Berbeda dengan Samudera, yang memiliki jari sakti atau telunjuk sakti sebagai panglima perangangkatan bersenjata tentara nasional indonesia.
Samudera dapat memerintahkan semua pasukan di bawah kendalinya dengan pengaruh terpusat terhadap dirinya.
Sekalipun demikian dirinya tidak pernah menunjukkan sikap arogan, tempramental atas kebijakan yang merugikan rakyat.
Sikap dan sifat tirani, oligarki, diktator dan semena-mena jauh dari kata itu Samudera selalu bersikap bersahaja.
Adiknya Balaputera setelah mundur dari jabatan dan pengaruh atas rakyat melalui parlemen bersikap netral dan mengasingkan diri dari dunia politik dan pemerintahan di nusantara.
Dapat di sebut Balaputera naik gunung untuk mengurus hidupnya sendiri dan keluarga.
Tidak sedikit relawan, para tamu, dan pejabat istana yang datang menawarkan diri dan bala bantuan kepada Balaputera untuk kembali bertahta di negeri indonesia.
Adanya tawaran dari berbagai kalangan etis politik dan negarawan.
Seperti halnya, tawaran menjadi Duta Besar Negara, bahkan Menteri dalam kabinet kerja pemerintahan yang secara langsung utusan kepala negara menemuinya guna menawarkan maksud dan tujuan tertentu
Menanggapi berbagai isu yang beredar di masyarakat secara luas dirinya tetap bersikukuh untuk tetap duduk diam menikmati kesehariam dan rutinitas sebagai rakyat biasa.
Balaputera naik gunung mengasingkan diri di kediaman istrinya Harum Sari.
Selain di karenakan sebab, mertuanya telah meninggal dunia dan hanya ada satu-satunya Harum Sari sebagai anak tunggal pewaris orang tua dengan kata lain tidak ada orang lain yang akan melanjutkan perjuangan keluarganya.
Balaputera yang sedang menikmati kehidupan sebagai rakyat biasa tanpa adanya beban politik dan pemerintahan tentu saja menemani keseharian sang istri Harum Sari bersama sang anak di pondok pesantren rembang, jawa tengah.
Hari demi hari kehidupan berjalan baik sedemikian adanya, setelah fokus menata dan membenahi kehidupan di museum peninggalan orang tuanya Narendra Sanggrama dan Putri Anggraini.
Balaputera kini harus fokus melestarikan dan mengembangkan kehidupan di pondok pesantren warisan mertuanya.
Pada suatu ketika suasana di kehidupan pondok pesantren begitu hening, sejuk dan menenangkan hati lebih sejuk dari pada hari biasa.
Sore hari yang indah di sediakan kopi panas dan singkong goreng di meja duduk Balaputera sambil menikmati sore hari yang sejuk di padepokan mertua menatap langit dan mentari terbenam.
Seperti tidak ada yang dipikirkan namun suasana berubah seolah perasaan ngantuk yang sudah tak tertahan tanpa terasa lelap kantuk menghinggapi Balaputera di ruang keluarga.
Bermimpi seolah nyata bertemu dengan ayahndanya Narendra Sanggrama yang sudah lama wafat dari dunia yang fana.
Narendra Sanggrama tersenyum datar dan haru memberi wejangan kepada Balaputera untuk fokus membenahi dan menata kehidupan masyarakat ataupun rakyat lewat pendidikan yang akan merubah angka melek huruf dan mengurangi tingkat kesenjangan strata sosial di negara.
Pada dini hari seketika kaget dirinya masih berada di depan televisi ruangan keluarga, sang istri Harum Sari membuatkan makanan ringan untuk menenangkan Balaputera yang baru bangun tanpa tersadar lelap dalam tidurnya sehingga sang istri tak mau membangunkan Balaputera.
Di buatkan Mie Instan dan Telur spesial sebagai toppingnya di tambah Kopi Hitam panas sebagai wejangan makan malam kesukaan Balaputera.
Setelah semua tersantap, Balaputera bercerita tentang isyarat dan pesan tersirat di dalam mimpinya.
Sepatah demi sepatah kalimat tersampaikan dengan urutan yang gamblang tanpa adanya kalimat yang terlewatkan.
Mengingat dirinya di datangi sang ayahanda Narendra Sanggrama bahwa Narendra Sanggrama dulunya pernah berjanji kepada Ayahnya agar dapat mewujudkan Nusantara yang bebas akan kesenjangan dan pendidikan yang kurang di masyarakat karena ketidakmerataan angka melek huruf di batasi oleh mahalnya biaya pendidikan.
Tidak lain dan tidak bukan pesan yang terkandung dalam mimpi adalah bagian dari nawacita Narendra Sanggrama mengenai pendidikan yang ada di nusantara perlu di kembangkan dan di fasilitasi sehingga hal tersebut sudah ada sejak Narendra Sanggrama berjanji kepada Ayahnya atau Kakek dari Samudera dan Balaputera.
Selanjutnya Balaputera berjanji bahwa dirinya akan membangun 1000 pondok pesantren yang tersebar di wilayah nusantara dan sekitarnya.
Berdasarkan Royalti yang dimiliki dari bisnis yang di akuisisi oleh Balaputera dalam waktu satu tahun telah berdiri sekitar 999 pondok pesantren beserta fasilitas di dalamnya.
Yaitu musholla atau masjid di pelosok negeri, ruang belajar, lapangan ektrakulikuler, dan di lengkapi asrama belajar dengan kamar mandi di dalamnya.
Dalam waktu dua tahun lamanya secara serentak telah berdiri kokok 1000 pondok pesantren yang tersebar di nusantara.
Adapun masing-masing di daerah Sumatera, Kalimantan, papua dan lebih banyak terpusat di jawa timur dan jawa tengah.
Setelah itu Balaputera berhasrat mengadopsi sarjana muda yang non pegawai negeri dan para sukarelawan dari kaum cendekiawan muda yang siap mendidik dan mengajar ilmu pengetahuan serta agama secara terkoordinir.
Berjalan sebagaimana mestinya banyak anak-anak yang kurang mampu sekolah melanjutkan pendidikan di pondok pesantren tanpa di pungut biaya apapun.
Dengan syarat dan ketentuan di masing-masing tempat terdapat beberapa lokasi lahan yang diolah menjadi lahan pertanian padi, sayuran yang di garap oleh santri untuk kebutuhan hidup pondok pesantren dan penghuni di dalamnya yang juga mengikutsertakan penduduk sekitar bekerja bakti gotong-royong mengurangi pengangguran dan menambah pemasukan keluarga harapan yang terbelakang akan status sosial.
Beberapa rekan bisnis, para elite politik dan pejabat negara menyempatkan diri mampir di kediaman Balaputera di pusat pendiri pondok pesantren di rembang, Jawa Tengah.
Mereka menyampaikan akan membantu memberi bantuan dana yang akan di alokasikan dari pemerintah ke swasta yang menjadi bagian program pemerintah untuk pembangunan eksistensi pondok pesantren yang telah di dirikan Balaputera.
Bahkan Balaputera menolaknya secara halus akan bantuan tersebut, Tepatnya saat Samudera datang dan berkunjungpun tidak di gubris sedemikian rupa anggaran bantuan untuk keperluan eksisitensi pondok pesantren garapan Balaputera.
Namun seandainya bala bantuan di sampaikan dari hasil pribadi maka tak mengapa.
Balaputera berkeyakinan tidak ingin di bantu oleh pemerintah apapun bentuk dan jenisnya.
Sempat tersiar kabar bahwa bantuan operasional pendidikan pondok pesantren berasal dari organisasi persatuan bangsa-bangsa atau PBB, Balaputera tak keberatan menolak karena merupakan organisasi berbentuk swasta bukan pemerintahan.
Dalam sisi politik dan pemerintahan tidak jarang satu maupun dua dari komponen partai politik menawarkan bantuan dan karier bagi Balaputera agar dapat di jadikan sebagai wakil presiden, dengan bijak Balaputera konsisten menolak sebab perihal politik dan pemerintahan dapat menciptakan intervensi dan gangguan integritas di kemudiah hari akan mengganjal eksistensi di dalam pondok pesantren yang telah di dirikan dan beroperasional di seluruh wilayah Nusantara.
Bagi Balaputera kariernya suatu saat akan di tentukan kembali setelah dirinya melaksanakan titah dan pesan leluhur yang mungkin terabaikan akibat adanya beban dan tugas negara yang pernah di emban dalam periode sebelumnya.
Untuk itu naik ke puncak menara gading memang bukanlah suatu yang menjanjikan bahwa tugas manusia sebagai rakyat atau pemimpin telah usai sudah demikian adanya adalah untuk mawas diri, mengoreksi dan intropeksi diri agar tetap kokoh mempertahankan keyakinan yang sudah ada sedari para leluhur sebelumnya.
Butuhnya sebuah perenungan untuk membangun sebuah negeri di nusantara mungkin lebih tepat dari pada hanya bergumam bekerja, bekerja dan bekerja tanpa hasil yang sepadan bagi rakyat di semua elemen lapisan masyarakat.
Tanggung jawab adalah sikap bijak tentang kedewasaan.
Dan kedewasaan yang sesungguhnya adalah ketika bersikap membuktikan tanggung jawab dari pada sekedar sebuah perkataan lisan di mulut yang terdengar seolah bijak namun kosong terhadap pemikiran.