Beberapa minggu berlalu bagai terpaan angin. Luke terus mendekatiku semenjak dirinya singgah di mansion. Meskipun jadwalnya padat, ia menyempatkan diri untuk memberiku bunga, hadiah, buah tangan, sampai menggangguku di hari libur.
Aku yang tadinya mengabaikannya menjadi terbiasa dengan keberadaannya.
Kini kulalui hari-hari tak jauh berbeda dari rutinitas. Hingga tiba saatnya aku harus menepati janji; berjalan-jalan ke ibukota bersama Luke.
Ya, itu adalah permintaan yang dimaksud Luke sepekan yang lalu. Ia akan mengembalikan suratku bila aku memenuhi janji.
***
Dunia yang terbentang di balik jendela menjadi perhatianku detik ini. Kereta diliputi atmosfer dingin. Meski Luke mengajakku bicara, aku membalas seperlunya. Sepanjang perjalanan, aku bersikap acuh. Namun, itu tidak membuatnya sedih sedikitpun. Pria yang aneh.
Tak terasa, kereta kami tiba di tepi jalan raya. Tatkala pintu terbuka, aku menuruni anak tangga. Luke pun mengulurkan tangannya ke arahku.
"Pegang tanganku, Senika," ucapnya dengan seutas senyuman.
Senyuman itu melelehkan hati orang-orang. Namun, berbeda untukku. Aku tidak akan tertipu!
"Baik, Yang Mulia."
Kuterima uluran tangannya dengan enggan, menumpu sebelum kakiku memijak ke paving.
Selagi membiarkanku turun, Luke menyentuh lembut pipiku. "Sudah berapa kali kubilang, jangan memanggilku seperti itu. Panggil aku 'Luke'!"
Ada apa dengannya? Tingkahnya sekarang jadi jauh lebih manis.
"Saya tidak bisa."
Kulepas tangan kecilku dari genggamannya. Kukira dia akan marah atau kecewa. Namun, ia melembutkan suaranya.
"Baiklah, senyamanmu saja," tuturnya. Ia menurunkan tangannya dari pipiku.
Lantas, Luke memberiku kode."Mari jalan! Maukah kau menggenggamnya?"
Kulihat telapak tangan besarnya beberapa detik.
"Sudahlah, ini hanya sebatas etika," pikirku membenarkan diri.
Aku pun menyentuh telapak tangan Luke tanpa menanggapinya. Luke menggenggam tanganku dan wajahnya semakin berseri walaupun sejak di kereta kuda seri itu sudah ada.
"Ayo kita pergi! Pertama kita ke toko perhiasan."
Luke menggandengku sampai kami memasuki toko perhiasan yang paling terkenal. Tadinya aku tidak menyadarinya. Tapi setelah kuamati, ternyata tempat ini adalah tokoku sendiri, Orion jewelery! Orion Jewelery berkembang pesat semenjak pesta debutante-ku terakhir kali.
Demi apapun, aku ingin keluar detik ini juga. Akan tetapi, aku sudah terlanjur berada di dalam. Jadi, aku segera mengeratkan topi supaya tidak ada yang mengenaliku. Aku tidak mau para pegawai memergokiku tengah berkencan dengan seorang pria.
Bayangkan saja kau berjalan-jalan dengan seorang pria yang akan membeli perhiasan di tokomu sendiri. Bukankah itu aneh?
"Permisi, bisa tolong tunjukkan set perhiasan yang paling mahal di sini?"
Spontan, aku menundukkan kepala ketika seorang pegawai menghampiri.
"Untuk Nona ini?" tanya seorang lelaki yang suara bass-nya tidak asing.
"Gila! Itu Reyner!"
Tentu saja, aku kian menghalangi parasku. Reyner merupakan bawahan yang paling dekat interaksinya denganku.
Lantas, Reyner mengamatiku seksama dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Pria itu seakan bertanya siapa gadis yang berdiri menghadapnya.
"Kekasih Anda sangat cantik. Sayang sekali, kecantikannya terhalang oleh topi itu," kata Reyner.
Dengan sigap, Luke menurunkan topi bundarku. Ia memasang mimik tergarang yang pernah ada, kemudian memicingkan matanya tajam.
"Kekasihku memang cantik. Tidak usah banyak komentar! Ambilkan saja perhiasan itu!" perintah Luke dengan nada tinggi.
"Sejak kapan aku menjadi kekasihmu?!" heranku dalam hati. Namun aku tak mendebat, karena situasi ini menguntungkan bagiku.
Merasa diancam, Reyner mengeraskan tatap. Ia baru mengerti bahwa Luke adalah singa posesif yang menyeramkan. Dengan cekatan, ia menghambur ke bilik ruangan stok perhiasan.
Aku menghembuskan nafas lega. Beruntungnya, Reyner tidak mengenaliku.
"Senika, jangan dekat-dekat dengannya. Dia itu seorang playboy!" nasihat Luke.
Tanpa petuah Luke pun aku tahu betul bahwa Reyner merupakan pria yang seperti itu. Dia adalah playboy menggelikan yang selalu menguntai omong kosong berkedok rayuan.
Meskipun cukup rupawan, ia merupakan sosok pria yang akan menghilang saat seorang gadis memberikan hati untuknya. Ia tidak pernah serius dalam berhubungan.
"Ya, Yang Mulia. Tapi ... tolong panggil saya Arsy ya di sini?" bisikku.
Luke mengangkat daguku hingga aku dapat melihat pori-pori wajahnya yang sangat kecil. "Kalau begitu berhentilah memanggilku 'Yang Mulia'. Ingat, kita sedang menyamar?"
Aku menepis tangannya dan memalingkan muka.
"Untuk hari ini saya akan menyebut Anda 'Lord'."
"Bagaimana bisa seorang wanita menyebut kekasihnya 'Lord'?."
Raut mukaya berubah memelas. Sangat memelas, sampai-sampai aku membayangkan telinga kucing muncul di kepalanya.
"Kita 'kan bukan kekasih."
Fakta itu mungkin menikamnya tajam. Durja Luke semakin kusut. Ia tenggelam dalam aura gelap di dekat pilar.
Tanpa sadar, aku terkekeh. Jarang-jarang aku mendapati kenaasannya.
Tak lama kemudian, Reyner kembali ke counter---diikuti oleh para pelayan. Ia memamerkan puluhan set perhiasan dengan model terbaru.
"Arsy, pilihlah yang kau suka!" seru Luke.
Aku mengedarkan pandangan. Sepasang flatshoes-ku beradu, mengelilingi meja-meja yang terdapat perhiasan. Sesekali, jari telunjukku menyusuri beberapa anting atau cincin yang menarik perhatianku.
Mana yang paling mahal?
Meski aku memiliki toko ini, aku tidak begitu hafal dengan perhiasan mana yang paling menguras kantong.
Oh!
Sebesit ide muncul di otakku.
Kenapa aku tidak meminta semuanya saja?
Sehingga Luke berasumsi kalau aku merupakan wanita yang super matrealistis. Ia pun akan mundur perlahan dengan sendirinya. Jadi, aku tak perlu mengkhawatirkan apa-apa.
Di dalam novel, Luke sangat membenci wanita yang suka menghambur-hamburkan uang.
"Lord, bagaimana kalau semua yang ada di sini? Aku kebingungan memilihnya," tukasku, membentangkan kedua tangan selebar-lebarnya.
Bagaimana reaksinya?
Bukannya mimik jijik sesuai harapan, namun malah sebaliknya. Ia menyeringai dengan bangga, selayaknya pria yang mendapatkan tantangan. Dengan yakinnya, Luke menganggukkan kepala dan menjentikkan jari.
"Bagus, aku akan membeli seisi toko ini. Siapa pemiliknya?"
Sontak, aku melompat karena kaget. Kupegangi dadaku yang terus berdenyut.
Gawat, apa dia serius?!
Akulah pemilik toko ini!
***