"Sometimes, a footstep must be changed, when you feel you are not welcome in the same place."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Suci sendiri, ya?
Apo memikirkan perkataan Mile berkali-kali. Tapi jawabannya tetap sama: dia kecewa. Sumpah Demi Tuhan hanya Mile yang pernah menjamah tubuhnya sejauh itu. Bahkan hingga melahirkan bayi-bayi darinya.
Bukankah Mile sendiri yang menandainya dalam pesawat? Bukankah Mile menjumpai masa-masa Apo tidak paham seks samasekali? Dan dirinya selalu dengan Mile, meski Paing pulang sudah lama.
Satu lagi. Coba lihat kalender di atas nakas. Pernikahan mereka belum ada tiga minggu, tapi Mile menuduhnya seperti itu? Apo benar-benar tidak habis pikir.
"Ugh, sssh," desis Apo pada pukul 3. Dia tak bisa tidur, sangking takutnya Mile kembali lagi ke kamar. Omega itu duduk meski kesulitan. Dia sempat memekik, karena ada noda darah, dan itu berasal dari selangkangan dia. Oh, Tuhan. Apo pun berkaca-kaca, tapi dia tak mau menangis.
Sudah cukup beban yang dia tanggung hingga kemarin lusa. Apo pun turun ranjang, meski sempat merosot jatuh.
BRUGH!
"Akh--hiks ...."
Dia tak sanggup berdiri cukup lama. Sakit, perih, panas. Seluruh badannya seperti disengat lebah. Ditinju, dan kepalanya pusing akibat dijambak kasar terus menerus. Namun, bukan Apo jika dia menyerah di tempat itu. Dia pun berjalan patah-patah menuju ke kamar mandi, tentu sambil memegangi perabotan.
"Ugh, uh ...."
Sesekali dia duduk, tak masalah. Apo tetap mencicil langkah per langkah. Dan kata-kata Paing lah yang justru menguatkannya.
"Oh, ya ... Paling penting kau juga kembalilah ke Apo yang dulu. Be strong."
Ya, memang hanya itu pilihannya. Percuma jika tidak membela diri sendiri. Ketika sang suami yang tadinya menggantikan peran itu justru mengadili dia.
"That's great. Just do it when you're home. Now you smile in a good way."
"Tersenyum dengan cara yang bagus, ya?" gumam Apo, ketika memandang potret berantakannya di cermin kamar mandi. "Haris bagaimana memangnya? Aku benar-benar tidak paham ...."
Tes ... tes ... tes ... tes ....
Tiba-tiba, hidung Apo juga ikut mengeluarkan darah. Dia lagi-lagi mimisan, lalu segera mencuci muka. Tentu sambil duduk di atas kloset.
Apo menumpuk dua handuk agar bokongnya tidak semakin sakit. Dia menghabiskan tisu untuk menyeka pendarahan di mana-mana. Apalagi mampetnya lama sekali. Mungkin, kalau Paing ada di sisinya lagi, sang senior pasti sigap mengobati dia. Entah itu dengan pertolongan pertama, pergi ke apotik meski dalam penampilan menawan, atau menemani hingga mendingan.
"Ssssh .... hhh," keluh Apo ketika membersihkan bagian belakangnya. Dia keperihan karena dalamnya lecet, dan darah ikut mengalir bersama sperma Mile ke pahanya. Sumpah, Apo ingin berteriak tapi rasanya terhina. Dan hanya meremas shower untuk melampiaskan rasa.
"Sudah cukup. Aku tak mau menangis lagi. CUKUP APO!" batin Apo menasihati diri sendiri. Dia pun mandi semampunya saja. Lantas keluar dan ganti baju. Oh, dia juga tidak mau kembali ke ranjang. Rasanya trauma diperlakukan Mile kasar di tempat itu. Lalu memilih berebah di sofa panjang.
[Ma, besok pagi aku siap untuk menghadiri kremasi Papa]
___ Apo
Omega itu membaca ulang chat yang baru dikirim, tapi rasanya ada yang kurang. Dia pun berpikir lagi, kemudian menambahkan sesuatu.
[Oh, iya. Ma bilang Phi Pin akan membantu perusahaan, ya? Tidak usah, Ma. Aku bisa sendiri. Toh dia punya bisnis sendiri di kota lain. Rabu depan aku sudah bisa aktif]
___ Apo
Send.
Apo pun meletakkan ponsel setelah yakin dengan tindakannya. Dia menoleh ke pintu kamar dengan mata was-was, tapi ternyata Mile tidak masuk hingga subuh tiba. Ah, kenapa? Apo sudah tidak peduli.
"Kalau kau mencium mereka betulan, bukan masalah kok. Itu bukan urusanku," kata Apo dengan mata kosong. Entah kenapa perkataanya sendiri di masa lalu, tiba-tiba terbersit dalam kepala. "Berarti aku sudah tidak diinginkan, dan waktunya pergi."
"...."
"Lagipula, memusuhi orang-orang itu tak ada gunanya," kata Apo lagi. Kali ini kedipan matanya seperti boneka. "Aku bisa membeli harga diri mereka, tapi tidak dengan kehidupan yang kau sukai."
Keesokan pagi, Luhiang tersenyum karena bola golf-nya masuk berkali-kali. Wanita Alpha itu menoleh ke IPad yang sejak tadi tersambung ke vicall, lalu menyeringai lebar. "OI! PAING TAKHON!" teriaknya sambil mengacungkan tongkat golf. "KAU KALAH TARUHAN! HA HA HA HA HA! Jadi, nanti sore kutunggu mobil baruku, oke? Aku tak mau tahu."
Di seberang sana, Paing yang duduk di meja kerja hanya geleng-geleng. "Ya, ya. Nanti Dew kusuruh ke dealer. Jangan khawatir," katanya. "Tapi mungkin, kau harus mandi cepat setelah ini. Sarapan. Rekan kita mengajak bertemu sebelum jam makan siang. Kau datang."
Luhiang pun memaki. Lalu duduk di sisi meja IPad-nya. "Shit lah, Takhon. Mau libur sehari saja susah sekali. Kau ini selalu memberiku pekerjaan," katanya. Tapi kemudian tersenyum. Ya, senang saja karena di rumah bisa mengobrol seperti teman. Luhiang harus meninggikan Paing ketika di tempat kerja, sampai lidahnya gatal kalau memanggil "Tuan Takhon, Tuan Takhon," setiap saat.
"Tapi, terserah juga padamu. Ini kan uang yang datang," kata Paing dengan senyum lembutnya. Alpha itu menumpuk semua berkas yang sudah ditanda tangani, lalu mengecek sisanya di layar. "Kalau tidak mau, biar aku ambil saja semuanya, hm? Lagipula stasiun dan jalan tol hasilnya tidak sedikit."
"Eeeeh! Sialan!"
"Ha ha ha ha ha."
"Paing Takhon aku akan mengebirimu di lain hari."
"Ha ha ha ha ha."
Luhiang pun akhirnya setuju untuk ikutan datang. Dia bersiap-siap dengan cukup cepat. Walau melepaskan saham di Bandara Subarnabhumi. Mungkin, setelah melebarkan sayap pada bidang fashion, main aman di jalan tol lebih mudah untuk saat ini. Dia pun menyerahkan 20% miliknya kepada Paing, sehingga sang rekan pun memegang 80%.
Memang cocok untuk diajak taruhan terus menerus--hahaha. Luhiang akan mengorek uangnya dengan cara seru, walau kadang Paing menjengkelkan juga.
"Tidak, tidak. Sudah cukup untuk bulan ini. Dasar ...." kata Paing saat mereka berjalan masuk lift. "Kau pikir aku tidak tahu? Lagipula proyek baruku juga butuh dana."
"Hah? Apa?"
Paing meliriknya dengan seringai tipis. "Stasiun televisi? Aku akan membeli dua channel minggu depan," katanya. "Nah, asalkan kau mau bayar. Akan kubuatkan acara realitas untuk promosi produk-produk fashion-mu itu."
"Bajingan kau, Tuan Takhon."
"Ya, memang."
"Tapi aku suka gayamu. Deal."
"Deal, huh? Oke, tapi tolong diam dulu," kata Paing yang mendadak fokus ke depan. "Lihat, uang kita sudah datang. Pasang wajahmu sebaik-baiknya."
Luhiang pun menatap depan saat pintu lift terbuka. Keduanya otomatis senyum saat tiga orang datang. Lalu mereka masuk ruangan khusus untuk mengobrol bisnis. Ya, semua lancar hingga klien mereka keluar. Namun, Luhiang bisik-bisik saat Paing sedang menyusun berkasnya. "Hei, Takhon," katanya. Toh hanya tinggal mereka berdua dalam ruangan.
"Hm?"
"Kemarin yang disebut Tuan Romsaithong itu kan si Nadech Kugumiya."
"Betul. Terus?"
"Mungkin aku hanya salah kira, tapi ya ... dia seperti meniru jalanmu baru-baru ini."
"Apa?"
Luhiang pun menoreh halaman notebook dengan coret-coretan. "Soalnya, kapan hari kudengar Nadech membuka saham di CNX lho. Walau baru versi-versi rendah. Dia cuma punya 20% di sana," katanya. (*)
(*) CNX itu Bandar Udara Internasional Chiang Mai.
"Ho, terus?"
"Ya, aneh saja, kan. Selama ini keluarga Suppasit cuma berani di manufaktur," kata Luhiang. "Kau tahu? Makanya Suppasit jadi pesaing Romsaithong dan Wattanagitiphat. Tapi, aku baru sadar dia meniru setelah yang kau bilang tadi pagi."
"Maksudmu, soal channel televisi?"
"Yap, kudengar dia mau beli juga. Tapi nama apa, belum tahu. Terus tol dan stasiun--dia juga mulai merambah. Walau sementara ini baru ke tol saja."
"Oh ...." Paing hanya mengangguk-angguk. "Ya, tak masalah. Memang kenapa kalau meniru? Toh Suppasit memang pantas untuk tahun ini. Dia di urutan ke 6. Jadi, mungkin soal kualitas Mew dan Nadech saja. Kan pewaris belum tentu mumpuni. Bisa jadi sepupu atau kerabat lebih hebat daripada dia."
"Ckckck ... Ya Tuhan." Luhiang pun geleng-geleng. "Takhon, Takhon. Maksudku, yang kubahas bukan masalah bisnisnya. Tapi soal mumpuni dan tidak tadi."
Paing pun berhenti menata berkas karena baru kepikiran sesuatu. "Oh, kasusnya--"
Ctik!
"Tepat," kata Luhiang sambil menjentikkan jari. "Kau pernah mikir tidak sih? Mew itu sebenarnya hanya korban?"
DEG
Seketika, Paing pun menoleh dengan lirikan tajamnya. "Maksudmu Nadech sengaja menceburkannya dalam masalah?"
"Ya. Apalagi waktu itu Mew dan Pomchay memang ada masalah. Jadi, sekalian saja Nadech mengimpori dia. Nah, pecah lah! Pomchay kecelakaan, terus Mew musuhan dengan Romsaithong," kata Luhiang. Benar-benar dalam mode gosip, sementara Paing hanya mendengarkan. Toh Luhiang teman baik Pomchay selama ini. Jadi, yang dikatakan wanita itu masuk akal. "Terus terus terus terus ... ketika Mew sudah koma dan kena kasus, tara! Surprise! Nadech datang di kursinya seperti hadiah natal. Sekarang perusahaan mereka langsung ke langit."
"Kau benar, tapi belum ada bukti untuk semua perkataanmu," kata Paing.
Luhiang pun menyenggol bahunya. "Ya, tinggal diskusikan lagi dengan Omega kesayanganmu. Toh sekarang kalian bekerja sama. Mudah saja kan untuk menjangkau?"
DEG
"Apa?"
Giliran wanita Alpha itu yang menyeringai. "Kau pikir aku tidak peka? Ha?" katanya. "Tapi si Nattawin memang manis kok. Wajar. Aku saja kadang ingin menggagahinya."
Paing segera memutus kontak mata. "Bukan, bukan ... bukan seperti itu maksudku," katanya. "Oh, iya. Sampai mana bahasan kasusnya tadi? Rank Suppasit berada di tingkat 6? Maka kita akan bantu menggantinya dengan Romsaithong atau Wattanagitiphat pada tahun depan."