Chereads / Aku Tidak Mau Obsesi Pemeran Utama / Chapter 29 - Aku tidak peduli

Chapter 29 - Aku tidak peduli

Reyner hendak membuka mulutnya, namun sebelum itu kusanggah. "Lord, apakah kau ingat kita sedang menyamar?" bisikku.

"Barusan kau bilang kau mau semuanya, 'kan?"

"Tidak! Aku tidak serius mengatakannya! Tolong, jangan!" mohonku, sembari menyatukan kedua telapak tangan.

Luke tertawa kecil. Tawa yang pada dasarnya tidak asing, karena dia pernah seperti itu saat mengerjaiku.

Pria bersetelan hitam itu kemudian mengusap kepalaku yang masih terlindung penutup. "Baiklah, apapun yang kau inginkan," tuturnya.

Luke lantas menoleh ke para pelayan yang menjaga perhiasan. Lalu, menunjuk sebuah kereta kuda di seberang jalan dengan jempolnya. "Bisa kalian kirimkan semua yang di meja ini ke kereta di sebelah sana?"

"Baik, Tuan. Harganya ...."

"Tulis itu di cek ini!" Luke menyerahkan selembar kertas panjang ke Reyner.

"O-oke. Terimakasih sudah berbelanja!" susul Reyner kemudian.

Reyner meraba cek berlapis emas itu. Sepasang matanya berbinar-binar. Sementara Luke buru-buru menarikku keluar dari toko. Aku mengikutinya tanpa berkutik.

***

Kini, kami berpindah ke sebuah toko pakaian terbesar di ibukota. Namun, belum semenit waktu berjalan, Luke kembali menoleh ke jendela transparan. Matanya tertuju pada kios yang berderet di pinggir jalan. Lantas, ia memegangi pundakku.

"Kau bisa mencoba beberapa gaun di sini. Tidak keberatan 'kan kalau kutinggal sebentar?" tanya Luke.

"Tidak masalah."

Malah bagus kalau dia tidak ada. Tiap kali dirinya berada di sampingku, aku merasakan tekanan batin.

"Baiklah. Aku pergi dulu," pamitnya, sembari mengelus kepangan rambutku lalu mengecupnya ringan.

Sosoknya lekas menghilang sehabis lonceng pintu bergoyang. Ketika dia benar-benar pergi, aku mengistirahatkan diriku di sofa yang disediakan.

Peduli amat dengan baju-baju yang menggantung di rak. Aku tidak tertarik untuk menjajalnya.

Sejak awal, Luke dan surat itulah yang terpenting bagiku. Setelah ini, aku akan memilih salah satu set gaun dan segera menyelesaikan kencan ini.

"Oh, lihat? Siapa ini? Bukankah ia mirip Lady yang angkuh itu?" cetus seorang wanita bergaun tebal yang menghampiriku. Ia mengarahkan ujung kipas tangannya ke arahku.

"Sangat angkuh sehingga menolak berlian berharga. Padahal yang lain berebut untuk mendapatkan berlian itu," ujar sang Dayang yang mendampinginya.

Oh, ternyata mereka sedang menyindirku yang menolak berdansa dengan Luke malam itu. Aku tak menggubrisnya. Sebab, sindiran itu tidak ada artinya untukku.

Kuakui mata mereka jeli juga. Mereka lebih mengenalku dibanding Reyner yang sudah lama menjadi bawahanku.

"Tapi bukannya itu karena dia wanita murahan? Kudengar, dia mengundang si Hakim sok kritis itu ke rumahnya."

"Hahaha, pasti sebentar lagi undangan pernikahan akan tersebar. Bisa saja dia 'mengandung benih' duluan kan?"

Brak

Dengan sengaja, kutendang penyangga sofa di belakangku---membuat seisi toko memperhatikanku. Kedua wanita di hadapanku membelalak kaget, sedangkan aku tersenyum miring.

"Ups, maaf. Aku hanya terkejut mendengar kabar burung yang mengusik telingaku," sinisku, seraya menempelkan jemari ke bibirku. Aku sengaja menggunakan bahasa informal.

"Wah, ternyata benar. Kau Lady Chester bukan?"

Aku mengangkat bahuku. "Entahlah, siapa tahu. Kau sendiri?"

"Kau tidak mengenalnya? Dia adalah Tuan Putri Verolle dari Kerajaan Wellingston!" ketus wanita berseragam dayang tanpa sopan-santun.

"Oh, kerajaan yang berencana menikahkan politik putri tunggalnya itu ya? Karena dilanda krisis kekeringan?" sindirku pedas.

Verolle menggertakkan giginya. Ia menakutiku dengan pelototan ganas. Namun kemarahannya itu semakin membuatku senang. Sebab, aku berhasil memancing emosinya.

"Kau!" Verolle mengepalkan telapak tangannya, kemudian mengamati gaun pastel yang melekat di tubuhku. "Wanita kampungan sepertimu tidak pantas berlagak. Putra Mahkota terlalu berkelas untukmu yang tidak punya kelebihan!"

Aku menertawakan keseriusannya. Sepertinya tujuannya berkunjung ke negara tetangga adalah untuk mendekati Luke. Ia ingin menjadi permaisuri agar terhindar dari kemiskinan. Aku sama sekali tidak marah, namun merasa kasihan dengannya.

Kutepuk pelan pundak kirinya, lalu berbisik, "Kalau begitu, dekatilah Putra Mahkota. Dengan senang hati, aku akan menyemangatimu dari bangku penonton."

"DASAR J***NG KURANG AJAR!" teriak Verolle, mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya.

Refleks, aku menutup mata, bersiap menerima tamparan darinya.

Beberapa detik berlalu. Kurasa, aku sudah ditampar oleh Putri Verolle. Tapi mengapa nyeri di pipiku tidak terasa sama sekali?

Perlahan, kubuka kelopak mataku. Di hadapanku, seseorang pria menghadang Putri Verolle.

"Apa yang kau lakukan?!" geramnya dengan suara berat. Ia mencengkram lengan Verolle kuat-kuat.

"Putra Mahkota?"

Sekali lagi, orang-orang di dalam toko heboh menyaksikan pertikaian kami. Mereka berhenti berbisik ketika mendapati Luke berada di tengah-tengah. Ya, identitas Luke terekspos karena jubah hitamnya tersingkap.

"Tolong jelaskan padaku apa yang terjadi?"

Kulit Luke yang pada dasarnya putih memerah seketika. Bibirnya menekuk dan kedua alisnya menyatu. Hawa mencengkam menyeruak ke ruangan toko.

Tapi tidak dengan Verolle. Ia yang tidak menyadari situasi memegangi kedua lengan Luke. "Yang Mulia, ingat aku? Aku Putri Verolle yang pernah mengunjungimu sewaktu kecil. Aku hanya sedang memberinya pelajaran. Ia bertingkah tidak sopan denganku," rengek Verolle membela diri.

"Menyingkirlah dariku. Aku tak pernah mengenalmu!" sergah Luke, yang kemudian menampik Verolle. Ia dengan terang-terangan menampilkan ekspresi risih.

"Yang Mulia, apa karena dia? Dia ini bukan wanita yang baik!" cerca Verolle, sambil melirikku remeh.

Aku melipat lengan dan menaikkan alis. Ya, lakukan sesukamu. Padahal kau yang memulainya duluan. Barangkali itulah yang kupikirkan.

Aku mengamati Luke yang menjadi perisaiku. Punggungnya sangat lebar. Di bawah rambut pendeknya, terdapat pembuluh darah yang menojol di lehernya.

"Aku menyukainya dan itu tidak ada urusannya denganmu."

Suara Luke terdengar lima kali lebih maskulin ketika mengatakan itu.

"T-tapi Putra Mahkota ...."

"Selama aku masih bersabar, berhentilah bersikap tidak sopan, Putri! Ini adalah peringatan!"

Luke lantas memutar badan sambil melapisi bahuku dengan jubahnya. Lalu, ia menuntunku keluar dari pandangan orang-orang. Kurasa sebentar lagi kami akan menjadi buah bibir.

***

Pada akhirnya, aku tidak sempat membeli apapun dari toko pakaian. Ditambah, aku malah memancing keributan dengan putri negara tetangga. Pasti Luke sangat kesal karenaku.

Aku mendongak, melihati kerutan di wajahnya yang belum hilang. "Apakah Anda kesal dengan saya?" tanyaku, kembali bercakap ke mode formal.

Luke menghela nafasnya. Ia memaksakan senyuman kecil ke arahku. "Tidak. Aku hanya kesal dengan wanita itu. Selama ini aku bersusah payah untuk menjagamu dan tidak menyakitimu. Tapi wanita itu dengan entengnya mau mendaratkan tangan kotornya ke pipimu?!"

Aku menundukkan kepala. Mengapa aku begitu senang mendengar kalimat itu?

"Dan aku sangat marah. Karenanya, kencan pertamaku malah jadi gagal begini!" keluh Luke.

Ini buruk. Aku tidak bisa membiarkan Luke larut dalam kemarahan. Aku takut kalau dia akan memenggal kepala seseorang untuk melampiaskan emosinya. Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki mood-nya.

"Yang Mulia, bagaimana kalau---"

Anehnya, durja Luke kian menggelap. Ia seolah terganggu dengan omonganku. Lantas, Luke menggeret leherku tiba-tiba. Ia mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Netra kami nyaris tak berjarak sehingga aku bisa melihat detail bercak biru di dalam iris matanya.

"Entah mengapa aku kesal dengan panggilan itu. Bisakah kau memanggilku 'Luke' sekarang?"

Debaran jantungku mulai tak beraturan. Paras sempurnanya dari dekat membuat hatiku kacau balau. Aku pun mengerutkan dahi, lalu mengarahkan mataku ke bawah.

"L-Luke?"

Luke mengendurkan tangannya dari leherku. Perlahan, ia membuat jarak yang cukup signifikan. Ia pun berbalik dariku. Durjanya sukses terhindar, namun daun telinganya merona jelas dari belakang.

"B-bagus. Mulai sekarang p-panggil aku seperti itu!" gagap Luke.

"Kenapa dia kikuk begitu? Membuat canggung saja!" pikirku.

Luke berlanjut menegakkan badannya dan memerintah, "Satu lagi, berhentilah menggunakan bahasa formal ketika berdua saja denganku!"

Aku mengangguk dua kali. Apakah hatinya mulai melunak?

Mumpung kemarahannya mereda, aku harus membuat perasaannya lebih baik.

"Kalau begitu, maukah kau pergi denganku ke suatu tempat, Luke?" ajakku, melingkarkan lenganku ke lengannya.

Luke melirikku sekejab. Jakun Luke bergerak turun. Tanpa ekspresi, parasnya kini semakin merona layaknya tomat segar. "Kau mau mengajakku kemana?"

Aku membalasnya dengan senyuman tipis.

***

Hamparan bunga musim panas bermekaran di sebuah bukit. Bunga itu terdiri dari satu jenis bunga matahari dan ilalang yang membentuk kebun. Jalan setapak dikelilingi rumput liar yang menguning. Sesekali, angin sepoi-sepoi membelai rerumputan itu.

Aku bersama Luke berjalan-jalan di tengah kebun. Kami mencuci mata sembari membincangkan sesuatu di luar kepala. Berbicara dengannya membuatku rileks. Ia selalu meresponku dengan baik dan mengerti apapun topik yang kubicarakan. Aku sampai lupa kalau dia merupakan pria yang harus kuhindari.

"Luke, kita sudah sampai," ujarku, tatkala danau berair jernih berada 100 meter jaraknya dari tanah tempat kami berpijak.

Luke bergeming memandangi danau itu. Hingga sepersekian detik berlalu, matanya tak lepas dari sana.

"Bagaimana?"

Luke berdehem pelan. Tanpa ba-bi-bu, ia menggaetku paksa agar aku mengikutinya. Ia pun mendudukkanku di bawah pohon ek di tepi danau. Lantas, ia mengistirahatkan tungkainya ke sisi kananku. Kini, kami menghadap ke panorama alam yang diterpa cahaya senja.

"Senika."

Aku menoleh ke arah sumber suara. Luke menunjukkan setangkai bunga matahari. Entah sejak kapan dia memetiknya.

"Kau tahu tidak kalau bunga matahari selalu mengikuti arah matahari?" tanyanya, seraya mendekatkan pandangannya padaku.

Aku yang terfokus pada bunga matahari yang diputarnya menjawab, "Ya, aku pernah mendengarnya. Mengapa menanyakan itu?"

Luke tersenyum getir melihati bunga di tangannya. Ia pun mengucap, "Karena aku seperti bunga matahari. Aku selalu menatap matahariku, namun jarak kita sangatlah jauh. Butuh waktu lama untukku menggapainya."

Aku mengerjapkan mata. "Mataharimu?"

Luke menyodorkan bunga mataharinya ke tanganku. Selepas mengembangkan senyumnya, ia pun menempelkan dahinya ke dahiku.

"Iya, kamulah matahariku. Orang yang selalu kutunggu, orang yang selalu kucintai. Walau mungkin kau tidak bisa membalas itu, aku tidak peduli."

Pupil mataku bergetar. Sekali lagi, jantungku rusak dibuatnya. Selagi ia menarik nafas, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

"Aku tidak peduli sama sekali. Yang terpenting, bisa melihatmu terus sudah membuatku bahagia."

Luke .... Barusan dia bilang apa?

"Namun, ada kalanya aku ingin sedikit egois dengan perasaan ini. Aku ingin memilikimu karena aku tidak ingin matahariku menyinari yang lain selain diriku," tutup Luke, yang kemudian memindah tangankan bunga mataharinya kepadaku.

Saat ini, sosok pria itu ditimpa cahaya senja. Menyebabkan rambut pirangnya berubah keemasan. Parasnya kian terlukis indah dengan senyuman hangat.

"Begitukah?"

Tanpa jawaban, Luke balas menatapku lembut seolah aku wanita tercantik di dunia ini. Tatapannya itu membuatku semakin gugup, hingga akhirnya aku memalingkan muka.

Tidak, aku tidak boleh goyah!

Dengan gemetar, kucabuti satu demi satu kelopak bunga yang kupegang. "Tapi bukankah semakin bunga dekat dengan matahari, semakin ia akan layu? Bagaimana jika bunga itu mati?"

Durja Luke sama sekali tidak berubah. Ia merapikan rambutku yang tersapu angin dan bertutur, "Aku tidak peduli jika aku mati sekarang. Asalkan matahari ada bersamaku, aku akan mati dengan bahagia."

"...."

Luke kemudian menenggelamkan wajahnya ke bahuku. "Tapi aku tidak bisa merelakan matahariku bersama orang lain, aku tidak bisa. Membayangkannya saja membuatku menderita."

Aku hendak meremas lengannya. Namun kuurungkan niatku.

"Senika, bagaimana perasaanmu terhadapku?"

***