Angin musim dingin yang tidak ramah terasa menggigit kulit, dinginnya menyebar hingga ke seluruh penjuru ruang persemayaman yang didominasi warna hitam obsidian.
Hitam memang gelap, sarat akan makna duka dan kesedihan.
Suasana tempat persemayaman jenazah istri dari pebisnis sukses itu terasa hening, tak ada awak media, dan tak banyak pelayat yang datang. Gabriel hanya membuka pintu bagi orang-orang tertentu. Dia tidak mau banyak berita tak valid beredar, dia tak mau ada yang mengambil gambar dirinya dan sang putri, mengekspos kesedihan mereka sebagai konsumsi publik. Jauh sebelum ini, Gabriel memanglah sosok yang bisa dibilang antisosial. Dia tidak suka keramaian, dan berusaha selalu menghindar selama yang ia bisa. Dia tidak memercayai siapapun, kecuali dirinya sendiri dan Alicia Houston, istri tercintanya.
Gabriel Dviosa, pengusaha muda yang baru saja menduduki puncak karir. Bisnis yang ia kembangkan meroket pesat. Namun, nyatanya memang tak ada kehidupan yang sempurna. Hanya selang beberapa tahun menjalani pernikahan dengan wanita yang sangat ia cintai, kini dia harus rela kehilangan sang istri dalam sebuah insiden tragis yang tak terelakkan.
Alicia, wanita yang memegang kendali atas seluruh hatinya, kini terbujur kaku di dalam peti kayu berwarna coklat dengan ukiran bunga.
Kulit putihnya tampak pucat dan terasa dingin. Seulas senyum sebelum ia menghembuskan nafas terakhir, masih terukir di wajahnya yang cantik.
"Dia tak terlihat seperti telah tiada, tapi seperti sedang tertidur," celetuk Esme, berbisik pada Francis. Lelaki tua berambut abu-abu itu mengangguk, tangan kanannya sesekali menyeka air yang meleleh dari sudut matanya.
Sudah dua jam lamanya, Gabriel Dviosa berdiri di depan peti mati sang istri. Tak ada air mata yang keluar, lelaki itu terlihat begitu tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang sedang berduka. Beberapa pelayat yang datang bahkan tanpa sungkan berbisik tentangnya. Mereka menyangka ia tidak sedih akan kematian Alicia.
"Sepertinya Tuan Dviosa tak merasa kehilangan istrinya, lihat dia begitu tegar dan tak menangis."
Namun, dia tak peduli. Biarkan mereka berasumsi sesukanya.
"Tuan, upacara penutupan peti, harus segera dilaksanakan," bisik salah seorang dari organizer yang mengurus upacara kematian Alicia.
Gabriel terkesiap, ia lupa sudah berapa lama ia tertegun menatap tubuh kaku sang istri yang telah tak bernyawa itu.
"Ya?" tanggapnya setengah bertanya.
"Kalau anda sudah siap, tentunya," lelaki muda itu meneruskan ucapannya.
"Baiklah," kata Gabriel. Ia kembali menatap jenazah Alicia, dalam hati ia sedang memaki dan menyalahkan dirinya atas kematian sang istri.
"Elora menangis, Tuan, kami sudah berusaha menenangkannya tapi dia tetap ingin bersama ibunya." Julia, baby sitter dari putrinya yang baru berusia lima tahun.
"Baiklah, aku akan segera kesana," ucap Gabriel, ia kemudian beranjak meninggalkan tempat persemayaman, yang terletak tak jauh dari rumah utama miliknya.
"Esme, aku harus pergi sebentar. Elora mencari ibunya—"
"Tuan, biar aku saja—" Esme menatap pria berjas hitam itu dengan tatapan iba. Ia tahu betapa berat hal ini bagi Gabriel. Terlebih jika mengingat betapa keras perjuangan yang harus mereka lalui agar bisa bersatu. Namun, ternyata kebahagiaan mereka tak berlangsung lama.
"Tidak, Esme. Dia memerlukan ku, tolong temui para pelayat, aku akan segera kembali."
"Baiklah," katanya dengan suara berat dan dalam.
Gabriel pun segera berjalan melalui koridor belakang, yang menghubungkan rumah persemayaman dengan rumah utama.
"Mana ibu? Aku mau ibuku! Aku tidak mau kalian semua!" Elora berteriak, sembari menangis sesenggukan. Gadis kecil itu menolak untuk makan dan mandi. Dia masih mengenakan piyama, dan dia sama sekali tak menyentuh segelas susu yang telah dibuatkan para pengasuhnya yang berjumlah tiga orang.
"Ayolah Elora, kita harus segera bersiap-siap sayang," rayu salah satu dari pengasuh.
"Bersiap?! Memangnya kita akan kemana?"
"Hari ini adalah ulang tahunku, dan ibu berjanji akan mengijinkan ku untuk tidak ke sekolah. Bukankah itu berarti aku tidak perlu mandi sekarang?!" Elora yang pintar bisa membuat siapa saja kewalahan. Dia begitu pandai jika diajak berdebat, sehingga para pengasuh harus pintar-pintar membuatnya mau menurut.
"Sayang, kau harus mandi," sahut Gabriel.
"Ayah!" Gadis kecil berambut coklat dan memiliki mata seindah ibunya itu langsung berteriak memanggil saat melihat sang ayah telah berdiri di depan pintu kamar memerhatikannya.
"Elora, apa kabar sayang?" Gabriel berjalan mendekati ranjang berwarna pink milik putrinya.
Gadis kecil itu dengan cepat meraih lengan sang ayah dan meminta untuk digendong.
"Ayah, ibu dimana?" Rengek Elora.
Gabriel mengerjapkan mata beberapa kali, ia coba menghalau air yang akan merosot keluar dari pelupuknya.
"Elora Sayang, bagaimana kalau kau mandi dulu, sebelum bertemu ibu?" Gabriel mengecup dahi gadis kecil cantik itu. Senyum yang terulas di bibirnya hanyalah kamuflase untuk menutupi betapa remuk redam hatinya saat ini.
Gadis kecil polos itu mengangguk patuh pada perintah sang ayah. Gabriel lalu meminta salah satu pengasuh untuk membawa Elora ke kamar mandi dan membantunya membersihkan badan.
"Apa kau yakin akan mengajak Elora untuk melihat ibunya sebelum peti ditutup?" Seorang wanita yang selama ini sangat dekat dengannya, Catherine, sekretaris yang sudah ia anggap sebagai bagian dari keluarganya.
"Cath, haruskah aku membohongi Elora tentang keadaan sebenarnya? Apakah aku harus merenggut kesempatannya melihat sang ibu untuk yang terakhir kalinya?" Gabriel tampak emosional. Wanita di depannya, sangat paham akan keadaan yang kini sedang ditanggung oleh Gabriel.
"Ya, kau benar, tapi apa Elora akan bisa menerima semua ini?" Cath coba memberi pertimbangan.
"A—aku tidak tahu," untuk pertama kalinya Cath melihat pria kuat dan teguh pendirian itu terlihat tak yakin dengan keputusannya sendiri.
Cath masih setia menemani Gabriel di depan kamar Elora.
"Tuan," Suara Francis memecah keheningan.
"Ya?"
"Nona Selena datang, dia ingin mengucapkan belasungkawa sekaligus ingin bertemu dengan anda," jelas Francis. Pria itu berbalik, "baiklah aku akan segera kesana," katanya. Francis mengangguk lalu kembali ke rumah duka.
"Pergilah, Tuan. Aku yang akan menjaga Elora," kata Cath seraya memandang lelaki di depannya penuh makna.
***
Gabriel menatap peti mati yang berhias bunga-bunga itu. Hatinya terasa tersayat tiap kali ia mengingat saat-saat terakhir wanita yang ia cintai.
"Jagalah anak kita." Air mata mengalir di pipinya, terbatuk-batuk ia meneruskan ucapannya.
"Apa yang kau bicarakan, Alice. Kita akan segera sampai di rumah sakit."
"Aku sudah tidak kuat lagi, Gab. Rasanya sakit sekali."
"Kau pasti bisa menahannya, aku janji akan melakukan apapun yang kau mau termasuk memakai pakaian badut ketika Elora ulang tahun nanti."
"Kalau aku pergi, kau harus menikah lagi. Elora masih membutuhkan sosok ibu, carilah wanita yang baik untuk menjadi ibunya."
"Jangan mengatakan hal yang tidak masuk akal, kau tidak akan pergi kemanapun. Kau akan terus bersama ku." Gabriel berusaha keras menekan bekas luka tikaman di perut istrinya.
"Aku memang tidak akan kemana-mana, tapi sepertinya aku tidak akan bisa menyentuhmu lagi seperti dulu."
Hanya selang beberapa detik setelah mengatakannya, Alicia tidak bergerak ataupun bernafas lagi. Tubuh hangatnya perlahan menjadi sedingin es, bibirnya membiru, dan darah yang mengalir dari perutnya pun berhenti, ikut membeku.
"Alice bangunlah! Ku mohon bangunlah, sayang!"
"Elora menunggu kita!" Gab tak lagi dapat menahan tangisannya.
"Pak, apa jarak rumah sakit masih jauh?!"
"CEPATLAH SEDIKIT!"
Gab berteriak-teriak meminta supir dan para penyelamat untuk membawa tubuh kaku sang istri menuju rumah sakit secepatnya. Meski ia tahu, semua orang yang berada di dalam mobil itu tahu, bahwa Alicia telah benar-benar meninggal. Tak ada tanda vital di tubuhnya yang bersimbah darah, ia terlalu banyak kehilangan darah. Dua tikaman yang dilakukan orang tak dikenal itu telah membuat luka dalam dan kemungkinan besar melukai organ vital Alicia.
"Tuan!" Francis memanggilnya, membuat kesadaran Gab kembali.
"Nona kecil sudah disini," bisik Francis.
Gab memutar pandangan, matanya menatap miris kepada gadis kecil yang memakai gaun hitam selutut, tangannya memeluk erat boneka kelinci berwarna putih.
"Ayah, dimana ibu?" tanyanya polos.