Teruntuk Nona Senika Chester,
Musim semi dengan hamparan bunganya memanjakan penglihatan. Harum toko florist tercium sampai ke jalanan yang dekat dengan Orion Jewelery. Sebuah toko yang ramai pembeli karena dikenal sebagai toko perhiasan yang berkelas. Menyebabkanku, sang Sekertaris Orion bekerja ekstra dengan lembur.
Nona Senika yang seindah mawar biru, saya harap, saya dapat berjumpa dengan Anda. Tapi sayang, kesibukan ini tidak membiarkan saya melepas rindu yang berat ini. Hanya sepucuk surat yang bisa memaparkan tentang perasaan saya. Mohon maafkan saya atas keterlambatan balasan. Anda semakin cantik kalau tidak marah.
Nona, mengenai laporan keuangan, lampiran stok toko, dan lainnya sudah saya lampirkan di map. Secara garis besar, hasil penjualan perhiasan meningkat sebanyak 153,2%. Anda bisa mengecek data hasil hitungan saya bersama tim akuntan.
Para bangsawan menyukai kalung biru dengan permata yang Nona modifikasi. Namun, kalung itu tersedia terbatas. Hanya ada 5 dan semuanya sudah terjual habis. Masing-masing, terlelang dengan harga yang relatif tinggi.
Untuk itu, apakah Nona akan menggandakannya?
Demikian surat dari saya. Mohon maaf atas kelancangan saya, tapi bolehkah saya menerima balasan dari Anda?
Saya berharap Anda membalas surat saya. Anda tidak pernah memberikan saya surat yang Anda torehkan langsung menggunakan tangan Anda. Di situ terkadang saya merasa sedih.
Tertanda,
Reyner Helm
Senika mengarahkan bola matanya ke atas. Ia tak kuat membaca surat yang panjang itu sampai habis. Baginya, Reyner itu bawahan yang tidak tahu aturan. Sempat-sempatnya ia menulis sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Sudah ke sekian kalinya ia menyelipkan kalimat sok puitis yang menggelikan. Diperingatkan pun tidak mengubah apapun karena ia tak mengenal kata "jera." Untungnya ia handal dalam melakukan manajemen. Coba kalau tidak, dipecatnya orang itu sudah dari lama.
Senika melipat kertas itu, kemudian membuangnya ke sembarang tempat.
"Kalung biru, ya. Kalau memperbanyaknya, aku harus menggunakan sihir. Padahal tadinya itu hanyalah keisenganku belaka."
Ia pun menyentuh map yang akan dibacanya.
"Nona Senika!"
Ariadna di sana ketika Senika menolehkan kepalanya. Ia yang sukses menyentakkan Senika mendekat dengan nafas terengah-engah.
"Kau harusnya mengetuk pintu dulu, tidak langsung masuk begini," timpal Senika.
"Saya minta maaf, Nona. Tapi ini urusan yang mendesak."
"Urusan mendesak apa?" introgasi Senika, yang tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
"Putra Mahkota. Kereta kuda beliau sudah tiba di gerbang Duke."
"Hah?! Sekarang?!"
***
Rumput hijau di halaman terpotret di sepasang lensa mata. Pupil biru mengecil karena cahaya cerah mentari melewati celah jendela tempat lensa itu berada. Udara sejuk wilayah Selatan terhirup, bersamaan dengan aroma bunga dan daun segar yang menyerbak ke indra penciuman. Suasana hati sang Pemilik indera berbanding lurus dengan mekarnya bunga musim semi, pagi ini.
"Akhirnya aku masuk juga ke mansion Chester," ungkap Luke, menatap mansion besar bertembok putih yang pernah dilihatnya.
"Yang Mulia belum pernah masuk ke mansion Duke?" tanya Willford, membuyarkan monolog Luke. Ia berdiri di sana untuk membukakan pintu kereta.
Menyadari kereta kudanya berhenti, Luke berkata, "Mansion ini sulit sekali dimasuki, kau tahu? Dan oh, kau tidak sopan!"
"Maaf, Yang Mulia," singkat Willford tanpa mengelak.
"Karena suasana hatiku sedang baik, kau dimaafkan."
Luke pun menuruni anak tangga kereta kuda. Sepatu kulitnya menapak ke bumi yang beralaskan karpet merah. Di sisi kanan-kirinya, berdirilah orang-orang mansion sebagai pagar betis. Mereka menyambut kedatangan Luke dengan hormat.
"Selamat datang, Yang Mulia Putra Mahkota," sambut Orwen.
"Terimakasih, Duke. Bagaimana kabarmu?" Luke bertanya, mengingat terakhir kali mereka berjumpa yakni saat rapat tempo lalu.
"Berkat perhatian Anda, saya baik-baik saja."
Luke mengedarkan pandangan. Tatapannya berhenti pada seorang gadis yang mengenakan gaun merah maroon. Dari rambut birunya sampai ke ujung sepatunya, ia amati tanpa terlewat satupun. Gadis itu menunduk, namun ia memalingkan matanya.
"Bagaimana kabar putrimu?"
Duke memundurkan bahu. "Seperti yang Anda lihat."
Gadis yang bediri disampingnya kian tersorot. Ia menyalami Luke seraya menaikkan roknya sedikit.
"Hm, dia nampak sehat. Maksudku 'yang satunya'."
Tidak ada yang tidak paham dengan itu. Ia mengkhususkan Senika yang kemarin diajaknya berdansa. Rumor menyebar luas sehingga semua orang mengetahuinya.
Sementara itu, Serena semakin kesal dengan Luke yang mengincar Senika. Tapi yang ia pikirkan, bagaimana Luke bisa membedakan antara dia dengan adiknya?
"Dia masih terbaring di kamarnya."
"Jadi Lady belum sembuh?"
"Begitulah."
Orwen tidak banyak bicara. Kemarin Senika sudah memintanya untuk menutup mulut. Dengan gamblang, Senika menegaskan tidak mau bertemu Putra Mahkota. Ia ingin berpura-pura sakit agar tidak didekati.
Orwen hanya bersikap pasrah dengan keinginan putrinya. Ia sebisa mungkin menuruti apapun yang ia minta, mengingat Senika pernah terbaring koma selama 4 tahun.
"Aku ingin menjenguknya. Tapi sebelum itu, aku ingin berbincang denganmu selagi berkeliling."
"Putri saya sedang dalam kondisi yang tidak meyakinkan."
"Tidak mungkin." pIkir Luke.
Luke tahu persis kalau itu hanyalah sandiwara, mengingat Senika mengundang Mazden semingguan yang lalu. Namun, ia memutuskan untuk tidak menyampaikan isi pikirannya.
"Sebentar saja. Aku hanya khawatir," bujuknya, sambil menyunggingkan senyuman dominan.
Duke masih termangu, sementara Luke menyela lagi, "Aku juga membawakan berbagai macam obat untuknya."
"Yang Mulia, bagaimana bila saya saja yang mengantarkannya untuk Anda?" Serena angkat bicara.
"Tidak perlu. Aku hanya ingin melihat kondisinya sekalian. Apa tidak boleh?"
Luke menunduk sembari memasang tampang sedih. Membuat hampir seisi mansion tak sampai hati untuk menolaknya.
***
Di lain kondisi, Senika mengerubuti dirinya dengan selimut. Ia berbaring sambil memeluk boneka kucing pemberian Louis---boneka yang selama ini membantunya mengurangi kecemasan.
Tak lama kemudian, ketukan pintu terdengar. Senika menutup matanya rapat-rapat.
Kala pintu membuka, tapakan kaki berbunyi. Senika melemaskan badannya seolah tertidur nyenyak.
Seseorang itu menaruh sebuket bunga mawar biru beserta sekeranjang obat herbal ke meja kecil. Ia menengok ke arah Senika. Rambut Senika yang tergerai diselipkannya ke belakang telinga. Lantas, diperhatikannya mimik damai Senika. Entah apa yang ada dibenaknya.
Mendapati Senika tak kunjung bangun, sosok itu berbalik arah. Sepatunya menghentak pelan karena gerakan kaki yang bertahap.
Syat
Sepatu pantofel sosok itu menggesek sesuatu. Saat kakinya menyingkir, terdapat selipat kertas di lantai. Dipungutnya kertas kecil itu.
"Apa ini?" tanya seseorang dengan suara yang tak asing.
Ia membuka lipatannya. Setelah membaca isinya, ia menyatukan alis. Seketika mood-nya yang bagus pagi ini memburuk.
Ada sesuatu yang menjalar di dada sehingga ia melipat kembali selembar kertas itu dengan kasar. Sesuatu itu menyebar dan mengeratkan denyutan pembuluh darah di kepalanya.
"Siapa Reyner ini?!" geram pria itu.
"Yang Mulia?"
Pria itu memutar badannya, mendapati Senika yang bangun dari tempat tidur. Ditatapnya wajah polos Senika.
"Maaf membangunkan Lady. Saya hanya bermaksud menjenguk sebentar," kata pria itu, yang tak lain adalah Luke Carlyle.
Dengan tebal muka, Senika mengulurkan tangannya---tanda sedang menagih.
"Bisa minta tolong kembalikan surat itu?"pintanya.
"Surat ini?"
Getir, itulah mimik yang tercetak pada paras Luke detik ini. Senika seperti menginjak harga dirinya---yang sedang cemburu buta. Senika bergerak hanya karena surat ini. Jika tidak, ia akan terus berpura-pura tidur.
Luke ingin melampiaskan perasaan kacaunya. Namun Luke sadar, ia bukan siapa-siapa bagi Senika. Luke akui itu.
Senika mengeluarkan sunggingan palsunya. Dengan sabar, ia memohon, "Yang Mulia, itu surat milik saya. Saya mohon!"
Mencoba meredam diri, Luke memasukkan kertas itu ke kantongnya. "Sepertinya ini penting bagimu. Sesuatu yang dirahasiakan dari Duke?"
"Yang Mulia ...." keluh Senika pasrah.
Melihat kelengahan Senika, Luke mendadak memiliki ide. Ia pun mengeluarkan senyuman hangatnya dan bertutur, "Baiklah, Lady, kalau begitu, bolehkah aku menyebutkan satu permintaan padamu?"
Senika menggigit bibir.
Ini menjadi pelajaran berharga. Seharusnya, Senika membakar surat itu lebih awal, bukannya membuangnya sembarangan.
***