Happy Reading
***
"Dimana Bion?" Isma Arkana menanyakan hal itu pada sekretaris putranya—Meliana.Â
Mendapat pertanyaan mendadak seperti itu lewat saluran telepon pribadinya di malam hari yang nikmat— membuat Meliana yang baru saja akan mulai ritual bercinta dengan kekasihnya menjadi was-was.
"Mau jujur atau saya pecat, Mel?" Tidak ada penekanan dalam pertanyaan itu. Isma pun menanyakan hal itu dengan suara datar khas emak-emak yang ingin menceramahi anaknya yang bandel.
"Ma-maafkan saya, nyonya." Meliana yang tidak mengenakan pakaian dan sangat siap untuk dimasuki, melirik kekasihnya gugup. Sepertinya kekasihnya itu sudah kehilangan selera untuk menyentuhnya lagi.
"Tu-tuan Bion sudah pulang, nyonya. Tuan ada di apartemen bersama Nona Anyelir," lanjutnya sedikit ragu mengatakan itu. Tapi bodoh amat. Jujur lebih baik daripada dipecat. "Tuan Bion sudah pulang sejak dua jam yang lalu bersama Nona Anyelir. Saya juga ikut mengantar Tuan Bion dan Nona Anyelir sampai apartemen, nyonya."
Mendapat informasi sedetail itu— Isma tanpa menanyakan apapun lagi langsung menutup telepon. Wanita tua yang masih terlihat cantik dan awet muda di usianya yang ke-56 tahun itu bergegas menuju apartemen putra kandung satu-satunya.
***
Isma yang diikuti oleh salah satu pelayan setianya, Yumi. Sudah berada di depan unit apartemen Bion. Ia sedikit ragu-ragu saat akan menekan belnya.
Bukan apa-apa, sebagai orang dewasa yang hidupnya sudah melalang buana ke penjuru dunia, pastinya ia sangat tahu apa yang sedang dilakukan putranya didalam sana bersama wanita bernama Anyelir itu.Â
Hanya saja, Isma takut apa yang ada dipikirannya benar-benar terjadi.
Anyelir Saraswati adalah penari striptis sekaligus wanita penghibur di salah satu klub malam terbesar di kota ini.Â
Isma ditemani Yumi dan satu bodyguardnya— pernah mendatangi klub malam dimana Anyelir menjual tubuhnya.
Starlight Moon.Â
Isma akui secara subjektif saat pertama kali melihat Anyelir— wanita itu memang sangat cantik dan begitu menawan.
Pantas saja putranya sangat tergila-gila pada wanita itu. Ia sampai frustasi bagaimana menjauhkan Bion dari Anyelir karena secantik apapun wanita itu, orang tua mana yang bisa menyetujui hubungan timpang seperti ini.
Saat Isma melihat Anyelir menari dan menggerakkan seluruh tubuhnya begitu erotis di atas panggung, meliuk-liukkan tubuhnya di tiang dengan tanpa busana dan ditonton oleh puluhan pasang mata lelaki hidung belang tanpa rasa malu, satu-dua pria diijinkan untuk menyentuh aset berharga milik wanita itu— membuat Isma yakin 1000% jika Anyelir Saraswati tidak akan pernah pantas bersanding dengan putranya.
Apalagi Isma melihat dengan mata kepala sendiri saat Anyelir baru saja turun dari panggung langsung disambut hangat oleh penyewanya.
"Berapa passwordnya, Yumi?" Isma memutuskan tidak jadi menekan belnya.Â
Isma ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri.
"040622, nyonya."
Pintu terbuka. Isma mendorong perlahan pintu itu. Kesan pertama gelap dan suram.Â
Padahal apartemen ini sangatlah mewah.
Wanita itu berjalan seperti biasanya, tidak mindik-mindik seperti maling apalagi bicara bisik-bisik dengan Yumi.
Baru beberapa langkah Isma berjalan. Sepatu mahalnya yang berwarna coklat, menginjak dalaman wanita.Â
BH, sepertinya warna merah tua.Â
Isma berjalan lagi. Dalam keremangan cahaya. Ia bisa melihat beberapa pakaian berserakan dilantai dan di tangga.
Kedua mata Isma yang indah melihat anak tangga yang berliku— tidak berliku, hanya saja tangga itu terlihat berbelok-belok dan sangat tinggi.Â
Susah sekali menjangkaunya.
Isma menarik napas panjang sebelum menaikinya. Entah mengapa dadanya sangat sesak. Bukan karena tangganya tapi perasaannya saat ini sangat lelah.
Sesampainya di atas Isma bisa mendengar suara-suara desahan seksi dari dua orang lawan jenis yang saling bersahutan.
Yumi yang melihat wajah nyonyanya diselimuti mendung, mencoba mengelus punggungnya untuk memberi rasa tenang. "Jika nyonya tidak ingin melihatnya—"
"Tidak masalah," ucap Isma mencoba tegar.
Isma melanjutkan langkahnya.Â
Di depan pintu kamar yang terbuka lebar dengan pencahayaan yang cukup jelas. Ia bisa melihat semuanya.Â
Bion Arkana Putra dan Anyelir sedang bercinta di ranjang. Dadanya semakin sesak saja.
Isma berjalan masuk. Yumi menunggu diluar—walau sudah bekerja dengan keluarga Arkana hampir 20 tahun, ia tidak pernah berani ikut campur urusan pribadi keluarga Arkana secara dalam.
Isma sama sekali tidak berteriak, cukup tenang diluar tapi ada badai yang sangat mengerikan terbentuk di dalam dirinya. Kedua tangannya terlipat angkuh di depan dada. Ia duduk di sofa dengan tenang.Â
Bion dan Anyelir belum menyadari kedatangan Isma, tapi saat Anyelir akan berpindah posisi ke atas tubuh Bion ...
"Astagaaa!!" Anyelir berteriak tegang. Ia refleks mengambil kain apa saja yang bisa diraihnya untuk menutupi tubuhnya yang telanjang.Â
Walau belum dikenalkan secara resmi dengan wanita tua yang duduk angkuh di depan sana, ia tahu betul siapa wanita itu.
Nyonya Isma Arkana. Ibu kandung kekasihnya, Bion Arkana Putra.Â
Bion yang mendengar teriakan panik Anyelir langsung bangkit dari tidurnya.Â
"MAMA!!" suaranya tidak kalah melengking dari Anyelir. Bion panik setengah mati.Â
Apa-apaan sih Mamanya itu! Sialan! Malu-maluin!
Padahal Isma hanya diam saja, lho. Tidak melakukan apa-apa, tapi kenapa dua insan yang sedang dimabuk cinta itu jadi kalang kabut?
Bion dengan panik memakai pakaiannya dengan asal. Burungnya ikutan panik juga dan membuatnya mengkerut kesal.Â
Sedangkan Anyelir karena pakaiannya tidak tahu dimana rimbanya dan selimut yang biasanya tergeletak begitu saja tiba-tiba menghilang … Bion dengan sigap melempar kain taplak meja yang ada dilantai kepada Anyelir.Â
Sedang asik-asiknya melihat ke kalang kabutan mereka berdua, tiba-tiba saja ponsel Isma berdering.
"Hallo, Pah?"
Deg!
Mendengar suara mamanya yang dibuat kencang, membuat Bion yang sedang membantu Anyelir melilitkan taplak meja langsung berlari mendekati Isma. Duduk bersimpuh disana. Matanya berkedip-kedip takut, memberi isyarat untuk tidak memberitahu kejadian ini.
"Oh, Mama sedang bersama Bion, Pah."
Wajah Bion menegang. Keringat yang muncul bukan lagi keringat hasil percintaan hebohnya dengan Anyelir, tapi hasil dari kecemasannya. Takut jika mamanya akan memberitahu Papa.
"Dengan siapa lagi?"
Bion menggeleng, meminta pengertian Isma. "Mah, please, tolong aku sekali ini saja."Â
"Oh, hanya ada Mama, Yumi dan ..."
"Mah?" Bion mengiba lagi.
"Makanan, kita sedang makan-makan, Pah." Isma tersenyum lembut tapi matanya menatap murka ke putranya.Â
"Papa mau kesini? Boleh silahkan. Sekalian saja menginap, bagaimana?"
Bion langsung melemas— ia melihat Anyelir yang masih berdiri mematung di pinggir ranjang. Keadaannya berantakan sekali. Mirip nenek lampir yang baru saja diserang.
Isma mematikan teleponnya.
Bion menghela napas panjang— berdiri dari duduknya. Melihat Isma sekilas lalu melihat Anyelir. Ia lebih memilih mendekati Anyelir daripada meredam badai didalam hati mamanya.Â
Isma yang tidak ditanyai sama sekali oleh putranya itu beranjak dari duduknya, dan akan meninggalkan kamar Bion.
"Mah?"
Isma tidak berhenti. Ia tetap berjalan. Mengacuhkan panggilan Bion.
"Mah!!" Bion terpaksa berteriak, tapi Isma tidak peduli. "Apa susahnya menerima hubunganku dengan Anyelir, Mah?! Dia gadis baik-baik," ucapnya dengan lantang.Â
"Mah! Dengarkan aku bicara dulu. Jangan pergi, mah!"
***
Salam
Busa Lin