Chereads / ANGELIC DEVIL [MILEAPO FANFICTION] / Chapter 154 - S2-111 THE PLAN .....

Chapter 154 - S2-111 THE PLAN .....

"The plan ....."

[ANGELIC DEVIL: The Crown]

Pagi itu, semua orang mendengarkan Bretha baik-baik. Mereka tidak menyela, menyanggah, atau bertanya macam-macam. Bahkan Amaara sekali pun. Kecerdasan, keahlian, kekuasaan, dan keterampilan lapangan Bretha terlalu banyak. Itu membuat mereka percaya pada rencana-nya.

Hanya saja, Luhiang kadang berbisik gosip di telinga Paing. "Jujur aku senang melihat Amaara patuh," katanya. "Dan Bretha adalah orang yang tepat untuk menggerakkan dia."

Paing meliriknya dengan dengusan senyum. "Tentu saja," katanya. "Aku sendiri mau kalah kalau di hadapan Bretha. Apalagi dia?"

"Dasar ...." desah Luhiang. "Tapi jujur aku tak menyangka soal perekrutan si Amaara. Kalau Jeff sih aku oke untuk perusahaan kalian."

"Kenapa? Karena dia liar, kuat, dan kebal terhadap Alpha?" tanya Paing. "Justru yang seperti itu adalah bawahan kokoh. Apalagi dia butuh tempat pulang dari pelarian."

"Iya sih, tapi ... aku belum berani mengambil resiko sebesar dirimu."

"Ho ... kalau begitu kita lihat saja kedepannya," kata Paing. "Ayo taruhan lagi jika aku salah. Berapa banyak. Siapa tahu kau bisa menggeserku tahun depan. Bagaimana?"

Luhiang pun menyeringai jengkel. "Sial ... mana mungkin aku menolaknya," katanya. "Lagipula siapa yang tidak ingin mencoba nomor satu?"

"Cheers."

Ting!

Paing dan Luhiang pun bersulang pelan. Mereka meringis-ringis dengan mimik penuh rahasia karena berprinsip "Hanya kau yang boleh menggeserku mulai sekarang, dan hanya aku yang boleh kalah darimu untuk seterusnya."--ha ha ha ha ha ... agak lucu memang. Tapi Paing tidak pernah meremehkan Luhiang. Dan Luhiang mengakui dia belum seberani Paing saat mengambil resiko. Dalam kehidupan, dalam proyek, atau keputusan tertentu ... tapi mereka berjuang sama-sama sejak tahun lalu. Jadi nomor 1 dan 2 adalah kejutan saat mereka tidak berencana sejauh itu.

"Oke, sampai sini semua sudah mengerti?" tanya Bretha. Gaya-nya seperti ibu guru di hadapan para siswa, da dia tersenyum ketika mereka mengangguk. "Kalian tahu kapan menjalankan ini. Siapa yang dihubungi, tapi sementara di-keep dulu saja," katanya. "Karena seperti yang aku bilang ... penggerebekan Oslo bukanlah hal kecil. Jadi kita harus mengirimkan pembeli yang pernah ke sana--Jeff dan Thakhon. Agar mereka tidak curiga apapun."

"Hmm, tentu," sahut Paing mewakili.

"Dan Romsaithong, aku berharap kau pun tidak lupa wajib lapor. Terus izin ke atasan, bilang kalau mau keluar negeri sambil menyebut namaku," kata Bretha. Lalu melemparkan sebuah lencana untuk Mile tangkap.

Pakh!

"Oke," kata Mile.

"Tunjukkan saja saat melakukan itu. Minta suratnya turun dipercepat. Jadi mereka takkan bertanya terlalu jauh," kata Bretha. Lalu beralih pada Amaara. "Ingat, ini adalah kesempatan sekali maju. Jadi, persiapkan semua yang kalian butuhkan. Termasuk paspor bagi yang belum punya atau kadaluarsa."

Para bodyguard Jeff pun saling menoleh. "Baik, Nona Bretha," kata mereka, yang langsung ditimpali sang pimpinan.

"Soal itu biar aku yang laporan Tuan Natta," kata Jeff. "Mereka memang hanya orang-orang lokal, jadi maaf kalau ini agak memperlambat misi."

"Ha ha ha ha ha ha, it's okay, Sayang ... kau tak perlu sesungkan itu. Kita santai saja di sini, yang terpenting bergeraknya kalau sudah siap semua," kata Bretha. "Lagipula aku belum mengatur kendaraan dan senjata-nya. Berapa, dan mana yang paling cocok untuk kalian bawa."

"Oke."

Paing langsung menoleh kepada sang hacker. "Jeff, padaku saja setelah ini," katanya. "Jangan Apo. Dia tidak perlu diganggu untuk seterusnya."

DEG

"Oh ... ha ha, tentu Tuan Takhon," cengir Jeff karena  lupa kehamilan sang Omega. Dia menerima peta dan segala berkas milik Bretha. Guna disalin dan dipelajari agar menjadi bekal perjalanan tersebut. "Hmm, kalau boleh usul lagi ... bisa tidak tahanan Oslo pesawat-nya  dipisahkan?" katanya. "Terus ada kerangkeng dan tenaga medis juga. Soalnya yang kulihat, rata-rata mereka seperti zombie hidup. Sangat brutal. Apalagi kalau sudah disuruh berkawin seharian."

"Oh ...." Luhiang langsung menoleh kepada Paing. "Itu benar, Takhon?"

Paing sendiri menggeleng. "Hm, sejujurnya dulu aku tidak ikut masuk ... tapi sebelum membayar obat, di lorong-lorong memang ada yang meringkuk sampai busung lapar," katanya. "Mereka harusnya dimasukkan ke RSJ yang terisolasi. Jadi, menurutku jangan ditaruh di Thailand jika sudah berhasil dipegang."

"Benar. Rencananya sih mau kuserahkan pada OKOD langsung," timpal Bretha. "Karena selain fasilitas di sini masih kurang--maaf saja ini bukan maksudku menghina--tapi, agar OKOD percaya pun aku butuh waktu untuk mendapatkan izin."

"Oke, oke ... kutunggu saja konfirmasinya, Bretha. Tinggal telepon kalau ada apa-apa," kata Paing. "Dan kalau soal pesawat plus tenaga medis ... kau tidak perlu khawatir, Jeff. Nanti pastinya kuatur dulu. Tinggal bagaimana si Romsaithong nanti memimpin penyerangannya."

"Aku?" kaget Mile.

"Siapa lagi?" kata Paing. Lalu mereka saling bertatapan. "Jeff dan aku kan sudah menjadi umpan. Jadi, kalau bukan kau dan Amaara, siapa lagi yang akan kuberi instruksi? Amaara juga paling paham Oslo."

"Shit--tapi oke," kata Mile. Dia dan Amaara juga malas bertatapan, tapi mau bagaimana mereka akan menjadi rekan. "Untuk satu kali ini saja, tak masalah. Lagipula sudah masuk, buat apa keluar lagi."

Amaara yang ditantang juga menaikkan dagu. "Why not? Awas saja kalau kau menyusahkanku," katanya. "Jadi hapalkan peta bawah tanah Oslo dengan baik. Jangan bergantung. Atau aku akan membiarkan semuanya terjebak. Toh bagus juga kalau kalian jadi sampel berikutnya."

DEG

"Sial, Omega itu benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama ...." batin para Alpha bersamaan.

Bretha pun menghela napas panjang. Dia tampak capek menjelaskan, tapi grup gabungan seperti ini wajar kalau sulit beradaptasi. "Baiklah, baiklah ... tapi daripada itu, biar kutanya dahulu ... Sayang, kau tidak apa-apa ikut menjadi pancingan?" tanyanya kepada Ameera. "Dandan mirip saudarimu. Bertingkahlah sepertinya saat mengedarkan obat. Jangan khawatir pasti ada yang ikut di belakangmu."

Ameera pun mengangguk pelan. "Iya, bisa," jawabnya walau sambil meremas lutut. Bagaimana pun mentalnya belum benar-benar sembuh, tapi dia setuju dengan misi menggerebek Oslo. "Tapi, anu--aku tetap membawa senjata kan? Aku tahu aku tidak bisa--tapi untuk jaga-jaga saja."

"Hmm, of course ... nanti akan kuberi kau glock yang ringan. Tapi minta lah seorang cluster untuk mengajarimu dahulu," kata Bretha. "Jangan sembarangan karena pistol bukanlah mainan. Dan peluru nyasar pun bisa membunuh orang," tuturnya.

"Umn."

"Kau bisa berlatih di rumahku atau tempat Takhon. Semua bisa," kata Luhiang. "Kami punya arena untuk belajar menembak. Tinggal serius saja kalau mau ahli."

"Iya."

Usai rapat besar hingga pukul 6 sore, semua orang pun keluar dengan senyum di wajahnya. Mereka kenyang oleh menu sajian. Langsung buyar, kecuali Mile yang mengejar Paing saat di parkiran. "Hei, Takhon! Tunggu!" katanya.

"Ya?" Paing pun menoleh sebelum masuk ke mobil.

"Aku belum bilang selamat untuk anak-anak kalian, dan ... kalau boleh tahu berapa bulan kehamilan Apo sekarang?" tanya Mile, yang membuat alis Paing mengernyit.

"Baru genap 3 bulanan. Kenapa?" tanya Paing.

"Aku hanya ... hm, tidak tahu apa yang akan terjadi. Karena Oslo adalah tempat yang belum pernah kukunjungi," kata Mile. "Aku juga belum tahu medannya seperti apa. Tapi akan kuusahakan untuk kembali setelah misi. Jadi, tolong jaga dia kalau ada hal yang di luar rencana."

DEG

"Apa?"

Mile menepuk bahu Paing sekali. "Ya, pokoknya begitu," katanya. "So, thanks sudah jadi Daddy baik untuk triplets, atau pacar hebat untuk dia ... dan, hm--aku pulang dulu sekarang--"

"HEI, MILE!"

Mile justru sudah mundur dengan senyuman. Alpha itu juga menangkap helm dari Amaara. Lalu membonceng sang Omega keluar gerbang.

BRRRRRMMMMMMM!!

"AYO!" teriak Amaara yang sepertinya mengajak Mile untuk melakukan sesuatu. Mereka pun berlalu begitu cepat, dan anehnya sang Omega tidak lagi segan berpegangan padanya. "KE SANA!" katanya sambil menunjukkan belokan jalan.

"Hei, apa-apaan yang barusan itu ...." gumam Paing. Dia pun diam sesaat. Geleng-geleng, karena Mile sepertinya agak stress dengan tekanan di misi ini.

Drrrt ... drrrt ... drrrt ... drrrt ....

"Apo?" batin Paing yang langsung teralihkan.

[Phiii!! Kapan pulang? Aku sudah selesai bekerja. Sudah selesai mandi dan masak--dan lihat apa yang kubuat untukmu]

___ Apo

[Send a picture]

[Send a picture]

___ Apo

[Hohoho ... tadi dibantu Ma koki. Bagus kan? Ada Oreo Truffle Balls, ada Choco Truffle Balls, dan aku punya bola-bola yang lain 🥺]

___ Apo

[Jadi, Phi mau yang mana? Ayo pulang. Kan janjinya tidak sampai makan malam .... 🤧]

___ Apo

[Oh god I can't stand missing him ....]

____ Apo

[Send a sticker]

Dan stiker kucing itu berjinjit-jinjit siap lari. Hingga Paing penasaran kapan Apo memutuskan untuk mengunduhnya. Hei, dia itu umur berapa sebenarnya ....

"Ha ha ha ha ha ha ...." tawa Paing yang tak tahan gemas. Dia pun menggeser layar untuk menelpon. Lalu masuk mobil sambil memasang earpiece-nya. "Iya, Sayang. Phi pulang ...." katanya. "Apa ada sesuatu yang kau inginkan? Mumpung aku baru saja jalan."

Apo pun tertawa di seberang sana. "Ha ha ha ha ha, nothing!" katanya. "Tapi kalau dikasih % Caffe Latte Arabica sih tidak menolak. Yang banyak! Ekstra susu dan senyum! Terus diberinya bonus kiss 20 kali ... how was that?"

Mereka pun mengobrol sepanjang jalan. Seperti remaja puber, padahal ada cincin berkilau di jari keduanya.