Chereads / ANGELIC DEVIL [MILEAPO FANFICTION] / Chapter 31 - BAB 31: THE STRONGEST RIVAL

Chapter 31 - BAB 31: THE STRONGEST RIVAL

"Oke, oke. Bertahan," kata Paing dengan kening yang berdenyut. "Kuantarkan kau pulang sekarang ...."

Brrrrrrrmmmmmm!!

Meninggalkan mobilnya sendiri, Paing pun menyetir mobil Apo meninggalkan parkiran. Dia melirik Apo sesekali, memastikan kondisinya tidak semakin parah.

"Hrrrmhh, mmh," gumam Apo sepanjang jalan. Separuh sadar, lelaki Omega itu terus menerus cegukan, sementara Paing membenahkan jaket ke badannya tiap kali melorot. "Panasss ...." keluhnya dengan melenguh.

Paing pun sempat menyentuh keningnya yang berkeringat. "Sial, dia ini demam tinggi," makinya. Lalu memelankan mobil karena lupa dimana alamat Apo.

Bagaimana pun, Paing tidak di tanah air selama hampir 8 tahun. Dia benar-benar tidak ingat arah kediaman Wattanagitiphat, apalagi jarang ke sana. Semasa kuliah pun tidak. Paing hanya ingat pernah bertamu untuk iseng tanding anggar, tapi beberapa kali saja.

"Hei, Apo ... coba dimana ponselmu?" kata Paing yang berhenti sejenak. Sang Alpha menahan aroma muntahan di suit jasnya, lalu memeriksa sekitar. Sayang, Apo sepertinya tidak bawa ponsel. Omega itu bahkan hanya berpiama, dan pastinya dalam kondisi tak siap pergi.

"Ya Tuhan ... rumah sakitku pun masih jauh," gumamnya dengan membuka ponsel sendiri.

Paing pun memeriksa kontak kenalan yang masih tersisa dari Thailand. Dia mendadak lega lahir dalam keluarga dokter, walau sebagai pewaris tetap menduduki eksekutif, daripada praktik. "Halo, Nodt ...." panggilnya ke seberang sana. "Ini aku, Paing. Apa kau ada di rumah? Aku sekarang butuh bantuan."

Suara Nodt terdengar berat di seberang sana. "Shia, Bro. Aku ini sedang ada di Finland," katanya. "Suamiku mengajak berlibur. Dan tempat praktikku tutup di rumah. Tapi pakai saja kalau memang paling dekat."

"Seriusan?" keluh Paing. "Oke, tak masalah. Beritahu aku pin pintumu kalau begitu. Permisi!"

"Yoi, sebentar kuketikkan saja."

"Hm."

Setelah sambungan telepon mereka tertutup, Paing pun segera tancap gas kembali. Dia senang karena rumah Nodt lokasinya masih sama, bahkan bangunannya tak berubah. "Ayo, Apo," katanya. Lantas menggendong sang Omega susah payah.

Bukan karena terlalu berat, sebenarnya. Tapi Apo tampak ingin muntah beberapa kali lagi selama perjalanan masuk. Dia berpegangan pada trisep sekal Paing sambil terisak, lalu merintih kala mimisannya turun menetes ke baju.

"Sakit--khh ... panas, Mile. Pusing ...." gumam Apo. Dia sempat tidak mau direbahkan karena nyaman dengan suhu tubuh Paing, tapi sang Alpha tetap bergerak cepat.

"Hei, tolong tunggu sebentar saja di sini," kata Paing. "Kucarikan obat dulu untukmu." Karena panas Apo mencapai 39°, dia pun segera membuat kompresan air.

Termometer diletakkan. Kompor dapur dinyalakan. Lalu Paing mencarikan infus Nodt yang tersimpan di dalam kotak. Semua lemari tempat praktik itu Paing buka-buka bergantian. Keningnya ikut berkeringat karena gugup, belum lagi harus menggantikan baju Apo.

"Hrrmmmhh, hhrrmmh, dingin ...." kata Apo sambil meremas seprai. Dia berdesis 'khh' saat ditusuki jarum infus, lalu membuang wajahnya ke samping. "Hoeeeek!" jeritnya perih. Anehnya tak ada muntahan keluar lagi. Paing pun sigap meninggikan bantal untuk punggung sang Omega, lalu mencarikan baju di kamar Nodt.

Ah, fuck. Paing sendiri sepertinya harus ikutan berganti. Dia pun mengambil dua setel milik suami Nodt, lalu memakaikan salah satunya kepada Apo.

"Oh, tunggu. Kubersihkan dulu badanmu," kata Paing. Dia tidak berpikiran apa-apa karena masih menganggap Apo seorang Alpha, sebagaimana dahulu mereka saling mengenal. Namun, beda kala sudah melepasi garmen-garmen Apo. Aroma muntahan pun perlahan berganti wangi, barulah Paing sadar dia tengah menyeka tubuh Omega.

DEG

"Nnn, nn," lenguh Apo dengan bibir yang berkuluman. Omega itu sudah memejamkan mata total, tapi sepertinya belum sungguhan tertidur.

"Oh, Fuck," maki Paing lantas segera menjauh. Jemarinya pun gemetar beberapa saat, lalu mempercepat proses pergantian baju Apo sebisanya. "Jujur aku masih tak percaya kau ini Omega, Apo. Apalagi sudah melahirkan beberapa baby ..." katanya. Lantas mundur untuk menyelimuti sebatas perut.

Setelah membuatkan bubur serta minuman yang hangat, Paing pun memeras kompresan Apo ketika perlu. Dia juga menghubungi beberapa nomor dokter milik perusahaan. Lalu mondar-mandir karena panik sendiri.

"Halo, Build? Iya, ini aku. Maaf memanggilmu di jam istirahat," kata Paing sambil menggaruk pipinya. "Bisa kau atau pacarmu datang kemari? Siapa lah. Temanku mabuk dan demam di sini. Aku tidak menemukan obat-obatan yang cocok!"

Suara di seberang sana terdengar mengantuk. "Oke, kau dimana," kata Build sambil menepuk-nepuk seseorang di sebelahnya. "Nanti Bible akan membawakan. Dia turun siapkan dulu untukmu."

"Bagus," kata Paing sambil mengutak-atik alamat GPS. "Nah, sudah kukirimkan barusan. Usahakan datangnya jangan sampai pagi, kelamaan. Aku tidak bisa asal pergi-pergi. Harus ada yang mengawasinya juga di sini. Dia barusan sampai menggigil."

"Oke, sebentar. Bro, ini dia sudah ganti baju," kata Build dengan obrolan samar yang jauh dari telepon. "Ya ampun, Sayang. Bisa lebih cepat sedikit? Cuci muka dulu ke belakang sana! Kita ini sedang ada pasien!"

Bible kedengarannya menyahuti malas. "Ck, brengsek. Andai bukan dia yang meminta, aku takkan mau datang," katanya, tapi malah mendusel lagi ke tubuh Build. "Nanti kukebut kalau dapat ciuman yang lengkap."

Build pun cepat menyerang pacarnya dengan kecupan. Bibir, pipi, kening, hidung, lalu ke bibir lagi. Dia tidak melewatkan setiap bagian sambil mendengus, lalu mendorong Bible menjauh. "Dasar koas ...." katanya. "Sana, cepat. Kalau telat bisa-bisa pasienmu tamat."

(*)

(*) Koas biasa disebut mahasiswa kedokteran magang. Ini untuk mendapatkan gelar dokter yang dilaksanakan di rumah sakit dalam kurun waktu 1,5 tahun hingga 2 tahun. Istilah ini juga dikenal dengan co-ass atau singkatan dari co-assistant.

"Oke, oke. Tenang. Aku akan sampai dalam waktu singkat."

Begitu Paing memastikan Bible berangkat, dia pun geleng-geleng karena tingkah mereka. "Good. Sekarang aku juga punya tugas untukmu," katanya.

"Eh, apa? Masih ada urusan lagi?"

"Hm, sekalian. Nanti kubayar kau di belakang," kata Paing. "Ambil mobilku yang tertinggal di Bar Anhesy, cek dokumen bermap kuning apakah masih di dalam, lalu bawa segera kemari juga."

"Siap, sebentar," kata Build yang segera turun dari ranjang. "Itu benar-benar penting sekali ya? Sampai tidak kau ambil besok saja."

"Tentu, Build. Ini uang taruhannya," kata Paing. "Aku menemui klien unik sebelumnya. Tapi, begitulah. Pokoknya berangkat saja. Jangan lupa di jok depan depan ada husky puppy-ku yang baru vaksin. Dia galak kalau dengan orang asing."

"What?!" kaget Build. "Gaby ikutan juga di sana?"

"Hm, kututup," kata Paing sepihak. "Hati-hati selama di jalan."

Build pun seketika panik. "Oiii broo! Aku ini kurang suka anjing--""

Tuuutttttssss ....

"Hahh ...." desah Paing setelah meletakkan ponselnya ke nakas. "Kalau bisa, aku pun tak ingin meninggalkannya di sana."

"HATCHI!!" Tiba-tiba Apo bersin besar dan terbangun dengan mata yang berkedip-kedip. "Hhhh ... dingin," katanya sembari menarik selimut ke batas bahu. Dia pasti merasakan hal yang campur-campur, sementara Paing mengecek keningnya sekali lagi.

"Kau makin panas, Apo," kata Paing yang duduk di sebelahnya. "Makan sesuatu dulu, oke? Aku sudah buatkan bubur di sini."

"Hnh? Siapa?" Pandangan Apo masih buram jelas, buram jelas. Paing pun mendekat sedikit, sehingga sang Omega sanggup melihat sebelum mengecek keningnya. "Oh, Phi? Kukira tadi Mile--HATCHI!"

Paing terpejam karena kali ini langsung dibersini. Dia mencoba bersabar, lalu berkata pelan. "Oke, siapa pun suamimu itu, kukembalikan kau besok kalau situasinya lebih baik." Dia mengambil segelas teh manis. "Ini, minum dulu. Organ dalammu harus cepat hangat."

Apo memandang cangkir teh itu sebelum meneguk perlahan. Mungkin karena dia merasa tidak terancam, Apo juga langsung rebah dan menerima suapan Paing. Dia hanya mengeluh dengan gumaman yang sesekali, lalu memohon izin permisi. "Phi ...." katanya. "Boleh aku pinjam ponsel? Aku ingin tahu kondisi mereka."

"Oh? Baby-mu?" tanya Paing sambil meraih ponselnya. "Ini, silahkan. Memang mereka kenapa? Kupikir jam segini sudah tertidur semua."

Apo pun mendudukkan diri sebisanya. "Mereka baru saja sembuh," katanya sembari mengingat-ingat nomor rumah. Well, jarang peduli pada panggilan membuat Apo agak susah ingat kontak yang ada di dalam. Dia pun mengetik berkali-kali, tapi juga menghapusnya jika tidak yakin. "Apalagi Er. Demamnya baru saja turun. Mana tahu naik lagi. Aku seharusnya tidak meninggalkan mereka ...."

Paing tahu Apo sangat khawatir pada puteranya. Tapi menggenggam ponsel saja kesulitan. Dia melihat jelas bagaimana Apo bingung dengan layar di depannya, malahan benda itu tergelincir lagi.

Blukh!

"Apo! Hei, Apo ...." Paing pun refleks menangkup pipi kiri Omega itu. Dan dalam kondisi nomor belum lengkap, dia tentu tidak bisa memanggil siapa pun dari sana.

"Sakit ...." kata Apo dengan sudut mata yang mengalir lagi. "Er ... Er ...." sebutnya. Sebelum pingsan kembali.

"Oh, Shit," maki Paing. Dia pun mengambil ponsel itu saat ingat sesuatu. "Kenapa baru kepikiran? Apo kan bilang melahirkan di rumah sakitku juga waktu itu." Setelah menghubungi resepsionis di seberang sana, Paing akhirnya diberi nomor kontak keluarga. Dia mendapatkan tiga nomor, yang entah milik siapa saja. Yang pasti, Apo sangat percaya dengan RS Bumrungrad. Jika tidak, mana mungkin dia jadi langganan di sana? Paing kini menghubungi salah satu tanpa memikirkan itu milik siapa.

Tuuuut ... tuuut ... tuuut ....

Nada deringnya panjang sekali. Paing pun nyaris menghubungi nomor lain, tapi tidak lagi karena mendadak diangkat.

"Halo?" Suara lelaki yang sama beratnya menyahut dari seberang sana. "Ini siapa?"

Bersambung ....

Judul bab ini "The Strongest Rival". Kenapa aku ketik begitu? Karena saingan paling berat justru orang baik dan tidak menganggapmu saingan samasekali, setuju?