#Part3
"Assalamu'alaikum, baby Arum. Bangun sayang!
Nggak sopan menyambut tamu, sambil tidur begitu, Nak."
Ucapku, sedikit bercanda.
Terus terang, rasa malu itu masih ada direlung hatiku. Sengaja aku tak melihat ekspresi mereka, begitu melihat wajah putriku.
Aku tak tau, ekspresi apa yang mereka tunjukkan, saat pertama kali melihat fisik bayiku yang cacat ini.
"Hmm...
Silahkan duduk, ibu-ibu!"
Ucapanku memecah kesunyian, yang tercipta beberapa saat. Entah apa yang ada di masing-masing benak mereka. Yang jelas, tak ada suasana kemeriahan seperti biasanya kami saat menjenguk bayi. Aku faham betul kondisinya. Dan, aku harus tegar dan kuat menghadapi kondisi apapun itu.
"Eh, i.. Iya..
Mari ibu-ibu!"
Ajak Bu Yayuk. Barulah mereka duduk di karpet yang sudah dipersiapkan oleh Mbok Darni, sebelumnya.
"Ya, beginilah keadaannya. Ibu-ibu lihat sendiri kan, fisik bayiku yang tak sempurna."
Aku tertunduk. Air mataku menetes, perlahan. Bu Yayuk bangkit dari tempat duduknya, dan langsung memelukku.
"Jangan nangis, Yas!
Mungkin fisik anakmu seperti ini. Tapi kita tidak tau kedepannya gimana. Siapa tau, kelak dia jadi seorang anak yang membanggakan kedua orang tuanya, dibanding anak yang punya fisik sempurna. Rahasia Allah tak ada yang bisa menebak, Yas."
Hiburnya, sembari menepuk lembut punggungku. Kata-katanya sejuk, memasuki relung hatiku yang nestapa.
Ibu-ibu yang lain juga berusaha menghiburku. Untuk sesaat aku merasa, ternyata tak seberat yang kubayangkan. Kalau kita ikhlas, pasti Allah memberi kemudahan.
Setelah para tamuku pulang, Mas Anton masuk dengan wajah kecewa.
"Puas, Yas?
Puas kamu mempertontonkan wajah bayi itu, dihadapan orang-orang?"
Hardiknya.
"Aku tak mempertontonkannya, Mas!
Aku hanya menyambut niat baik mereka, untuk menjenguk dan mendo'akan anak kita."
Aku membela diri.
"Apa?
Mendo'akan, kamu bilang?
Naif kamu, Yasmin!
Bukannya Mendo'akan, mereka pasti sedang mencemoohnya diluar sana."
Ucapnya, masih dengan suara yang meninggi.
"Jangan su'udzon kamu, Mas!
Kenapa sih, tidak mencoba berpositif tinking saja?"
Aku nggak suka dengan penilaiannya, yang belum tentu benar itu.
"Susah, Yas. Kamu pasti tak percaya, kalo aku baru saja mendengar ejekan mereka, begitu keluar dari rumah kita!"
Aku terhenyak dan terdiam, mendengar ucapannya.
Ya. Meski tak semua, aku tau persis watak sebagian ibu-ibu yang bermuka dua, dikomplek kami ini.
"Kenapa diam, Yas?
Kenapa tak kau teruskan pembelaanmu, terhadap mereka?"
Mas Anton memanfaatkan situasi diamku, untuk menyerangku.
"Ya, kamu betul, Mas!
Aku tau, hal itu bakal terjadi."
Jawabku, singkat.
Tangisku kembali pecah. Padahal, baru saja aku mendapat kekuatan. Sekarang sudah 'down' lagi.
Mas Anton, suamiku yang pada dasarnya bersifat baik ini, meraihku kepelukannya.
"Inilah sebagian yang kutakutkan, Yas. Anak kita hanya akan jadi bahan olok-olokan orang, setelah melihatnya."
Dia sudah kembali bersikap lembut, seperti biasa.
"Tadinya aku berpikir, mau sampai kapan kita menyembunyikannya, Mas?
Toh, lama-lama juga pasti terlihat oleh mereka."
Air mataku terus bercucuran.
"Entahlah, Yas. Rasanya seperti makan buah simalakama."
Ucapnya pasrah, sambil menyeka air mataku. Dia sudah kembali seperti Mas Anton yang kukenal. Bersikap hangat dan lemah lembut.
"Oaaa.. Ooaaa..!"
Tangis baby Arum memecah malam yang kian larut. Tak kuduga, Mas Anton sigap menghampiri dan menggendong putri kecil kami itu. Ajaib. Baby Arum berhenti menangis, dan tersenyum pada Papanya.
"Maafkan Papa yang sempat mengabaikanmu, Nak."
Bisik Mas Anton ketelinganya, sembari mencium pipinya yang agak lekuk kedalam.
Alhamdulillah ya, Allah. Batinku.
Aku terharu melihat pemandangan indah, didepanku ini.
Arum Melati Ardhani. Meski fisikmu tak sempurna. Mama yakin, kelak kamu tumbuh menjadi anak yang cerdas, Nak.
🍂 🍂 🍂 🍂
Hari berganti, bulan berlalu. Orang-orang datang silih-berganti menjenguk putriku. Aku sudah tak peduli. Entah mereka tulus, atau hanya sekedar mencari bahan, untuk tagline gosip harian mereka saja. Bahkan, aku dengan bangga menggendongnya, di acara Aqiqah dan penabalan namanya. Dia karunia Allah. Dia kebanggaanku. Tak ada yang mesti kumalukan dari dirinya. Termasuk keadaan fisiknya.
Mas Anton juga sama sepertiku. Dia sudah tak pernah mempermasalahkan kondisi fisik Arum. Malah, dia selalu pasang badan, setiap kali ada orang yang mengejek anak kami.
Aku sangat bersyukur. Setidaknya, kami seiringan dalam membesarkan Arum, putri kecil kami. Meskipun makin kesini, perbedaan Arum dengan anak-anak lain, makin mencolok.
Hari ini. Arum Melati Ardhani genap berusia dua tahun. Aku dan Mas Anton memutuskan untuk tak merayakannya. Sama seperti tahun yang lalu, selain karena masih pandemi, kami takut kalau fisik Arum, hanya akan jadi bahan ejekan saja.
"Selamat ulang tahun, Princess-nya Papa."
Mas Anton yang baru pulang kerja, memeluk Arum, sembari menyerahkan kado berpita pink yang manis. Aku dan Mbok Darni juga membawakan cake karakter Princess Sofia, kesukaan Arum. Arum terlihat sangat senang, sambil mengerjapkan matanya.
"Sekarang tiup lilinnya, sayang!"
Ucapku, sambil mengecup ubun-ubunnya.
Dengan dibantu aku dan Mas Anton, Arum meniup lilin bertuliskan angka "2" itu.
"Horee...!"
Arum bersorak, sambil bertepuk tangan. Tangis haru tak bisa kutahan. Kupeluk erat tubuh putri kecilku itu.
"Happy Birthday, sayang. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu, Nak."
Bisikku, lirih.
"Tapi, kado dari Mama dan si Mbok mana?"
Tanya Arum tiba-tiba, yang membuat kami saling berpandangan dan tertawa. Meski punya fisik yang kurang, Arum tumbuh sebagai anak yang cerdas.
"Oh, iya. Kadonya si Mbok ketinggalan dikamar. Bentar ya, Mbok ambilin dulu."
Ucap Mbok Darni, sambil pura-pura menepuk jidatnya.
"Kalau Mama?"
Arum beralih padaku.
"Hmm, kado Mama mana, ya?"
Aku pura-pura berpikir.
Dan...
"Hueeek...!"
Rasa mual tiba-tiba menyerangku. Aku langsung berlari ke kamar mandi.
"Sepertinya ini kado istimewa yang akan kamu berikan pada Arum, Yas."
Tiba-tiba Mas Anton sudah berdiri didepan pintu kamar mandi, sambil tersenyum penuh arti.
🍂 BERSAMBUNG 🍂