Chereads / ANGELIC DEVIL [MILEAPO FANFICTION] / Chapter 160 - S2-117: ANOTHER CHALLENGE

Chapter 160 - S2-117: ANOTHER CHALLENGE

"It's a way ...."

[ANGELIC DEVIL: The Crown]

45 Menit Kemudian ....

Hhhh ... Perjalanan menuju Pattaya ternyata menghabiskan banyak waktu sampai Apo yang tadinya mengemil pun tertidur. Paing sendiri tak berani menyetir kencang karena bersama sang mate. Dan dia menahan snack yang dipeluk Apo ketika nyaris terjatuh.

"Hmm, bahkan sabuk pengaman pun tak bisa dipakai," pikir Paing karena perut Apo terlalu besar. Dia berhenti sejenak untuk menata posisi duduk sang Omega. Barulah lanjut perjalanan setelah beberapa saat.

"Apo, bangun ...." kata Paing saat sudah sampai di Pantai Pattaya. Setelah menurunkan kaca jendela mobil, Alpha itu mengelus pipi Apo dengan punggung jemari. Namun, sang mate justru tak ada pergerakan. "Apo?" panggilnya sekali lagi.

"...."

"Hei, mimpi apa dia memangnya?" pikir Paing. Sebab bulu mata Apo bergerak-gerak. Tampak lelap, tapi bibirnya justru tersenyum tipis. Ho ... Pemandangan itu sungguh sangat menakjubkan. Apalagi napas Apo stabil menandakan dia benar-benar tidur. "Hhhh, hhh ...." kekehnya saat melepas ponsel dari holder.

"No, no. Tenang dulu--"

"Aku ini sudah benar-benar tenang! Maksudku, setidaknya aku sempat berusaha ... tapi ini sudah kelewatan, Phi. Aku bukannya tak tahan birahi, serius. Hanya saja capek kalau kepikiran bagaimana perasaanmu? Atau aku kalah menarik dari teman dan mantan-mantanmu. Ugh ... heran. Aku sampai cemburu ke husky peliharaanmu juga--ya ampun siapa sih namanya? Gabby? Soalnya dia yang jadi wallpaper ponselmu ...."

Wallpaper, huh? Paing tidak tahu itu penting bagi seorang pasangan, tapi kini dia memotret wajah Apo hingga berkali-kali. Ckrek! Ckrek! Wajah sang mate pun terpampang pada layarnya. Sangat cantik, dan tentu benar-benar memancarkan keindahan seorang Omega.

"Aku tidak punya satu pun fotomu di ponselku. Ha ha ha, dan tidak tahu kapan harus memotretmu ...."

Paing jadi ingin menertawakan dirinya sendiri yang waktu itu. Pasti menyebalkan sekali, tapi faktaya Apo bisa bertahan hingga sekarang. Dia menunggu sudah cukup lama. (Mencoba) sabar. Sehingga Paing tidak ragu untuk mengecup di bibirnya seperti sekarang. Cup. Paing bahkan mengganggu terus-menerus. Memanggil namanya: "Shh ... wake up. Wake up ...." Sampai-sampai kelopak mata Apo terbuka perlahan. "Hmmh, Phi?" Omega itu mengucek mata beratnya. "Kita di mana sekarang?"

Paing pun mengantungi ponselnya segera. "Sudah sampai. Ayo turun," ajaknya. Namun, Apo menolak pakai kursi roda karena ingin berjalan di atas pasir. Omega itu pun kukuh turun tanpa alas kaki. Menerima gandengan tangannya. Lalu mereka berjalan menikmati mentari hangat.

"Banyak sekali orangnya. Segar ...." desah Apo karena angin menerpa rambutnya.

"Tentu saja karena ini kan akhir pekan."

Omega itu menunjuk balon udara di kejauhan. "Apa kita nanti bisa naik itu?" tanyanya.

"Mau?"

"Iya, tapi kalau hamil boleh tidak sih?" tanya Apo yang tampak sedih. "Aku belum pernah mencobanya."

Paing pun menoleh ke sekitar. Beberapa orang memang memakai parasut, tapi beberapa juga diwadahi dalam satu kotak besar. Mereka pasti bisa melihat pemandangan laut dari atas sana. Sangat seru (kelihatannya), tapi ada yang harus dia pastikan terlebih dahulu. "Menurutku yang penting tidak takut ketinggian," katanya. "Tapi kau sendiri--"

"Tidak, aku justru suka ketinggian," sela Apo dengan mata berbinar-binar. "Jadi, boleh, Phi? Aku mau lihat ombak dan semua orang yang ada di sini."

Ho, kalau sudah begini mana mungkin ditolak lagi? Paing pun meminta Apo menunggu di kursi pantai. Lalu kembali dengan seorang petugas yang menurunkan satu balon untuk mereka. "Yakin loh ya, kalau tidak apa-apa?" kata lelaki bertopi itu. Dia menggulung tali tampar yang menghubungkan dengan mesin khusus. Lalu membuka pintunya agar Apo melangkah masuk. "Dan angkat saja benderanya kalau mau turun. Kami sudah sediakan di dalam sebagai isyarat usai."

"Okeeee," kata Apo tanpa sadar nyengir ceria. Dia dipersilahkan lebih dahulu. Baru Paing. Lalu mereka naik perlahan-lahan. "Whoaaa!"

Tentu saja sang Alpha memeluk pinggangnya agar tidak terjadi yang tidak-tidak--ya walau dinding kotak itu sudah cukup tinggi--tapi Paing ketar-ketir karena sebenarnya belum pernah juga. "Bagus?" tanya Paing tanpa melepas pandangannya dari Apo.

"Bagus, bagus! He he he, he he ...." kata Apo, walau dia penasaran snorkeling juga. Tapi untuk sementara ini cukup. Karena dia tahu Paing akan makin kepikiran kalau permintaannya aneh-aneh. "Oh, iya. Aku mau memotret pemandangan dari atas sini."

"Hm ...."

Sayang Apo tidak menemukan ponselnya karena ketinggalan. Lalu dia melirik saku celana sang Alpha. "Boleh kupinjam punyamu, Phi?" tanyanya.

"Oh, sure. Take it," kata Paing. Apo tampak ragu mengambilnya sendiri, tapi Paing menunggu hingga sang mate bergerak. Omega itu kaku karena tidak pernah melakukannya, tapi Paing akan melatihnya semakin biasa. Hahaha ... dasar, padahal sudah memegangnya beberapa kali, batinnya meski muka tetap datar-datar saja.

"T-Tidak apa, ya ...." kata Apo. Lalu membuka kamera demi mengabdikan momen yang dia mau. Ckrek! Ckrek! Dia pun mengecek hasil fotonya pada galeri (setidaknya tadi niatnya begitu). Tapi malah melotot karena muka tidurnya ada di dalam. "Oh, shit!" batinnya karena berdebar sendiri. Dia lihat Paing menatap barisan kapal-kapal layar, orang berselancar, naik bangsring, atau menikmati geliutan flying fish. "Phi, bagaimana kalau berfoto denganku juga?"

"Hm?"

"Jarang-jarang sekali begini, kan? Kalau bukan dengan Phi aku tidak tahu lagi harus mengajak siapa."

Paing pun tersenyum tipis, lalu mengambil alih ponsel untuk menjepret beberapa foto, walau Apo terkejut karena dirangkul juga sebelum tombol shutter ditekan. Ckrek! Ckrek! "Sudah, mau lagi?" tawarnya. Ekspresi Apo justru kaku pada selfie pertama mereka. Tapi dia cukup senang dengan hasilnya.

"Ahh ... bagus sekali. Aku lupa kalau Phi suka pakai kamera," kata Apo. Dia membayangkan sehabis lahiran tak akan bisa kemana-mana. Sehingga ini waktu yang tepat sekali. Untung Paing tidak menyerah untuk membawanya pergi, karena jika dia tetap marah pasti mereka tak sampai di sini. "Aku ingin sekali mencetaknya kalau nanti sudah pulang. Ukuran sedang. Pokoknya aku harus lihat setiap mau tidur."

"Ha ha ha ha ha ... kalau begitu jangan yang tadi," kata Paing. "Kita ambil versi lebih bagus lagi."

"Oke ...."

Begitu turun kembali, Apo masih ingin mencoba beberapa. Dia diajak Paing menyeberang jembatan kayu, makan seafood, lalu naik ke sebuah perahu. Keduanya menyusuri lorong-lorong tersembunyi. Menatap lumut di dinding pulau. Dan tentunya ada petugas yang mengawasi mesin pendorong dari belakang. Dia tidak mengenali siapa Paing dan Apo. Cukup tersenyum, sesekali iseng bertanya.

"Wah ... baby-nya kembar ya? Sudah mau lahiran?"

Apo pun menoleh dengan anggukan kecil. "Iya, tapi mungkin masih agak lama. Aku baru tiga bulanan," katanya.

"Oh ... banyak? Berapa itu? Apa sudah diperiksa?"

"He he he he ...." cengir Apo karena tidak sanggup menjelaskan. Dia membiarkan Paing mengambil alih, tapi si petugas justru cerita kemana-mana.

"Alah ... jangan terlalu percaya dokter. Mereka kadang salah mendeteksi di USG." Dia melepas topi untuk dijadikan kipas-kipas. "Dulu pas Omega-ku hamil, anaknya dibilang perempuan eh ternyata laki-laki. Ya ampun ... sampai baju-baju berpita yang sudah kubeli tidak dipakai. Padahal itu cuma satu loh. Punya Anda malah empat, kan? Siapa tahu ada yang perempuan tapi susah dilihatnya."

"Oh ...."

"Itu masuk akal juga," batin Apo sambil memeluk perutnya. Dia memandang Paing yang tidak berkata apapun. Lalu mencoba bertanya. "Phi sendiri sebenarnya ingin laki-laki atau perempuan?"

"Semuanya, kalau bisa. Tapi kan tidak harus sekarang ...." kata Paing sambil membelai belakang kepala Apo. "Lagipula pemulihan caesar itu cukup lama. Was ist, wenn sie alle babys sind? Lelaki semua juga bagus kok. Biar mereka menjagamu kalau aku sedang bekerja." (*)

(*) Bahasa Jerman: "Memang kenapa kalau semuanya baby laki-laki?"

"Eh? Tunggu, maksudnya--"

"Kau kan tidak mungkin langsung ke kantor setelah ini," sela Paing realistis. "Begitu lahiran, (tidak harus) tapi sebaiknya kau rumah saja. Fokus ke mereka Apo, tapi aku pasti meminta bantuanmu jika ada sesuatu."

DEG

"Ugh ... Phi, tapi--"

"Itu kan yang kau mau kau dengar?" tanya Paing. "Kau bilang tidak ingin aku jadi Mile kedua-mu."

Untuk sejenak Apo murung karena yang barusan adalah kenyataannya. Mau Mile, Paing, atau siapa pun suaminya. Bahkan jika mereka bukan CEO ... tetap saja Apo akan di rumah usai melahirkan. Tapi perusahaan harus tetap dipegang karena "si kecil" begitu banyak. Harusnya dia bersyukur karena tangan Paing masih menyanggupi urusannya.

"Aku membayangkan Phi nanti akan merenung sendiri di kantor," batin Apo. "Dia pasti ingin pulang untuk bertemu denganku, seperti Mile dulu, tapi tidak bagus kalau beban itu semakin kutambahi dengan tidak mendukungnya."

"Tapi, benar ya ... masalah kantor harus bilang tanpa kutanya," kata Apo. "Kalau yang lain-lain terserah. Dan jangan risih kalau aku akan mengomel terus setelah ini."

Paing tidak bilang apa-apa, tapi Alpha itu tersenyum. Dia memandang lautan biru yang luas. Sangat indah, sementara Apo menatapnya tidak berkedip.

".... so, Phi harus sehat terus mulai sekarang," kata Apo sembari merangkul di pinggang itu. ".... aku tak peduli kalau kalian nanti bukan ranking satu lagi. Yang penting harus berjalan dua-duanya."

"Hmph ...."

"Boleh aku meminta yang seperti itu?" tanya Apo. Dia mendongak dan Paing memandangnya sedekat itu. Hingga napas mereka saling menerpa di wajah satu sama lain. "Phi bilang masih ingin baby perempuan darimu. Harus kuat kalau memang serius ...."

Paing malah terkekeh-kekeh. Karena Apo tampak semangat bahkan sebelum si quadruplets melihat dunia. "Tergantung," katanya. "Kalau soal itu pasti Phi usahakan, tapi kau sendiri tidak kapok kalau nanti dibelah lagi?"

DEG

PLAKH!

"A-Ah! Ya jangan diingat-ingat bagian jeleknya!" bentak Apo langsung uring-uringan. Dia sampai menggampari bahu kiri Paing. Bersungut-sungut. Tapi langsung terpana oleh tawa sang Alpha.

"Ha ha ha ha ha, ya kan Phi berharapnya yang penting ada," kata Paing. "Dan kalau nanti kembar lagi, tentu saja yang merasakannya dirimu, Apo. Tapi kan sudah ada Kaylee, kenapa harus memaksakan diri?"

DEG

"A-Aku tidak memaksakan diri! Tidak ya!" bentak Apo kali ini menuntut cubitan pada perutnya. "Oke! Phi sudah salah meremehkan aku. Kalau begitu, bagaimana kalau kita taruhan lagi?"

"Aduh--ha ha ha ha ha, apa?"

Apo mengerutkan hidungnya lucu. "Begini saja, biar adil. Kalau Phi bisa mengurus perusahaan kita dengan baik, ada baby lagi. Kalau tidak, aku steril saja setelah mereka bertujuh masuk sekolah."

DEG

"Apa?"

Apo langsung mengulurkan telapak tangannya. "Ini worth it kan? Phi jangan lupa kalau aku pun bisa berbisnis," tantangnya. Paing sampai tak bisa berkata-kata. Tapi entah kenapa dia ingin menyeringai saat mendengar hal ini. "Ayo Phi--"

"Fair ...." kata Paing sambil menjabat tangan tersebut. "Phi sebenarnya tidak suka menyebutnya bisnis, tapi ini tantangan bagus kalau kau memang seserius itu."

DEG

Apo pun pucat sesaat, tapi dia kemudian menyeringai juga untuk meladeni sang mate. "Oke! Deal!"

Mereka berdua pun membuat si petugas perahu bingung. Sebab percakapan itu tidak pernah dia dengar langsung dalam seumur-umur kehidupannya. "Mereka ini sebenarnya kenapa?" pikirnya. "Aku benar-benar tidak habis pikir ...."

***

Heishe House Spa, Pattaya, Chonburi, Thailand. Pukul 18:34

___________________________________

"Selamat datang, Tuan Takhon."

"Selamat datang, Tuan Natta."

Sapaan barisan petugas spa house pun menyambut saat Paing dan Apo melangkah masuk. Mereka tersenyum kepada tamu yang sudah ditunggu-tunggu. Lalu menangani Apo terlebih dahulu.

Omega itu menikmati makan malam dengan sang mate. Berdoa sebentar, lalu menghabiskan beberapa piring nasi sekaligus. Ha ha ha ha ha ha ha ... Paing hanya geleng-geleng melihat seberapa senang Apo dengan kudapan yang disajikan. Tapi Apo tetap menjerit meskipun mukanya merona. "A-Aku pokoknya masih mau lagi! Yang itu tadi. Mang Suer Eng? Apa sih menu-nya? Aku suka sekali!"

Paing sampai membayangkan Apo akan gendut seperti kaki bengkaknya. Tapi sang Omega marah-marah saat muka-nya dijepret.

Srathhh!

"Aaaah! Jangan! Jangan! Yang barusan biar aku hapus dulu!" kata Apo setelah berhasil merebut ponsel Paing. Dia seketika lupa prinsip atau sopan santun. Karena semua foto yang sedang makan dia hapus tanpa terkecuali. "Pokoknya Phi tidak boleh memakai benda itu sampai kita pulang nanti! Kurampas!" tegasnya sambil menduduki dengan bokongnya.

Paing pun tidak melarang, walau dia yakin ada satu pesan atas nama Mile yang muncul di layar sebelum Apo menyembunyikan benda tersebut. "Hm, ya. Baiklah. Makan dulu, Apo. Habiskan ...." katanya, walau setelah itu agak kepikiran juga. "Sebenarnya kenapa dia sampai menghubungiku?"