Chereads / ANGELIC DEVIL [MILEAPO FANFICTION] / Chapter 73 - S2-30 THE BEAST

Chapter 73 - S2-30 THE BEAST

Fyi, waktu Thailand lebih cepat 7 jam daripada Norwegia.

"I'm afraid that I'm just a burden to you."

[ANGELIC DEVIL: The Crown]

[Ma, bisa tolong wakili ke Ayah dan Mae? Bilang aku ingin bertemu keluarga besar kapan-kapan. Jadi, kita sepakati dulu waktunya, itu pun kalau mereka mau]

___ Apo

Sejujurnya Miri terkejut saat mendapatkan pesan tersebut. Pada pukul 11 malam pula. Lelahnya pun jadi semakin lelah. Karena Apo pasti memaksa diri untuk bergerak seberani ini. Semua gara-gara dirinya.  Namun, Miri tidak mau meragukan keputusan sang putera tunggal kali ini. Sebab Apo adalah Omega dewasa, seorang istri, dan ibu dari tiga bayi sekarang. Pasti, Apo sudah berbeda daripada yang dulu. Lelaki itu memiliki pemikirannya sendiri, meski Miri kadang kesulitan memahami maksudnya.

[Baik, Sayang. Nanti akan Ma atur. Semoga mereka masih bisa menerima kita]

___ Ma

Begitu pesan terkirim, sebenarnya bukan pernyataan Apo yang paling membebani hati. Namun, pengakuan Pin tadi sore. Calon kakak ipar Apo itu datang. Bertamu ke kantor secara langsung. Dan duduk dengan mata yang amat sedih.

"Bibi, aku tahu ada banyak hal yang perlu diselesaikan oleh dua keluarga," kata Pin mengawali. Mereka terpisah meja kerja. Saling menatap. Dan membagi hati sesama Omega. "Namun, kali ini mungkin sedikit sulit. Karena aku benar-benar kehilangan adik iparku."

DEG

"Apa?"

"Mile, Bi," kata Pin dengan helaan napas yang berat. "Dia benar-benar tak bisa diajak bicara. Sangat berbeda dari orang yang pernah kukenal."

Sebenarnya, Miri sudah mendengar secuil curhatan dari puteranya, tapi sejauh apa permasalahan rumah tangga Apo dengan Mile? Bukankah kalau soal KDRT bisa menjalani terapi? Tapi memang, kalau itu perangai asli akan susah sekali hilangnya.

"Oke, tapi kenapa kau sampai bilang begitu?" tanya Miri. "Apa sejak berkelahi dengan Apo belum pernah pulang? Aku dengar dia punya dinas lain setelahnya."

Pin pun menggeleng pelan. "Pulang, tapi dia tidak mau pergi ke rumah kami," katanya. "Atau setidaknya, ke tempatku. Kan Kaylee dan Ed sekarang bersamaku."

DEG

Miri pun tertegun sesaat. "Iyakah?"

"Ya, Ayah kan sibuk mendapuk proyek Mile di sana-sini. You know? Mereka benar-benar serius untuk menjalankan tugas bersama Nona Luhiang," kata Pin. "Mungkin karena ini kesempatan besar juga. Jadi, menurutku ada obsesi untuk memperbaiki rank tahun depan. Tapi Mae? Di rumah dia sering marah untuk dua cucunya."

Napas Miri pun tertahan sesaat. "Jadi, Nee masih--"

"Ya, beliau sebenarnya ngotot ingin mengembalikan Kay dan Ed kepada kalian," kata Pin membenarkan. "Tapi ujung-ujungnya malah cekcok dengan Ayah. Jadi, lebih baik keduanya kurangkul saja. Toh  tidak baik bagi baby mendengar keributan terlalu sering."

"Ah ...." desah Miri. Seketika lemas di kursi CEO yang baru-baru ini didudukinya. "Tapi mereka berdua baik-baik saja, kan? Bagaimana dengan susunya? Habis banyak?"

Pin malah memijit kening. "Hahhh ... kalau susu sih mau-mau saja mereka. Toh kalau lapar disedot juga," katanya. "Tapi, rewelnyaaaa ....! Ya ampun aku sampai tidak fokus mendesain."

DEG

Miri tahu, ketenangan sangat penting bagi desainer baju-baju modis. Apalagi karir baru Pin mau menaiki titik cerah. Dia sangat serius menekuninya, tapi sekarang pasti sulit sekali.

Pin bilang, Nathanee tidak bisa sembarangan pergi. Sebab tubuhnya sudah di scenting ulang. Maka jika sang Omega melawan kehendak suami, pasti ada firasat tak bagus. Jadilah Pin lagi yang gerak kemari.

"Oke, berarti ... soal hari itu benar-benar tak pernah dibahas, ya?" tanya Miri memastikan.

"Setahuku, tidak," kata Pin dengan tatapan mata kecewa. "Mungkin karena perusahaan sedang genting, ya. Dan hubungan kalian sudah terpisah ...."

"...."

".... jadi, semacam ada rasa ingin cepat naik? Intinya, mungkin Ayah tertawa kalau Wattanagitiphat kalah telak tahun depan," kata Pin dengan kerjapan pelan. "Anda harus kuat-kuat, Nyonya. Apo dan baby Er juga. Hati-hati karena kemunduran kalian yang paling buruk."

Kata-kata Pin waktu itu sungguh menggampar jiwa. Miri kira, setelah semuanya yang terjadi, pihak Romsaithong akan segelisah mereka. Namun, tidak. Begitu tahu rank Romsaithong di atas Wattanagitiphat--walau mundur--sepertinya Songkit sangat puas dan ingin melesat sendiri.

"Dasar bajingan gila. Orang itu menampilkan sifat buruknya sekali lagi," batin Miri. "Sedendam itukah kepada kami? Benar-benar harimau setan. Baik kalau pada masanya saja."

Namun, sebelum pulang Pin juga berkata: "Aku bilang begini bukan karena memihak keluargamu, Nyonya. Toh kekasihku sendiri dari pihak Romsaithong," katanya. "Tapi, tolong. Jika perusahaan kami memang meninggalkan kalian, kuharap Wattanagitiphat pun menyusul juga." Bola matanya mengerjap pelan. "Karena jika kalian mengharapkan pertemuan layak, aku tidak mau Ayah menghina adik ipar saat kita berkumpul nanti."

DEG

"Oh, ini berubah jadi pertempuran seperti dulu, huh?" batin Miri. sangking kesalnya wanita itu. Dia pun meremas file di meja tanpa sadar. "Kalau begitu, ayo saja. Kuladeni kalian karena seniat itu."

BRAKKKKHHHH!!!

"ARRRGHHHHHHH!!!!"

Malam itu, di kediaman Wattanagitiphat. Miri pun melampiaskan amarah dengan mengobrak-abrik meja riasnya. Bedak, eye shadow, eye liner, lipstik, toner--dan lain-lain pun terjatuh di lantai. Matanya menatap cermin seperti cheetah. Ada bara panas yang menyala di dalam sana. Dan semakin keras dia berteriak, Miri telah membebaskan diri sebagai Omega yang tak lagi bersuami.

"Hahh ... hahh ... hah ... hahh ...."

Ini pertama kalinya setelah belasan tahun. Miri bersembunyi di balik suaminya sebagai Omega elegan, tapi maaf-maaf saja. Kalau sudah harga diri yang disakiti, dia takkan memaafkan siapa pun untuk menginjak nama keluarga mereka.

BRAKKKKHHHHH!!!

PRANNNGGGG!!!

"MILE PHAKPHUM ROMSAITHOOOONGG!!" teriak Miri sambil melempar botol parfum ke cermin hingga retak. Wajahnya yang tak lagi muda diselimuti dendam kesumat membara. Dan tangan keriputnya menunjuk-nunjuk ke dalam pecahan. "AKU TIDAK TAHU APA YANG MERASUKI OTAKMU, MAU ITU HARGA DIRI INGIN MENANG ATAU MEMANG SUDAH TAK TERTOLONG LAGI--Tapi, maaf. Aku berubah pikiran soal kau menantu yang bisa kupertahankan," katanya. ".... awas saja kau macam-macam pada anak cucuku lagi. Akan kudatangi rumahmu nanti. Akan kugampar langsung wajahmu. Dan akan kulempar kau ke dalam lubang neraka ....!"

Oslo, Norwegia. Pukul 16:00.

_______________________________

"Masih belum sampai juga?" tanya Apo ketika dua matanya terbuka lagi. Dalam mobil sewaan yang melaju secara berbaris ... dia, Jeff, serta para bawahan dari Nyonya Bretha pun menuju ke penjara Ameera. Namun, meski Apo bilang "berangkatnya agak siangan saja" ternyata letak tempat itu jauh dari pusat kota (Ya, wajar juga kalau penjara sakit terpencil), tapi dia tak menyangka akan menghabiskan beberapa jam.

Yang macet karena salju. Yang lupa arah jalannya mana. Yang tersesat dulu dan putar balik--intinya ada saja drama selama menuju ke sana.

Kata bawahan Bretha yang menjadi perwakilan, dia memang susah payah saat kemari. Namun, karena itu pertama kalinya meneliti wilayah Nordik, dapat izin sipir saja sudah bagus. Kalau soal jalannya? Wah, sulit sekali diingat. Apalagi jalanan Oslo itu lumayan rumit. Rutenya aral melintang di pada GPS, dan cuaca buruk kadang menghilangkan sinyal.

"Belum. Kau tidurlah lagi saja," kata Paing, yang entah sejak kapan berkaca mata dan duduk dengan memangku laptop (perasaan tadi tidak bawa? Atau Apo salah sangka saja). Alpha itu tampak sangat sibuk, tetap fokus pada layar, padahal dia menanggapi omongan Apo. "Nanti kubangunkan kalau sudah sampai."

Apo malah menegakkan badan dan memijit hidung. "Umnh, tunggu," katanya dengan kening mengernyit. "Phi kan bilang hari ini libur. Tapi kenapa malah bekerja?"

"Hm?" Paing masih tidak menoleh sekali pun. "Ya, ada masalah sedikit. Tapi tak apa. Masih bisa kuselesaikan asal cepat dikerjakan."

"Oh ...." desah Apo. Lalu mengintip sedikit apa yang sedang Paing lakukan. Rupa-rupanya hal yang agak asing--tapi mungkin terkait stasiun televisi? Apo baru tahu Paing mau membuka bisnis di bidang itu. Uh, oh ....

Namun, karena aura Paing gelap sekali, Apo pun memilih tidak mengganggu. Dia mengecek balasan Miri di ponsel, membacanya, lalu mengetik sesuatu untuk menanggapi.

[Aku sebenarnya juga tidak yakin, Ma. Karena sepertinya Ayah salah paham padaku? Tapi belum tahu juga]

____ Apo

[Dan aku benar-benar minta maaf. Soalnya CCTV di kamar waktu itu sempat kumatikan. Jadi, tidak ada bukti kalau Mile menyerangku terlebih dahulu]

___ Apo

[Ma, kalau ada kabar lanjutan tolong beritahu aku, ya? Aku benar-benar ingin membahas ini dengan mereka. Terima kasih atas sarannya]

___ Apo

Usai mengirim ketiga-tiganya, Apo pun menoleh ke Paing kembali.

"Sepertinya sungguhan tak bisa diganggu," batin Apo. Karena suara ketikan Paing sampai terdengar ribut. Dan dia pindah-pindah jendela untuk mengurus kerjaan.

TIN! TIIIIIINNNNNN!! TIN TIIIN!

"HER ER VI! VI ANKOM STEDET!" teriak sopir mobil paling depan. Dia pun mengerem perlahan, sehingga mobil-mobil di belakangnya ikut berhenti. (*)

(*) Bahasa Norwegia: Kita sampai! Kita sudah di tempatnya!

"Permisi, Tuan Takhon. Kita harus turun sekarang," kata Masu, si co-translator yang duduk di sebelah kursi kemudi. Lelaki itu pun menoleh dengan wajah sungkan. Sementara Paing menanggapi sekedarnya--aneh.

"Ah, ya ... ya ... sebentar," kata Paing. "Bisa tunggu sampai aku selesai? Sedikit lagi." Dia mengecek arloji. "Mungkin cukup 1 jam. Ini benar-benar tak bisa kutinggal."

DEG

Dada Apo pun bergemuruh kencang. Baru kali ini dia lihat Paing kewalahan, dan wajahnya berminyak dengan mata merah. Jangan-jangan sejak di hotel dia begitu? Padahal yang lain langsung beristirahat. Apo juga baru sadar kalau logo laptop Paing baru. Sepertinya dibeli di kota saat yang lain tak tahu, karena pekerjaan itu di luar rencana.

"Phi, ada yang bisa kubantu?" tawar Apo.

Paing masih tetap tampak tegang. "No, no, I'm okay. Stay still," katanya. "Tapi kalau mau jalan-jalan dulu terserah. Berkeliling. Nanti kutelepon kalau sudah bisa masuk."

Mendadak, Apo merasa tidak berguna di tempat itu. Paing membantunya, tapi tidak sebaliknya. Dan itu sedikit sakit. Dia pun permisi keluar dan memberi ruang. Daripada nanti malah terjadi yang tidak-tidak--seperti mereka malah bertengkar? Apo tahu rasanya dikejar deadline pekerjaan mendadak.

CKLEK!

"Tuan Natta, halo," sapa Masu yang sudah keluar terlebih dahulu. Dia, Jeff, dan bawahan Nyonya Bretha pun menoleh padanya, tapi Apo menggeleng pelan.

"Bisa kita menundanya lagi?" kata Apo. Lalu menoleh ke bangunan sekitar yang tidak tampak seperti penjara. Malahan hanya seperti perkampungan biasa? Bisa jadi penjara yang sebenarnya di dalam salah satu gedung. "Phi belum bisa mendampingi masuk."

Namun, si perwakilan yang dapat izin langsung membantah. "Tidak bisa! Kali ini benar-benar tidak bisa!" katanya tegas dengan wajah panik. Lelaki itu juga mengecek arloji gugup. Dan Apo bingung sekali. "Soalnya ini pukul setengah 5, Tuan. Penjaranya akan ditutup sebentar lagi!"

DEG

"Oh ...."

Namun, karena suaranya lumayan ribut, Paing yang di dalam akhirnya menoleh sebentar. Dia menurunkan kaca jendela, menatap Apo. Lalu bergantian ke arah Masu. "Hm, kalau begitu masuk duluan tidak masalah," katanya. Yang entah kenapa membuat dada Apo tak enak. "Tapi, Masu. Tolong kalian yang Alpha berjalan di sekitarnya. Pastikan kalau tidak terjadi apapun."

DEG

"Eh? Tapi--"

"Menurut saja apa kataku," kata Paing. Nadanya sedikit memaksa.

"Tuan Natta ini kesehatannya sedang tak baik. Bisa saja mudah terpengaruh, meski sudah sempat kulindungi. Semua buat jaga-jaga saja."

Akhirnya, Masu pun melirik Apo dan Paing bergantian. "Oke, baik," katanya sambil mengayunkan tangan. "Ayo, Tuan Natta. Mari. Ikuti saya mulai sekarang."

"Hm, terima kasih," kata Paing. Lalu menoleh ke Apo dengan senyuman sekilas. "Sana. Hati-hati. Aku yang mengurus administrasi pembebasannya nanti di luar."

DEG

Jadi dalam hal ini memakai uang? Apo benar-benar tidak kepikiran sampai sana.

"Tapi, Phi--"

"Kita anggap ini bagi tugas saja, bagaimana?"

DEG

"...."

"Apo, oke?" tanya Paing sekali lagi. Tapi, entahlah. Walau Apo tahu Paing memang tidak wajib masuk, tapi dilepas lelaki itu mendadak? Jujur rasanya aneh.

"Iya, Phi."

"Oke, good. Done," kata Paing. Lalu duduk kembali untuk fokus kepada laptopnya. Alpha itu pun melanjutkan pekerjaan dengan raut serius. Melepas kacamata sebentar untuk memijit kelopak. Lalu mengenakannya lagi meskipun lelah.

Deg ... deg ... deg ... deg ... deg ....

"Sebenarnya apa yang sudah terjadi, Phi?" batin Apo sebelum mengikuti langkah gerombolan tersebut. "Apa ini karena aku terlalu membebanimu? Kau sampai tidak memperhatikan diri sendiri."