008 Pengubah Wujud
Mata Anindira terbelalak sampai lupa berkedip dan terus menatap sosok Jaguar hitam yang tiba-tiba berubah menjadi manusia yang sedang memeluk pinggangnya.
Sayangnya, lagi-lagi Anindira kembali dikejutkan oleh pemandangan tidak biasa. Sosok Jaguar besar sudah tidak ada lagi di hadapannya. Tapi sekarang berganti dengan sosok pria gagah yang...
BUGIL!
''Hati-hati!... Awas kau bisa terpeleset, tempat ini sangat tinggi!'' serunya memperingatkan Anindira dengan wajah datar dan dengan lembut dia menarik Anindira membawanya ke tempat yang lebih aman.
Mata Anindira semakin melotot. Dia sangat terkejut, bingung, malu, syok, kaget, semua jadi satu di benaknya sekarang.
Pemuda itu dengan santainya mengambil pakaiannya yang tergeletak dan mengenakannya kembali. Dia berjalan ke arah Anindira, kemudian merangkul pundaknya,
Etika sudah terlupakan dari otaknya saat ini. Dia menatap sosok vulgar di hadapannya tanpa berkedip dan justru semakin serius menatapnya.
''Tu-tu-tu-tu-tuan... Ja... Jaguar?!??'' seru Anindira terbata-bata sambil jarinya terus menunjuk ke pemuda itu.
Anindira masih kebingungan dengan beragam tanya di hati dan pikirannya meski kakinya berjalan mengikuti pemuda itu. Dia menurut saja dibawa oleh pemuda itu. Kepalanya terus saja bolak-balik mendongak melihat ke arah pemuda itu, lalu lurus ke depan, kemudian menunduk ke bawah, berulang kali. Dia masih syok dengan apa yang dilihatnya tadi. Dia belum bisa mengalihkan pikirannya dari pemandangan luar biasa barusan yang hanya beberapa detik.
Anindira masih syok, tapi rasa ingin tahunya lebih besar. Dia ingin segera memecahkan misteri yang baru saja dilihatnya tadi.
''Huft,'' dengus pemuda itu. Dia merasa sedikit frustrasi dengan keadaan sekarang, ''Aku sama sekali tidak tahu apa yang kau katakan...''
''Hah, kau bilang apa?!'' pekik Aninidra menjawab keluhan pemuda itu, ''Ah, lupakan itu, jawab dulu ini! Itu... Tadi... Aduh... Bagaimana bilangnya?... Tadi... Barusan, tuan... Tuan tadi berubah wujud... Jadi jaguar... Eh, bukan, dari jaguar ke manusia!... Eh, lah!!... Sama saja, kan... ADUH!!!... Bagaimana sih, ngomongnya?!''
Anindira heboh sendirian dengan ucapanya berikut gerakan kacau dari tangannya yang mencoba memperagakan apa yang sedang diucapkannya.
Anindra dibuat frustasi sendiri dengan berbagai pertanyaan dan pemikirannya yang tidak bisa tersampaikan. Membuatnya semakin kesal karena dia tidak bisa berkomunikasi dengan baik pada pemuda itu.
''Sebetulnya, apa yang sedang ingin kau katakan?!'' jawab pemuda itu setelah melihat Aninidra yang kelelahan dengan kehebohan yang dibuatnya sendiri, ''Semalam kau menangius tersedu-sedu, tapi sekarang kau malah sangat berisik. Apakah suasana hatimu sudah baik sekarang?''
Anindira menatap pemuda itu dengan serius, dia ingin fokus padanya. Berharap, dengan begitu dia bisa berkomunikasi dengannya meski hanya sedikit.
Pemuda itu juga ikut memperhatikan Anindira dengan serius. Aninidra masih menunjukkan ekspresi bertanya di wajahnya tapi kali ini dia mantap ingin memahami cara supaya bisa berkomunikasi dengan pemuda itu.
''Hm,'' tiba-tiba pemuda itu tersenyum. Dan, tentu saja hal itu malah membuat Anindira takjub karena senyumnya terlihat manis mempesona, ''Ada apa?'' tanya pemuda itu dengan nada datar tapi jantungnya berdebar karena tatapan Anindira, ''Kenapa melihatku begitu? Kali ini apa yang kau pikirkan?''
Tanpa menyadari kalau pemuda di hadapannya sedang berdebar, Anindira dengan polosnya terus menatapnya dengan mata berbinar. Dia menantikan reaksi baru darinya berharap dengan begitu dia bisa mengetahui sesuatu meski hanya dengan membaca ekspresinya saja.
Bukan hanya Anindira yang terpesona. Ternyata Anindira yang takjub terpesona dengan senyum menawan pemuda itu, tanpa sadar senyum manis juga terukir di wajah Anindira. Pemuda itu kikuk sekaligus juga kaget merasakan degup jantungnya yang berpacu untuk gadis manis di hadapannya.
''Brengsek!'' seru pemuda itu memekik dengan nada kesal, ''Huft...'' pemuda itu mendesah lalu segera mengambil nafas untuk menenangkan diri, ''Hei, kau dan aku harus segera saling mengerti satu sama lain... Kau sendirian di hutan, aku menolongmu, aku jelas punya hak atas dirimu. Tapi... ini benar-benar membuatku sesak karena aku harus menahan diri. Aku sendiri bingung kenapa aku merasa kalau aku akan menyakitimu jika aku berpasangan denganmu sekarang...''
Anindira yang tidak tahu apa yang sedang dikeluhkan pemuda itu terus menatapnya. Dia berusaha keras mengerti maksud pemuda itu meski hanya emosinya.
''Ada apa?... Dia tampak kesal tadi tapi sesaat kemudian dia mengambil nafas dalam... apa aku melakukan sesuatu yang buruk hingga dia bersikap seperti itu?!... Maafkan aku, tapi kumohon bersabarlah sedikit... Aku sangat tidak enak karena menyusahkanmu tapi aku tidak punya pilihan... Aku manusia yang masih punya semangat tinggi untuk tetap hidup jadi meski tidak tahu malu... aku akan bergantung padamu...'' gumam Anindira di dalam hati sambil terus menatap pemuda itu.
KRRUUKK
Tiba tiba terdengar gemuruh yang datang dari perut Anindira.
Anindira langsung terdiam, dengan mata sedikit melotot, refleks tangannya memegang perut. Lima detik kemudian perutnya kembali berbunyi, membuatnya makin kuat menekan perutnya karena merasa malu.
Moment canggung yang romantis itu buyar oleh suara perut Anindira.
''Lapar?'' tanya pemuda itu sambil mengangkat alisnya.
Anindira tidak menjawab, sama seperti sebelumnya, dia memandang pemuda itu dengan wajah bertanya.
''Lapar?!''
Pemuda itu bertanya sekali lagi, kali ini sambil menunjuk ke perut Anindira.
Anindira terdiam sejenak, dan akhirnya mengerti maksud pemuda itu.
''Sudahlah, tidak perlu malu!'' begitu pikirnya, ''Biar saja, aku juga tidak mungkin bisa cari makan sendiri di tempat seperti ini. Malu seperti ini tidak ada apa-apanya jika dibanding harus mati kelaparan.''
''Hehehe...'' tawa bodoh Anindira kembali terlihat, ''Iya, la-par... '' ucap Anindira mengikuti ucapan pemuda itu sambil mengangguk dan cengengesan.
Alis pemuda itu terangkat mendengar Aninidra mengulangi ucapanya meski sedikit terbata. Hal itu membuatnya senang, dia kemudian berdiri dengan ekspresi gembira.
Saat pemuda itu bangun, Anindira juga segera bangun mengikutinya.
''Kamu tunggu di sini!'' seru pemuda itu perlahan seperti mendikte sambil sedikit memperagakannya agar Anindira paham maksudnya, ''Aku akan cari makanan untukmu, jangan takut, aku tidak akan jauh darimu! Yang penting, kau harus berhati-hati pada pijakanmu... kau mengerti?!''
Sempat tertegun tapi Aninidra mengangguk menanggapi ucapan pemuda itu meski Anindira hanya memahami sedikit dari apa yang diucapkannya.
Anindira menurut dan kembali duduk. Lalu pemuda segera pergi, lincah menuruni pohon meninggalkan Anindira sendirian menunggu di atas pohon.
''UWAH!'' pekik Anindira setelah bisa melihatnya dengan jelas sekarang, ''Tinggi. Kalau jatuh dari sini, langsung jadi 'ayam geprek' nih.''
Menunggu sendirian tanpa banyak hal yang bisa di lakukan olehnya tentu saja membuatnya bosan.
''Dia pergi ke mana ya?''
''Aku di tinggal sendirian begini...''
''Mana di atas pohon lagi!''
''Kenapa harus di atas pohon? 'Kan kalau begini jadi tidak bisa ke mana-mana...''
Anindira terus saja bergumam berusaha menghabiskan waktu yang membosankan.