tau, seharusnya aku kembali menanyakan pada diriku seperti apa teman yang sesungguhnya.
"Albert, cepat kau!" Panggil kepala pemborong kepadaku.
Mendengar teriakannya aku lekas berlari, lelah berjalan kaki ku lanjutkan dengan mendorong gerobak pasir tanpa istirahat.
Setiap langkah, setiap tetes keringaku, mengingatkan aku akan Emilia kecil yang dulu menangis meminta boneka kepadaku.
"Ayah aku mau boneka baru, seperti miliki Medina." Pinta anakku waktu itu.
Aku berkaca-kaca mendengar permintaannya waktu itu, bukan tidak mau memberikan apa yang dia mau, hanya saja ekonomi kami memang sangat sulit, makannya saja susah.
Bahkan sampai dewasanya ini, baru satu kali aku memberikan Emilia hadiah boneka seperti yang dia minta.
Mengingat hal itu kembali membakar semangatku, memberikan aku kekuatan lebih untuk mendorong gerobak. Aku tidak akan menyerah, tidak akan aku biarkan anakku menyesal memiliki ayah sepertiku.
****
"Ini upah kalian hari ini!"
"Terimakasih pak." Kami menerima upah kerja kami hari ini.
Dengan semangat aku membawa hasil keringatku untuk keperluan keluargaku, sisanya akan aku tabung untuk kuliah Emilia sesuai janjiku.
Sampai di rumah, aku melihat Emilia sedang membantu ibunya berbaring di kasur, dengan telaten anak itu menyelimuti tubuh kurus ibunya. Perempuan cantik yang dulu aku pinang dari keluarganya, perempuan cantik yang dulu rela meninggalkan keluarganya yang mampu hanya demi ingin hidup bersamaku karena cinta, hari ini terbaring lemah. Walau begitu, tak pernah sekalipun dia mengeluh, bahkan dia selalu memberikan aku motifasi agar tetap teguh pada pendirian kami, tetap saling mendukung walau apapun yang terjadi.
"Loh, ayah sudah pulang?" Kata Emilia, menyadari aku ada di belakangnya.
Ku sembunyikan air mata yang tadi sempat menetes, melihat pemandangan mengharukan ini.
"Iya nak, masakin ayah air hangat yah, ayah mau mandi!" Kataku menyuruh Emilia memasak air.
"Siap bos." Jawab Emilia semangat.
Anak itu menuju dapur sambil bersenandung kecil, menyalakan api di tungku.
Setelah selesai memasak air dia kembali, menghampiri aku yang sedang memijat pelan kaki ibunya.
"Ayah mau Mili pijat juga?" Tawarnya.
"Ah, memangnya kamu bisa?" Tanyaku.
"Ayah meragukan kemampuanku?" Tanya Emilia balik, aku menyernyit seakan dia mengulang perkataanku tadi pagi.
Emilia tertawa menyadari aku mengetahui apa yang ada dalam pikirannya.
Aku hanya menikmati pijatan dari tangan kecil putriku. Meski hanya dengan tenaga pelan, aku tetap bersyukur mendapatkan perhatian darinya. Setidaknya dia tau lelahku hari ini, setidaknya dia mengerti apa yang aku butuhkan.
"Apa ada kesempatan untuk ayah mengeluh, sementara kalian berdua tidak pernah memberi alasan untuk aku mengeluh." Kataku saat tangan kecil Emilia masih setia memijat punggungku.
"Aku tau ayah adalah yang terbaik, aku mencintai ayah." Kata Emilia memeluk punggungku.
"Aku akan pergi melihat air!" Pamit Emilia pergi ke dapur.
Beberapa saat kemudian aku mendengar Emilia memanggilku, dia mengatakan air hangat sudah siap untuk aku mandi. Aku bergegas ke dapur.
Rebeka terharu melihat pemandangan di depannya, sejak tadi dia hanya pura-pura tidur mengintip interaksi ayah dan anak itu. Dia bersyukur memiliki suami seperti Albert yang pekerja keras.
"Mili, ambilkan handuk untuk ayah!" Panggilku kepada Amilia, aku lupa membawa handuk sakit senangnya memikirkan keharmonisan keluarga kami.
"Ayah memang seorang pelupa!" Jawab Emilia tertawa kecil. Aku mendengar langkah anak itu menghampiri pintu kamar mandi, dan melempar handuk dari atas pintu. "Tangkap ayah!" Serunya saat melempar handuk.
Dengan sigap aku menangkap handuk yang di lemparkannya. "Terimakasih nak!" Kataku.