Hmm. Ceritanya ini hari pertama ngoprek-ngoprek koreng yang, kayaknya, sudah kering, berharap bahwa ternyata memang sudah kering dan nodanya ilang. Yah, paling enggak kalo ninggalin bekas, bekasnya bakal ilang sendiri atau enggak, ditutupin, pura-pura gak ada.
Banyak yang bilang, "kenapa sih gak dibiarin aja, usil amat pake dikorek-korek lagi, entar juga ilang sendiri."
Jawabannya, ya gak tau. Asik aja. Mau sok keren. Mau pamer luka. Pamer cacat.
Ketika luka, apalagi lukanya lumayan, ketika sembuh, seberapapun gak keliatan lukanya, ketika diraba pasti kerasa. Ada yang janggal, beda, kayak bukan gitu semestinya.
Mulai ah.
Gue ingat, hari itu gak spesial. Samar-samar, kalo dipaksain nginget, rasanya beberapa hari sebelumnya gue dan dia pergi photobox ya? Mungkin. Lupa. Itu photobox pertama gue, btw. Betapa awkward-nya, ketika gue dan dia desak-desakan diruang sempit, mengutak-atik sedikit, menunggu lima detik, lalu memasang senyum paling manis, pose paling hip sejagat raya. Begitu terus dengan empat kali pergantian mimik muka - yang sukar dibedakan - lalu selesai.
Keluar dari photobox sambil senyum-senyum gak jelas, eh pas liat hasilnya, gue muak sendiri liat muka gue. Yes. Itu dalam hati udah kepikiran, "kampret, gak bakalan bisa naro poto sama patjar di dompet kek orang kalo muka gue sange' kek gini.". Lalu terbersit, "ah lain kali harus lebih bagus milih angle (huek). Lain kali."
Tapi lain kalinya gak pernah datang. Lain kalinya ambil cuti panjang, pergi liburan.
Hari itu, gue dan dia telpon-telponan seperti biasa. Gue, diberkati Allah intuisi yang kuat, udah merasa bahwa hari itu dia lagi males telpon-telponan. Ngangkat telpon sekedar basi-basi, sekedar rutin, jangan sampe pulsa gue gak kesedot aja.
Entah kenapa gue hari itu udah malas nanggepin 'he-eh' 'iya' 'apa' tanpa nada, gak ada tinggi rendah, dari dia. Lalu benih-benih ragu yang tadinya ke-aling sama rasa takut ditinggalin, tumbuh tunas, lalu ginilah jadinya,
"kamu kenapa sih, daritadi aku terus yang nanya deh"
"enggak"
"enggak kenapa, males ya aku telpon mulu?"
"bukaan, ini akunya lagi sambil nulis jadi agak ribet."
"oh ribet.."
"he-eh.."
".."
"eh, ngerasa gak, kalo kita ini kok makin lama makin aneh?" Gue mulai coba-coba nyolok si koreng.
"aneh gimana?"
"ya aneh, kayak ada yang berubah, kurang sreg gimana jadinya."
"berubah?"
"iya, kek sekarang aja. Kamu males-malesan gini pas ditelepon."
"hmm, oh.."
"Iya, kayaknya, kayaknya kita udah gak memang gak cocok ya.."
".."
"kayaknya mending kita.."
Sampai disitu teleponnya keputus. Pas dicek, pulsa gue abis. KAMPRET. Seriusan gue gak bohong. Pertamanya gue kira operatornya gak tega ngedenger kelanjutannya, jadi diputus doi teleponnya. Gue cek pulsa, masih kesisa Rp637,- lagi. Masih cukup empat kali sms lagi. Apa boleh buat, gue udah males beli pulsa jadi gue terusin aja di sms.
Isinya gak perlu ditulis, tapi intinya gue berharap dia bisa bahagia dan maaf sudah malu-maluin dia selama beberapa bulan ini. Dan dia bales, minta maaf dan segala basa-basi lainnya. Udah gitu aja. Tutup buku.
Selesai dari itu gue ketawa. Entah kenapa pengen ketawa. Ketawa dan melanjutkan komik yang dianggurin karena mau nelpon dia, di sebelah kasur.
Gue berkali-kali ngecek hape, berharap ada sms masuk. Berharap ada sms masuk yang nanya bahwa itu tadi becandaan. Tapi gak ada. Gue dan dia selesai terlalu cepat, bahkan lebih cepat dari kentut. Gak ada lagi kita.
Ketika nulis inipun gak ada lagi kata 'kita'.
'Kita' udah gak ada, sejak hari itu.
Hari pertama.