Langit biru bergradasi monokromatik pagi itu. Sinar mentari menembus lapisan ozon dan awan yang mengabur. Menyebabkan terang yang menghangatkan makhluk. Tak jauh berbeda dengan hari biasa.
Kala mentari naik sepenggalah, aku memutuskan untuk mengosongkan kamar tidurku. Kubuka pintu ruanganku yang tadinya terkunci. Sambil melongok ke kanan-kiri, aku mengamati area sekitar.
"Nona, sedang apa?" heran seorang pelayan yang membawa sekeranjang selimut bersih. Dia adalah Hera.
"Ssst!" desisku, mengisyaratkannya agar menutup mulut.
Perlahan, kakiku berjinjit, melintasi satu meter jarak dari mulut pintu. Aku mengedarkan pandangan. Saat situasi sudah aman, aku bersiap untuk lari.
"Lady!"
"Oh, sial!" keluhku dalam hati.
Sejenak, aku membalikkan badan. Pria berkemeja putih itu lagi-lagi muncul di hadapanku. Pakaiannya hari ini sederhana, namun ketampanannya tak berkurang sedikitpun.
"Ya?"
Pria itu membawa beberapa tangkai bunga ester yang baru dipetik. Ia juga tersenyum manis hingga menyembul lesung di pipinya. "Selamat pagi. Cuaca hari ini cerah bukan?"
"Iya," singkatku.
Ia memainkan bunga berkelopak merah muda yang digenggamnya. "Karena itu, aku memetik bunga yang menurutku indah," ceritanya sendiri.
Aku menaikkan alis tanpa membalas apapun.
Lantas, pria itu menyodorkan bunganya kepadaku. "Terimalah!"
"Tapi, Yang Mulia sudah memberi saya bunga kemarin," tolakku halus.
Ya, pria itu adalah Luke Carlyle. Beberapa hari ini, dia terus menampakkan diri dan mengajakku bicara. Dia bertingkah seakan tak terjadi apa-apa di antara kami. Padahal dia mempunyai sebuah dosa; mencuri surat rahasiaku. Menyebalkan.
"Aku hanya ingin mengagumimu dengan sederhana. Walaupun ... kecantikanmu tak bisa dibandingkan dengan bunga-bunga ini."
"Apa dia salah makan obat?" batinku.
Tanpa basa-basi, aku merebut bunga itu dari tangannya agar Luke cepat diam. "Baiklah, terimakasih."
Luke melebarkan senyumnya. Ia pun menyisir rambutnya menggunakan sela jari. "Kalau begitu, aku bekerja dulu. Sampai jumpa!"
Sesuai ucapannya, Luke beranjak dari lorong tempat kami bercakap. Setelah sosoknya menghilang, Hera menaruh keranjangnya dan mendekatiku. Ternyata sedaritadi ia bersembunyi di balik dinding---semenjak Luke datang.
"Astaga, apa yang barusan kulihat? Benarkah itu Putra Mahkota?" cengang Hera.
Aku mengendikkan bahu. "Siapa lagi?"
Hera menarik-narik lengan gaunku. "Nona, astaga! Dia romantis sekali!" serunya.
"Romantis dari mana?"
"Putra Mahkota rutin memberi Nona bunga setiap pagi. Senyumnya juga berbeda dari yang dia tunjukkan ke orang lain. Dia tidak melakukan itu pada sembarang gadis!"
"Ah, itu khayalanmu saja."
"Saya serius, Nona!" rengek Hera. Dia seperti anak kecil yang minta didengarkan.
"Ya, ya, aku tahu. Kau ini terlalu banyak makan novel romansa, ya?"
Aku mengatakan itu sambil menjauhi Hera. Lolongannya memanggil-manggilku, namun aku tak mengindahkan.
Mungkin ada benarnya yang dia katakan. Namun aku tak mau tahu. Aku tidak ingin merasakan jatuh cinta.
Cinta itu membuat kita bodoh. Ia akan menggelayuti akal sehat sampai akhirnya kita melupakan segalanya.
***
Keesokan harinya.
Saat ini, aku sedang berada di perpustakaan mansion. Aku menghabiskan waktu dengan membaca beberapa buku. Kala kulirik jam di sudut ruangan, tak terasa hari sudah menjelang sore.
Harusnya aku keluar, namun aku mengurungkan niatku karena aku kembali menikmati bacaanku yang kepalang tanggung.
"Hai."
Terkejut, aku mengalihkan konsentrasiku. Ternyata itu adalah Luke yang duduk di hadapanku.
"Sejak kapan Anda di sana?"
"Baru sepuluh menit yang lalu," balasnya santai.
"Apa yang Anda lakukan selama sepuluh menit?"
"Memandangimu."
Sesaat aku kehabisan kata-kata. Karena tidak tahu harus menjawab apa, aku menutup bukuku sampai menimbulkan bunyi yang cukup keras. Aku pun bangkit, hendak mengembalikan bacaanku itu ke rak. Sementara Luke mengekoriku.
Kini aku sampai di rak tempatku mengambil buku. Baru kuingat bahwa aku harus menaiki tangga terlebih dahulu untuk mengembalikannya. Tapi karena malas, aku enggan mencarinya. Tangga itu terlalu berat untuk diseret sendirian.
"Itu tinggi sekali, lho?"
Luke menonton apa yang kulakukan sambil menyandarkan lengannya ke kayu rak. Tanpa menggubris, aku berusaha meraihnya untuk memasukkan buku ke sana.
Seet
Tiba-tiba, Luke merebut bukuku. Tangannya mengulur panjang menuju ke sela buku yang hendak kugapai. Membuatku berhimpitan di antara dirinya dan rak.
"Yang Mulia?"
"Aku tidak tahan melihatmu melompat-lompat. Kau terlihat manis kau tahu?"
Aku mengerutkan dahi. Apa sih yang dia katakan?
Lantas, aku mendorong bahunya. "Sempit!"
Secepat mungkin, aku pun bergegas meninggalkannya. Kala aku menengok ke belakang, dia menyunggingkan senyum jahil.
***
Luke melaksanakan tugasnya dengan baik di Wilayah Selatan. Ia berkeliling ke daerah yang rusak parah karena perang. Ia juga mencatat korban yang perlu diberikan bantuan uang biaya hidup dan bahan pangan. Sebagai Putra Mahkota, ia cukup sibuk dengan urusan negara---bersama ayah juga tentunya.
Sesekali ia kembali ke mansion Chester untuk makan malam dan beristirahat. Ia berlibur satu atau dua hari dalam beberapa pekan.
Saat libur berlangsung, Luke meluangkan waktunya untuk menggangguku. Hal itu membuatku frustasi, sampai aku mencurahkan isi hatiku pada Serena.
"Sudah berapa kali kubilang, biar aku saja yang membereskannya!" tukas Serena.
"Tidak! Nanti bagaimana kalau Kakak dihukum?"
"Tidak usah khawatir."
"Jangan pokoknya!"
"Jangan apa?"
Otomatis, aku melirik ke kanan saat suara khas pria menyambung percakapan kami. Ia adalah Luke, yang kemudian menghampiri kami---yang duduk di bangku gazebo.
"Yang Mulia, saya tidak tahan kalau Anda terus mengganggu Adik saya!" seru Serena blak-blakan.
"Aku tidak mengganggunya. Lady Senika, apa aku mengganggumu?"
Aku menggeleng cepat. Tidak mungkin 'kan kalau aku mengiakan dengan terus terang?
"Nah, Lady Senika tidak merasa begitu."
"Putra Mahkota, Anda tidak tahu apa-apa soal perasaan Senika!"
"Ya, tapi aku ingin belajar memahami perasaannya."
Luke menyatakan itu sambil menyunggingkan senyum lembut. Membuatku dan Serena tak berkutik sesaat.
"Kalau begitu, jangan ganggu dia!" nada Serena meninggi, tak peduli jabatan pria di hadapannya apa.
Luke memasang tampang batu. Ia beralih ke arahku, "Omong-omong, Lady Serena memanggilmu dengan sebutan nama saja. Bolehkah aku juga?" tanya Luke.
Aku mengerutkan alis, kemudian menatap Serena yang menggeleng di belakang Luke. Mulutku membuka, hendak menolak pria itu.
"Oh ya, Lady Serena, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu mengenai Lady Senika,"potong Luke.
Luke pun merogoh saku di dalam jasnya. Dari dalam sana, nampak selipat kertas yang familier bagiku.
Benda itu adalah ....
Surat kemarin?
"AAACK! IYA! ANDA BOLEH MEMANGGIL NAMA DEPAN SAYA!"
Sebelum Luke membocorkan rahasiaku, aku harus mencegahnya dengan segera. Luke dengan liciknya menyelipkan kembali kertas itu ke sakunya. Ia tertawa kecil setelahnya.
"Dasar menyebalkan!" teriakku dalam hati.
Serena menyipitkan mata curiga. Ia pun bertanya ke Luke, "Apa yang ingin Anda katakan?"
Luke mendadak mendekapku---yang masih duduk di bangku---dan berujar, "Aku akan mengajaknya jalan-jalan ke ibukota pekan depan!"
Spontan, mataku mendelik. Mulutku menganga kecil. Tak lama setelahnya, Luke mendekatkan bibirnya ke telingaku. Ia membisikkan sesuatu yang menggelitik.
"Ini adalah permintaan yang kubicarakan."
Daun telinga kututup refleks. Lalu aku mendongak menatapnya---yang dua jengkal lebih tinggi dariku.
Luke tersenyum hangat di momen netra kami bertemu. Membuatku ingin mencakar mulutnya, karena itu sungguh mengesalkan.
***