Pikiranku tidak tenang selama perjalanan menggunakan taksi online menuju salah satu hotel elit di daerah Kemayoran. Banyak hal yang sudah aku pelajari dari Radit, terutama tentang profesinya sebagai kucing di Jakarta. Radit menjelaskan suka duka menjadi kucing termasuk jenis pelanggan yang biasa ia temui.
Pada dasarnya aku tidak tertarik menjadi kucing seperti Radit, karena banyak hal yang tidak sesuai denganku. Aku tidak suka mengoral kemaluan laki-laki, aku juga tidak mau ditusuk, aku tidak suka orang yang jorok dan bau, serta aku sangat pemilih orangnya. Dengan persyaratan sebanyak begitu mana ada pelanggan yang mau, apalagi aku tidak mau dibayar murah, kalau di bawah satu juta, aku tidak perlu jadi kucing karena bisa minta sama papa dan mama.
Menurut Radit persyaratan yang aku ajukan itu tidak pas untuk seorang escort yang menjual jasa kepuasan seksual. Karena kalau sudah dibooking harus mau diapain aja sama yang bayar. Kalau lagi dapet yang mainnya kasar kita harus siap melayani nafsunya walaupun kadang terasa sakit dan perih, belum lagi yang bau badan kadang bikin jijik dan mau muntah tapi kita harus tetap pura-pura menikmatinya. Selain itu ada yang lebih parah, kalau sedang ketemu sama klien yang pelit, aduh negonya bisa berhari-hari terus mintanya banyak lagi.
Meski begitu tidak jarang juga dapat pelanggan yang sopan, bersih dan baik. Bahkan ada yang royal banget. Radit bahkan punya langganan yang begitu, cakep lagi orangnya.
"Kalau seperti syarat-syarat kamu itu pasnya jadi peliharaan om-om tajir za" cerita Radit ketika dia main ke rumahku. Kebetulan papa dan mama sedang tidak di rumah.
"Apa bedanya sama kucing?" tanyaku ragu. Radit kelihatannya rada kesal dengan pertanyaanku itu.
"Beda jauh lah. Mau jawaban simple atau panjang?" Radit balik bertanya membuatku cemberut.
"Yang mudah dicerna aja" Ucapku ketus. Radit tertawa melihat reaksiku yang kesal.
"Kalau peliharaan itu seperti simpanan nya om-om gitu. Jadi om-om biasanya kaya, ketemu juga jarang karena kebanyakan sih sibuk sama kerjaannya. Apalagi om om yang sudah berkeluarga." jelas Radit panjang lebar. Aku senyum-senyum mendengar penjelasannya.
"Nah terus kucing itu sama seperti apa dong?" tanyaku lagi, padahal aku sudah tau kucing itu apa.
"Pelacur" jawabnya singkat dan bikin mataku melongo.
Pelacur? kasar sekali persamanaannya. Memang sih kata-kata itu yang paling sederhana penjelesannya. Tapi kadang istilah pelacur kesannya murahan banget, walaupun tidak seorang pun punya hak menghakimi orang lain murahan, tapi begitu kenyataannya di mata masyarakat secara umum.
Aku mencoba menjadikan kucing sebagai salah satu potongan hayalan dalam dunia imajinasiku, dan kelihatannya tidak begitu menarik untuk dilanjutkan, apalagi saran Radit juga masuk akal, tidak ada yang menjadi alasan mendesak sehingga aku harus berprofesi seperti Radit.
Aku akui bahwa aku bukan berasal dari orang yang kaya raya, namun bukan berarti kami orang susah. Papa dan mama keduanya bekerja dan berpenghasilan lumayan besar untuk membiayai hidup di Jakarta. Kami punya rumah, kendaraan dan beberapa bidang tanah dan kebun di desa tempat kelahiran orang tuaku.
Hanya saja seperti anak-anak remaja sekolah seusiaku tentu uang jajan yang diberikan tidak banyak, toh semua keperluan sekolah sudah dibayar dan dipenuhi oleh papa dan mama. Jadi uang jajan biasanya tidak cukup untuk membeli barang-barang yang tidak ada kaitannya dengan urusan sekolah. Padahal kadang aku juga ingin membeli banyak hal yang menurut papa dan mama tidak penting.
Seiring waktu berlalu akhirnya Radit menawarkan kesempatan yang sulit ku tolak. Seorang pria dewasa yang lebih pas disebut om om muda berumur 36 tahun bersedia memenuhi syaratku, namanya Om Erick. Radit tidak menjelaskan secara rinci latar belakang Om Erick, bahkan sekedar fotonya pun tidak ada.
Menurut Radit Om Erick merupakan teman dari Om Jhoni seorang Pengusaha yang sering menggunakan jasa Radit. Om Erick sangat menjaga privacinya, jadi tidak mau memberikan foto dan informasi latar belakangnya sehingga Om Jhoni yang jadi perantaranya, sementara Radit menjadi penghubungku.
"Dia mau kasih tiga juta." jelas Radit melalui sambungan telepon.
"Serius?" tanyaku saat itu. Aku sempat ragu karena sebenarnya aku tidak begitu serius untuk menjadi peliharaan apalagi kucing.
"Iya, Om Erick itu orangnya baik dan masih single, terus orangnya sangat tertutup. Aku aja nggak pernah komunikasi langsung ke dia, apalagi ketemu." lanjut Radit lagi.
"Terus dari mana kamu tahu dia baik?" tanyaku ragu.
"Menurut Om Jhoni sih begitu. Dan selama aku kenal Om Jhoni, dia gak pernah bohong loh za." jawab Radit yakin.
Aku berpikir lama sebelum aku memutuskan untuk setuju beberapa hari kemudian. Kesepakatan yang sudah dibicarakan antara Radit yang mewakiliku dan Om Jhoni yang mewakili Om Erick sudah sama-sama kami setujui. Om Erick bersedia membayar tiga juta untuk sekali kencan, tidak termasuk biaya hotel dan lain-lain. Sedangkan aku bersedia melayaninya tanpa melakukan seks anal. Tapi terkait oral seks, aku terpaksa setuju hanya saja aku tidak janji akan tahan cukup lama, toh ketika mengoral kontol Radit aku hampir muntah.
Selain itu aku akan menginap, untuk itu waktunya haruslah malam Minggu agar tidak mengganggu sekolahku. Aku akan beralasan menginap di rumah teman sekolahku agar papa dan mama setuju. Dan ternyata sesuai dengan rencanaku, papa dan mama mengizinkan aku menginap setelah aku mengarang cukup banyak alasan yang masuk akal.
Sopir taksi online yang dari tadi mencuri-curi pandang itu akhirnya membawa mobilnya masuk ke area lobi hotel yang cukup luas. Aku berhenti memikirkan hal-hal yang berkecamuk dalam kepalaku, belum lagi rasa cemas yang telah menyelimutiku sejak tadi malam. Tanpa banyak basa-basi aku membayar tagihan taksi dan masuk menuju hotel sesuai dengan kamar yang sudah diberitahu Radit.
Kamar Om Erick berada di lantai 9. Ukurannya sangat luas dengan fasilitas yang lengkap dan mewah. Dia membuka pintu kamar tidak lama setelah aku menekan bel, Om Erick hanya menggunakan baju kaos dan celana pendek, kelihatannya dia sudah menungguku.
Aku cukup terkejut ketika pertama kali melihatnya. Ternyata dia jauh dari kesan om-om, malah lebih tepat dibilang kakak atau abang atau mas dan sebutan lainnya yang berarti serupa, meskipun usianya dua kali usiaku.
Suasana hening dan canggung terasa cukup lama, sampai Om Erick mulai berbasa-basi. Aku baru berani memandangi wajah Om Erick beberapa menit kemudian. Tampangnya tidak terlalu tua, bahkan terlihat masih sangat muda, meski umurnya dua kali umurku. Tubuhnya tampak ideal dan tegap, kelihatannya Om Erick rajin olahraga dan fitnes sehingga perutnya tidak buncit seperti Om Jhoni langganannya Radit.
(Om Erick, 36 Tahun. Gambar hanya ilustrasi yang disadur dari google)
Pemalu. Itu kesan yang paling tampak dari Om Erick, dia hanya berbicara secukupnya, bahkan itupun tampak dipaksakan. Karena aku juga sangat gugup, jadi kami seperti dua orang asing yang sama-sama tidak berani bertegur sapa.
Aku hanya duduk di salah satu sofa dalam kamar hotel sementara Om Erick berpura-pura sibuk membuka-buka kulkas dan mengeluarkan isinya untuk aku minum. Dengan canggung Om Erick menawarkan minuman dingin dari kulkas, aku tersenyum dan mengangguk. Rasanya ingin aku keluarkan ponsel dari kantong celanaku, tapi rasanya tidak enak seperti sibuk sendiri nanti Om Erick malah tersinggung.
"Kamu sudah mandi ya?" tanya Om Erick kaku. Dia berdiri di samping tempat tidur sambil memandangi sekeliling ruangan seperti mencari barang yang hilang menjadikannya tampak semakin gugup.
"Sudah om, emang kelihatannya aku belum mandi ya?" jawabku sama kakunya. Awalnya jawabanku untuk bahan candaan agar tidak kaku, tapi yang keluar justru seakan-akan aku menyalahkan Om Erick.
"Oh, iya maaf. Om belum mandi soalnya." respon Om Erick cemas.
Kelihatannya dia merasa sangat bersalah dengan pertanyaannya tadi. Buktinya Om Erick tidak lagi mengajakku bicara. Dia membuka bajunya menyisakan hanya celana pendek. Perutnya terlihat begitu seksi. Aku menelan ludah melihatnya. Ini semua di luar dugaanku, semula aku berpikir akan disuguhi om-om gendut yang ramah, tapi malah dapat om om macho yang pemalu.
Om Erick mengambil handuk dan berjalan ke arah tirai panjang yang menutupi sebagian jendela, ternyata di balik tirai itu ada balkon. Meskipun tidak bicara lagi Om Erick selalu saja tersenyum malu-malu membuatku jadi salah tingkah. Aku berdiri melepaskan jaketku lalu menggantungnya, melepaskan celana jeans yang aku gunakan sehingga menyisahkan celana dalam sepaha yang ketat.
Dari pintu balkon Om Erick memandangiku yang sedang bercermin hanya menggunakan celana dalam dan baju kaos ketat. Dia tertegun sesaat, ketika aku menyadari pandangan Om Erick aku langsung duduk di sofa dan mengambil handuk yang tergeletak di samping kursi untuk menutupi selangkanganku. Om Erick kembali tersenyum, lalu keluar menuju balkon. Tepat saat dia membalikkan tubuhnya aku sekilas menyadari bahwa kontol Om Erick tegang.
Jantungku berdetak cepat, tapi tidak berlangsung lama, karena rasa penasaran telah mengahampiriku. Apa yang dilakukan Om Erick di balkon itu, bukankah Om Erick mau mandi, alih-alih ke kamar mandi malah dia keluar ke balkon kamarnya. Untuk mengobati rasa penasaran aku mengikutinya ke balkon, dan ternyata itu bukan sekedar balkon, tapi juga pintu menuju kolam renang.
Om Erick sudah ada di dalamnya, sendiri. Kolamnya tidak terlalu besar, kelihatannya hanya beberapa kamar saja yang terhubung dengan kolam renang ini. Aku kembali menjilat ludahku melihat Om Erick bermain air dalam kolam itu. Dia menyadari kehadiranku, sesekali dia tersenyum dan kelihatannya ingin mengajakku mandi bersamanya, tapi malu untuk mengungkapkannya.
Om Erick melakukan gerakan-gerakan yang memamerkan bagian-bagian vital tubuhnya, mungkin saja sengaja memancing reaksiku. Tapi entah mengapa aku masih belum mampu membangkitkan birahiku sama seperti saat aku bertemu Radit. Apa mungkin karena aku masih grogi? entahlah.
(Om Erick, 36 Tahun. Gambar hanya ilustrasi yang disadur dari google)
Hari sudah mulai gelap ketika Om Erick mengajakku keluar kamar dan memesan makanan di restoran yang ada di hotel. Awalnya kami hanya memesan beberapa makanan ringan karena rasa canggung masih sangat terasa. Bahkan setelah dari kolam renang tadi Om Erick berganti pakaian tanpa berbicara sepatah katapun, begitu juga denganku. Aku sibuk menonton video-video di Youtube dan sesekali bermain game untuk menghilangkan rasa canggung meskipun tetap saja tidak berhasil.
Tapi dengan duduk berhadapan di meja restoran seperti ini membuat diriku dan Om Erick harus memulai obrolan. Dan Om Erick yang lebih dewasa dariku akhirnya kembali berbasa-basi bertanya tentang sekolahku. Aku menjawab cukup singkat setiap pertanyaan-pertanyaannya yang seperti ujian lisan di sekolah. Sesekali Om Erick memandangku dan kelihatannya dia salah tingkah.
Perlu waktu cukup lama dan beberapa menu makanan sudah habis kami santap, untuk menjadikan suasana terasa cair. Akhirnya kami benar-benar bisa mengobrol, meski masih rada garing. Setelah obrolan santai di meja makan akhirnya aku mulai mampu mengontrol diriku.
Aku kembali tersadar bahwa tugasku adalah memuaskan hasrat Om Erick. Aku harus mampu mengontrol diriku agar hasratku bangkit. Sebagai langkah awal aku mulai membayangkan berhubungan seks dengan pelayan restoran yang hilir mudik mengantarkan pesanan dan sekedar membersihkan meja makan.
Dengan umur yang hanya lebih tua beberapa tahun dariku pelayan-pelayan itu tampak cukup seksi dan menggiurkan. Akhinya aku berhasil membangun imajinasiku, untuk membangkitkan nafsu dan birahi ketika salah satu pelayan yang beberapa kali menghampiri meja kami menjadi objek dalam hayalanku.
Selama makan malam Om Erick sangat sopan dan kelihatannya cukup baik. Sangat berbeda dengan om-om yang sering diceritakan Radith. Dan yang paling aku suka dari Om Erick adalah aroma tubuhnya sangat wangi, aku tidak tahu dia pakai parfum apa, yang jelas tidak sama seperti parfum yang biasa aku beli di minimarket.
Wangi aroma tubuhnya yang harum menambah gairah seksualku apalagi ketika dia melepas satu per satu pakaiannya dan menyisakan celana dalam hitam yang ketat. Kontol Om Erick sudah tegang dari tadi, sebenarnya hal itu aku sadari ketika pertama kali aku masuk ke kamar itu. Di balik celana pendek yang dia kenakan tonjolan kontolnya sudah terlihat begitu jelas.
"Aku gak siap difuck om." ucapku pelan tanpa memandang Om Erick ketika kami sudah kembali ke kamar.
"Iya, om sudah tau. Sebenarnya om suka ngefuck. Tapi gimana lagi kalau kamu tidak siap." Jawabnya ramah.
Aku tersenyum mendengar pernyataan Om Erick dan keberanian mulai mengalir dalam darahku lalu menyadarkanku bahwa Om Erick yang ganteng sudah siap untuk dinikmati. Aku baru saja akan melepaskan bajuku ketika Om Erick tiba-tiba menarik tanganku dan membuat aku terjatuh berbaring di atas ranjang berseprai putih itu.
(Om Erick, 36 Tahun. Gambar hanya ilustrasi yang disadur dari google)
Entah semenjak kapan Om Erick mulai mampu mengontrol kecanggungannya sampai berani melumat bibirku. Aku mencium balik Om Erick, ada rasa nikmat yang aku rasakan. Ciuman Om Erick begitu terasa, dan yang membuatku terkejut adalah mulutnya begitu segar dan wangi. Tampaknya Om Erick rajin membersihkan dan merawat mulutnya dari sejak lama.
Om Erick menjilati leherku sembari tangannya melepaskan helai demi helai pakaian yang menempel pada tubuhku tanpa menyisahkannya sedikitpun. Tidak perlu waktu yang lama, kami berdua sudah telanjang di atas tempat tidur. Om Erick betul-betul berpengalaman. Untuk urusan ranjang sangat bertolak belakang dengan sifat pemalunya.
Bila tadi saat ngobrol terasa begitu canggung, berbeda halnya dengan urusan seks. Awalnya aku sempat bingung mau ngapain, ternyata aku tidak perlu banyak beraksi. Om Erick lah yang menjadi pemain utama dalam adegan ini. Setiap jengkal tubuhku dijilatinya.
(Om Erick, 36 Tahun. Gambar hanya ilustrasi yang disadur dari google)
Kedua puting susuku dimainkannya begitu dahsyat membuatku mendesah begitu keras. Bibirnya yang ditumbuhi kumis tipis perlahan turun menuju pusarku dan mulai menciumi selangkanganku. Ada rasa geli dan nikmat yang mengalir ke sekujur tubuhku.
Lalu Om Erick mulai menjilati ujung kontolku, hanya ujungnya. Aku belum pernah diperlakukan begitu, ternyata nikmat sekali. Om Erick menjilati batang kontolku seperti es krim, dia terus bermain dengan batang kontolku sampai akhirnya benar-benar memasukkannya ke dalam mulutnya.
Rasanya sangat luar biasa. Kontolku sudah pernah dioral oleh Kak Nata dan Radit dan terasa begitu nikmat, tapi masih kalah dengan kuluman Om Erick. Entah perasaanku saja atau memang kenyataan bahwa Om Erick sudah sangat pengalaman. Ritme yang dia mainkan, ketika menarik dan memasukkan kontolku ke mulutnya begitu teratur, sehingga membuat birahiku semakin menjadi-jadi.
Sesekali badanku menggeliat, dan dengan refleks tanganku memegang kepala Om Erick lalu mengangkatnya dari selangkanganku dan mencium bibirnya. Kami berciuman begitu dahsyat, bahkan air liurku ditelan oleh Om Erick. Lidahnya begitu lincah bermain dan masuk ke dalam mulutku seperti belut yang mencari sarangnya.
Sementara kontol Om Erick berdenyut-denyut dihimpit oleh selangkangan dan kontolku yang juga sudah tegang sempurna. Om Erick merubah posisinya dan kembali mengoral kontolku sedangkan tangannya mengocok-ngocok miliknya yang sudah basah dibaluti percume. Keringat kami sudah membasahi sekujur tubuh. Aku terus menggeliat dengan aksi-aksi Om Erick yang begitu tangkas.
Dan akhirnya, setelah dikulum hampir setengah jam spermaku menyembur dari kontolku yang masih bersarang dalam mulut Om Erick. Nafasku mengalir begitu cepat, sensasi yang begitu nikmat kembali aku rasakan ketika spermaku keluar dari ujung kontolku.
Om Erick tersenyum, lalu dia mulai memelukku dan menindih tubuhku, kontolku yang masih tegang dan basah oleh spermaku beradu dengan kontol tegang Om Erick. Dia meggenjot-genjot pinggulnya dengan ritme yang teratur, kedua kontol kami bergesekkan. Awalnya kontolku terasa sangat ngilu karena baru saja mengeluarkan sperma yang cukup banyak. Tapi dengan genjotan dan gesekan kontol Om Erick yang tegang sempurna membuat kontolku kembali hidup dan tegang. Om Erick melumat bibirku dan memasukkan lidahnya ke dalam mulutku, sementara pinggulnya dihentak-hentakkan ke selangkanganku sehingga membuat kontol kami saling gesek dan menempel. Om Erick lalu menjilati telinga dan leherku kemudian mulai turun dan menjilati ketek ku yang ditumbuhi rambut-rambut halus yang tipis. Lalu kembali lagi mencium bibirku yang aku balas tidak kalah gesitnya.
Aroma tubuh Om Erick tercium begitu nikmatnya, terasa sangat jantan dan laki-laki banget. Dengan otot lengan yang besar dia memeluk tubuhku dengan erat, aku membalas pelukannya tidak kalah erat. Posisi kami berpelukan menyamping sambil berciuman melumat bibir.
Kami berada dalam posisi saling memeluk cukup lama, keringat sudah membasahi tubuh kami dan seprai yang ada di atas ranjang. Tiba-tiba genjotan Om Erick semakin cepat dan kuat, kontolku yang masih bertindihan dengan kontol Om Erick ikut merasakan tekanan yang nikmat, lalu kontol Om Erick mulai berdenyut begitu juga kontolku, tanpa bisa kami kendalikan kontol Om Erick dan kontolku mengeluarakan sperma cukup banyak membasahi perut kami berdua. Tubuhku bergetar merasakan nikmatnya puncak orgasme kedua ku, lalu mulai melemas begitu juga Om Erick meskipun tubuhnya masih memeluk tubuhku.
Kami kelelahan setelah bersetubuh, aku sudah dua kali mengeluarkan sperma membuat tubuhku sangat lemas. Kami berbaring terlentang di atas ranjang setelah saling menikmati tubuh masing-masing.
Aku dan Om Erick membersihkan tubuh kami masing-masing sebelum akhirnya tertidur di atas ranjang dalam keadaan sama-sama telanjang. Aku tertidur cukup nyenyak, dan ketika aku bangun Om Erick sudah chek out dan meninggalkan uang jajan yang lebih banyak dari perjanjian di atas meja kamar dengan sebuah catatan kecil, yang intinya dia sangat puas dan minta maaf bila ada perlakuannya yang kurang berkenan.
Aku tersenyum sendiri membaca catatan kecilnya, sebenarnya aku sangat menikmati persetubuhan kami malam itu apalagi aku tidak perlu repot-repot mengoral kontolnya karena tidak pernah sempat, padahal kontol Om Erick lumayan besar dan sangat bersih. Om Erick kelihatannya tipikal laki-laki yang selalu merawat dan menjaga kebersihan tubuhnya.
Setelah sarapan aku meninggalkan hotel menggunakan taksi online. Perasaanku sangat lega sekaligus penasaran. Banyak hal yang akan aku ceritakan pada Radith tentang hal ini. Tentang Om Erick yang sangat irit berbicara, dia begitu hot dan macho, laki-laki banget. Dia sangat bersih dan wangi, apalagi usianya masih lumayan muda untuk ukuran om-om. Hanya saja dia betul-betul tertutup. Dengan sedikit nakal aku mengingat-ngingat bokong Om Erick yang begitu padat dan berisi, pasti anusnya sempit dan lembut.
Andai saja kontolku masuk ke dalam anusnya, pasti sangat nikmat. Hmmmm, hayalanku buyar ketika aku ingat bahwa Om Erick lebih suka ngefuck sama sepertiku. Mungkin di persetubuhan kami selanjutnya dia bersedia aku fuck. Semoga saja.
Sifat Om Erick yang pendiam menambah daya tarik tersendiri bahkan membangkitkan keingintahuanku. Kami sempat mengobrol cukup lama di meja makan, tapi hanya basa-basi. Aku bahkan tidak tahu pekerjaan dan alamat rumahnya. Mungkin dia menganggap ini hanya selingan belaka, sekedar mencari pemuas nafsu di luar. Bisa saja dia sudah punya istri atau juga punya pacar laki-laki, sehingga dia hanya ingin hubungan ini sebatas seks sesaat saja. Sejujurnya aku pun hanya menikmati tubuh Om Erick untuk melampiaskan nafsuku saja, tanpa ada perasaan lainnya.
Selama perjalanan pulang aku berpikir keras dan menurutku cukup adil, aku dapat bayaran dan kepuasan secara bersamaan. Aku sangat senang dengan klien ku yang pertama ini, dan kelihatannya aku akan melanjutkan profesi ini.
Ternyata aku benar-benar melanjutkan kehidupanku di dunia pelangi. Beberapa hari setelah aku melayani Om Erick aku bertemu Radit. Dia tidak terlalu terkejut mendengar ceritaku, karena dia sudah tahu tentang sifat Om Erick dari cerita Om Jhoni yang terbukti tidak banyak berbeda dari kenyataannya.
Aku semakin sering bertemu dengan Radit, apalagi kalau nafsuku sedang memuncak, Radit bersedia saja bersetubuh denganku, dan lagi-lagi aku memasukkan kontolku ke anus Radit yang entah kenapa masih kencang dan seksi saja.
Dalam kurun beberapa bulan ini aku sudah melayani beberapa Om Om, meskipun yang aku dapatkan tidak ada yang melebihi Om Erick. Rata-rata berumur empat puluhan, dan pastinya kaya. Semuanya difasilitasi oleh Radit. Aku cuma menunggu saja klien yang sesuai dengan tipeku. Walaupun aku hanya mendapatkan beberapa om om yang bersedia. Meski begitu, untuk pemain baru aku sudah lumayan berhasil mengasah kemampuanku. Untungya dari semua klien yang aku layani, semuanya tidak ada yang berhasil memasukkan kontolnya ke duburku, karena memang aku tidak mau.
Sebaliknya, aku juga tidak pernah memasukkan kontolku ke anus om-om itu, karena jujur saja aku tidak tahu apakah aku mampu melakukannya. Akhirnya kami hanya bermain-main saja, saling mengoral dan mengulum.
Kalau masalah bayaran, Om Erick bukanlah yang paling besar, ada beberapa orang yang bayar lebih mahal, meski begitu tidak semua baunya sewangi Om Erick. Hanya beberapa saja, tapi untungnya tidak ada yang bau badan dan mulut, maklum rata-rata mereka orang-orang kaya.
Beberapa kali om-om itu meminta aku menjadi simpananya, tapi entah mengapa aku selalu saja menolak, bahkan iming-iming uang dan fasilitas yang akan diberikan oleh mereka sangatlah menggiurkan. Mungkin aku belum siap untuk terikat, atau sebenarnya aku tidak terlalu serius dengan hal ini. Hanya hiburan dan cari jajan semata.
Kadang aku ingin bertanya kepada Radit tentang Om Erick, kapan dia akan melakukannya lagi. Namun menurut Radit, Om Erick lumayan sibuk. Aku cukup kecewa mendengarnya, Om Erick adalah Om Om pertamaku yang aku layani, dan yang paling berkesan menurutku. Permainannya sangat luar biasa dan mampu membuatku begitu puas merasakan puncak kenikmatanku.
Aku kembali berhayal, membayangkan Om Erick berbaring di ranjang hanya menggunakan celana pendek. Tubuhnya yang seksi sangat menggairahkan. Aku Berharap suatu ketika Om Erick akan bersedia aku fuck. Bokongnya yang seksi, goyangan mautnya yang erotis, membuat kontolku mulai tegang, perlahan ku elus ternyata ujungnya sudah basah. Hmmmmm, Om Erick, kamu memang Om Om Pertamaku.
Bersambung.