Chereads / ANGELIC DEVIL [MILEAPO FANFICTION] / Chapter 171 - S2-128 A NEW LAND, NEW LIFE

Chapter 171 - S2-128 A NEW LAND, NEW LIFE

"A new land, new life ...."

[ANGELIC DEVIL: The Crown]

Islandia, ice-land or snow-land. Sebuah negara dengan iklim cukup menyenangkan. Terutama bagi mereka yang suka dingin daripada panas. Di Ibu Kota Reykjavik lah kini Mile berada, dan dia sengaja turun taksi sebelum sampai hotel karena ingin jalan kaki. Mile ingin menikmati cuaca di sana. Melihat-lihat. Sesekali menyapa orang yang lewat.

Islandia menyenangkan karena dikenal sebagai negara bersih selain Denmark, Austria, dan Switzerland. Apalagi Bahasa Inggris menjadi media penutur kedua setelah Bahasa Islandia. Ini seharusnya tidak akan sulit. Toh Alan sudah mahir berdialog english. Dengan kebiasaan bocah itu akan menguasai bahasa baru, dan Mile kini paham kenapa Nazha sebangga itu pada puteranya.

"Slowly, be careful ... I hold your hand," kata Mile sambil menggandeng turun taksi. Alan tampak masih mengantuk. Tak sadar jika Mile menggenggam tangannya. Lalu ikut diajak berjalan. "Kita sudah sampai di "rumah" baru ...." desahnya sambil tersenyum.

Mile pun memejamkan mata sambil menghirup udara segar. Sangat sejuk, dan di sini paru-parunya terasa ringan. Ya, walau luka-luka di wajahnya jadi perih karena terkena angin. Namun, Mile tetap senang dengan suasana di sini. 

"Sempurna ...."

Pemandangan hijau-hijau gunung sungguh memanjakan mata, dan ini beda dari ricuhnya Bangkok yang berbentuk kota besar. Mile bisa memotret banyak keindahan di Reykjavik. Menyimpannya menjadi kenangan baru, dan sayap rusaknya bisa terobati. Apa yang Mile dapat ketika dirinya jauh adalah kebebasan dari rasa sakit. Sebab dia bisa berjalan kemana pun ingin pergi. Dan melakukan apapun yang dia mau.

"Ya, ya. Ke hotel saja dulu. Aku masih ingin bersantai," kata Mile di telepon. Dia mengabari Dr. Ox yang sudah sampai. Juga perlu mengecek rumah yang ditawarkan oleh makelar. Pokoknya harus selesai sebelum lusa, Batinnya. Atau biaya penginapannya semakin besar ....

Mile juga membawa cukup banyak bawahan. Tentu hanya rekrutan baru dan mau bertahan. Mereka yang ingin stay di Bangkok sudah dilepas, dan Mile memberikan tambahan gaji meski belum akhir bulan.

"Baik, Tuan. Saya tunggu di sini. Hati-hati sampai tujuan ...."

"Hm."

Tuuuttss ....

Mile pun me-notice Alan yang sudah segar, tapi bocah itu hanya menatap makanan di meja. Dia berkedip-kedip karena bingung, mungkin karena itu beda dari biasanya. "Kenapa, Alan?" tanyanya. "Apa ada sesuatu? Daddy belikan banyak roti untukmu."

Alan pun menoleh padanya. Tampak antipati, lalu memandangi susu di gelas. "Mama tidak ikut, kah?" tanyanya. "Mama acih kerja a Daddy?"

DEG

Kerja? Mile benar-benar belum persiapan jika Alan bertanya begitu. "Tidak, tapi ... mulai sekarang kau akan ditemani Daddy di sini. Kita akan banyak main bersama-sama ...."

Alan justru semakin linglung. "Aku ... kangen sama Mama ...." katanya. "Mama ... ama idak pulang ...." Dia pun mengucek mata. "Aku mau diajak sama Mama lagi ... umnn ...."

Seketika sarapan di meja tidak menarik lagi. Mile kehilangan selera karena bingung menjawab. Apalagi Nazha sering mengajak Alan pergi bekerja. Wanita itu memang jarang meninggalkan Alan. Senang merawat sendiri, tapi Mile yakin Nazha sering menjauh sejak depresi.

"Hm, ya ... kapan-kapan ...." kata Mile, walau dalam hati dia pun terluka karena berbohong. "Sekarang kita sarapan dulu. Nanti jalan-jalan sama Daddy di banyak tempat. Mau?"

Alan pun memandangnya kembali. ".... Mama diajak?" tanyanya. ".... aku mau sama Mama uga ...."

Awalnya, Mile ingin mengatakan kebohongan yang lain. Namun, jemarinya tremor, terserang panik. Dan dia butuh minum untuk menenangkan diri.

".... Daddy?"

.... bagaimana bisa aku mengambilnya darimu, Nak? Dan harus bagaimana aku menghadirkan dia lagi untukmu? Batin Mile sambil memijit kening. Dia pun menghabiskan satu cangkir kopi tanpa berpikir, padahal biasanya akan menyesap perlahan-lahan.

"What's wrong, Sir? Is there any problem? We might be able to help...." tanya pelayan rumah makan itu. Mile pun tertawa sambil mengayunkan tangan. Lalu menggeleng dengan senyuman.

"No, no. Everything is alright. Could you please make me some more coffee?" tanya Mile. "Aku benar-benar suka buatan sini ...."

"Oh, ok. Sure ...." kata pelayan itu. "Please wait a minute ...."

"Hm ...."

Alan pun tak berkedip memandang sang Ayah. Seolah menuntut jawaban, tapi mata itu benar-benar tidak tahu

apapun. Dia terpana melihat Mile emosional. Langsung berkaca-kaca. Bahkan menggigit roti serampangan untuk melampiaskan energi negatif. Sungguh, dia pun ingin menyudahi segalanya jika tidak ada Alan. Tapi bocah itu mustahil dia tinggalkan sendiri.

"Here you're coffee, Sir. Enjoy ...." kata pelayan yang datang kembali. Dia meletakkan secangkir kopi untuk Mile. Lalu pergi meninggalkan senyuman.

"Thanks ...." Mile pun tidak meladeni Alan. Sengaja diam. Karena dia sendiri butuh ruang berhenti. Mile akan di sana untuk diri sendiri. Hanya sebentar. Barulah meletakkan beberapa roti di depan sang anak. "Just eat. Makan sarapanmu biar cepat tumbuh, Alan. Kau harus tetap sehat mulai sekarang ...."

Alan pun mengangguk kecil, tapi bocah itu sudah meletakkan roti di gigitan kedua. Dia tampak sangat tidak nyaman. Turun kursi. Lalu berjalan keluar sendiri. ".... Mama?" panggilnya.

DEG

"ALAN!"

Mile yang sadar pun langsung mengejar. Itu mengagetkan beberapa pelanggan lain, tapi mereka hanya menoleh saat dirinya lewat. Mile juga meraih tangan Alan secepat mungkin. Melindunginya dari gerombolan sepeda lewat. Lalu memeluknya sambil berjongkok. Kring! Kring! Kring!

Brugh!

"Aaaaah!!!"

"Oh ... hampir saja! Hampir saja! Hampir saja!" kata Mile dengan wajah pucat. "Hhh, hhh, hhh ... tadi itu benar-benar hampir saja!!" katanya sambil meremas jaket si bocah.

Alan pun terhenyak karena suara detak jantung Mile. Apalagi saat Alpha itu menangkup pipi gembilnya.

"Kau ini kenapa sembarangan?! Jangan pergi-pergi seperti itu! Tadi kan bahaya sekali ...." kata Mile sebelum memeluk ulang. Dia benar-benar tak bisa tenang. Seolah dirinya lah yang butuh Alan, dan  sebenarnya bukan sebaliknya. Tolong jangan mengajakku bercanda jelek seperti ibumu ....

Alan malah menatap lurus. Di balik punggung Mile, lalu menunjuk ke sana. "Aku cuma melihat Mama ...." desahnya.

DEG

"Apa?"

"Itttu ...."

Mile pun langsung menoleh. Tidak ada apa-apa, dan hanya jalan masuk ke ruang makan lah yang dia lihat. "Dimana? Sebenarnya apa yang kau sedang kau lakukan?"

Alan pun melambaikan tangan sambil tersenyum, walau itu hanya sesaat. "Mama ...." gumamnya. Mile pun meneliti arah pandang Alan. Kemana bola mata itu menuju. Tapi, sungguh  hanya pepohonan. Dia pun menggandeng si bocah mendekat. Menoleh kesana kemari, dan napasnya jadi sesak entah kenapa.

"Kau di sini? Serius? Kau ikut kami kemari kan?" tanya Mile seperti orang gila. Padahal seumur-umur hidup hingga sekarang, Mile tak pernah peduli dengan kehidupan astral, dan apapun yang berbau ke sana. Mile pun melangkah lagi dan lagi. Biarkan Alan maju mencari, walau tetap ruang kosong yang dia hadapi. ".... kita akan segera menempati rumah baru ...." katanya dengan kedipan gelisah. ".... dan, kuharap kau tidak apa-apa dengan suasana yang mirip desa. Tapi, ha ha ... serius ini sudah ibu kota-nya."

Sedetik, dua detik. Mile pun merasa tolol karena bicara sendiri. Tapi dia juga baikan entah kenapa.

"Aku janji tak akan menunggu besok. Tidak jadi. Setelah ini pasti kuurus," kata Mile dengan genggaman mengerat ke tangan Alan. "Tunggu sebentar, Nazha. Alan harus banyak sarapan sekarang. Dia tidak boleh sakit selama bersamaku ...."

Brugh!

"Ahhh, Daddy--!"

Mile pun menggendong Alan masuk buru-buru. Lalu agak memaksa agar Alan makan. Segala hal rasanya menjadi runyam, campur magis. Sesekali dia menoleh ke halaman resto lewat pagar. Apa dia masih di sini? Atau selalu ikut tanpa kutahu? Oh, syukurlah jika begitu ....

Sorenya, Mile benar-benar menyelesaikan pembelian rumah. Bahkan dia rela mencari tukang hingga malam hari. Mile butuh perubahan pada beberapa tempat. Diatur semaunya, barulah ke hotel untuk mengecek Alan yang sudah tertidur. Ah, lagi-lagi. Mile tidak menemukan banyak waktu untuk bocah itu, tapi dia janji lebih baik untuk besok-besok.

"Daddy?" panggil Alan ketika bangun paginya. Dia masih loading meski sudah membuka mata. Sebab Mile ada di sisinya, padahal belum pernah begitu.

"Hm?" Mile pun mengambil boneka yang semalam ditendang Alan ke lantai. Dia baru menoleh dengan paras rapi. Sudah harum. Lalu menaruh benda itu di sisi puteranya.

"Aku mimpi ade ayii," kata Alan. ".... ama Mama di sana. Apa au boleh ketemu mereka?"

DEG

"Apa?"

Alan pun duduk dengan mata berat itu. "Aku ... boleh main sama ade ayii?"

Mile pun tertegun sesaat. Dia menoleh ke si bocah yang hanya menatap polos. Lalu berjongkok di sebelah ranjangnya seolah meminta maaf. "Tentu, one day. Kita akan kunjungi mereka kalau ada waktu," katanya. "Mungkin jika kau libur sekolah, atau izin pun tidak masalah ...."

"...."

"Tapi sementara ini jangan dulu, oke? Masih banyak hal yang harus diurus."

Seolah mengerti, Alan pun diam dan tak protes lagi. Juga mau sarapan, walau ikut babysitter di taksi. Dia kadang masih antipati dengan Mile, tapi sang ayah sukses merealisasikan pindahan mereka hari itu juga.

"Bagus, bagus. Agak geser ke kanan sedikit ...." kata Mile saat mengontrol tukang menata barang. Dia tersenyum puas saat semua foto Nazha terpasang. Ada Alan, dirinya, dan Apo-triplets (meski seukuran telapak atau buku saja).

Mile juga tak memajang figura kecil-kecil tersebut. Hanya mengunci semua dalam lemari. Karena baginya memori Apo-triplets cukup dirinya yang tahu. Mile merasa orang lain tidak perlu memahami dirinya. Itu tidak penting. Dan dia takkan membenci siapa pun yang menghakimi setelah ini.

"Tuan Mile?"

"Ya?"

Dr. Ox, psikiater pribadi Mile pun mendekat dengan nampan berisi obat dan segelas air. "Silahkan diminum, Tuan. Masih kurang sekali hari ini."

"Oh ...."

"Saya pastikan dosisnya jadi lebih tepat. Dan mereka sudah menunggu Anda makan malam sekarang ...."

"Ok, sure."

Mile pun pergi ruang makan yang terdiri dari dua baris meja. Sama-sama panjang. Lalu duduk di kursi ujung, meski seluruh bawahannya menatap segan. "Ah! Tuan Romsaithong. Selamat malam ...." kata mereka sambil berdiri. Semuanya pun ketar-ketir karena ini yang pertama kali, tapi Mile justru dengan senyum sebelum do'a dimulai.

"Ada apa ini? Ha ha ha ... take it easy, semuanya. Santai saja. Aku justru senang ditemani kalian," kata Mile sambil mengangkat gelas wine-nya. "Mari kita bersulang untuk berkah pemberian."