Soal-soal ujian yang kuhadapi di ITB sama persis (setidaknya seingatku) dengan ujian di siklus pertama. Meskipun begitu, aku tidak lagi dapat menyikapinya seperti saat zaman SMA. Saat SMA, semua soal begitu mudah, ingatanku akan kehidupan sebelumnya dapat kuandalkan untuk memperoleh nilai sempurna.
Kali ini tidak.
ITB terlalu sulit untuk ditaklukkan. Indeks Prestasiku memang melampaui angka tiga di semester pertama, tapi itu kudapatkan dari perjuangan yang cukup keras.
Semester pertama di ITB telah usai. Liburan pun tiba. Kami merayakannya dengan bermain playstation sepanjang malam. Hingga kini aku belum menceritakan kepada Starla tentang kekayaanku. Ia hanya tahu bahwa aku pemegang lisensi pesawat terbang.
Hanya itu.
Kuberikan umpan lambung, dan kusundul bola hingga menembus gawang.
"Yes! 2-0!" kataku.
"Ah!" Starla menaruh stick Playstationnya.
"Kamu masih harus latihan,"
"Tapi aku nggak nyangka lho kalau sepakbola seseru ini,"
"Udah kubilang kan? Pasti ketagihan,"
"Mau minum?"
"Makasih,"
Starla mengambilkan minuman. Tante Ina sedang berada di lantai atas, mengurus surat-surat pajak.
Hari ini hari Natal. Tidak terasa kami bermain playstation hingga larut.
"Menginaplah di sini, Ferre," tawar Tante Ina.
"Iya, nginep aja," timpal Starla.
"Boleh ya Tante?"
Akhirnya aku pun menginap, menghabiskan malam di sofa ruang keluarga Starla. Paginya aku bangun, dan berolahraga.
Tante Ina membuat nasi goreng untuk sarapan. Sekitar pukul delapan kami sudah bersama di ruang makan. Suara televisi masih terdengar dari ruang tengah.
Lalu tiba-tiba acara musik yang ada terhenti. Sebuah Breaking News yang menyelanya.
"Pemirsa, telah terjadi bencana tsunami yang melanda Daerah Istimewa Aceh..."
Aku tersedak.
"Re, kenapa?" Starla yang duduk di sampingku menepuk-nepuk punggungku.
Sebelum kujawab pertanyaannya, aku telah terlebih dahulu menghambur ke ruang tengah.
Begitulah yang terjadi. Televisi menyiarkan liputan langsung dari Aceh. Rumah-rumah yang porak-poranda. Kota yang hancur lebur. Mayat bergelimpangan.
Aku termenung.
Starla dan Tante Ina menyusul ke ruang tengah.
"Ferre, ada apa?" Tante Ina yang bertanya.
"Ya Tuhan..." Starla menatap layar televisi.
Aku hanya diam, mematung.
Starla dan Tante Ina pun ikut memandangi televisi. Tapi yang mereka rasakan tentu berbeda denganku. Mereka syok, itu pasti. Bagaimana tidak, tayangan berupa bencana yang menelan nyawa ribuan orang tentu bukan hal yang akan membuat seseorang terhibur.
Tapi pasti yang mereka rasakan tidak sama denganku.
Aku ada di sini. Tidak, di dunia ini, berapa lama? Sejak berulangnya kehidupanku, sekitar lima belas tahun?
Dan yang kulakukan adalah menumpuk kekayaan serta membalas dendam akan kegagalanku di masa lalu.
Sama sekali tidak kuingat tentang bencana ini. Sama sekali tidak. Bahkan untuk sebatas terbersit di benakku.
Aku berjalan kembali ke meja makan dengan gontai. Usai sarapan, aku minta diri untuk pulang. Starla mengantarku ke gerbang seperti biasa.
"Kamu kenapa?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Syok karena Aceh?"
"Begitulah,"
"Ada keluargamu di sana?"
Aku menghela napas panjang dan perlahan menghembuskannya.
"Suatu saat akan kuceritakan. Sekarang aku hanya perlu menenangkan diri,"
"Baiklah, hati-hati di jalan ya,"
"Makasih, Star. Aku telpon nanti ya,"
"Iya."
Aku pulang, sambil pikiranku tetap melayang. Seoportunis itukah aku?
Hari-hari berikutnya aku bermimpi tentang semua orang mengejekku. Mereka mencibir keegoisanku. Seharusnya aku bisa, aku bisa mencegah bencana itu.
Seharusnya...
Beberapa hari berlalu, aku dan Starla hanya berkomunikasi lewat SMS. Tidak ada pembicaraan tentang apa yang terjadi di pagi tsunami. Aku pergi ke kampus setelah Starla mengabari bahwa ia harus pergi sendiri pagi-pagi untuk menyerahkan laporan akhir praktikumnya.
Pukul sebelas kucapai kampus dan kucari Starla di Departemen Kimia. Kudapati ia sedang melihat-lihat papan pengumuman.
"Hai," sapaku.
"Eh, hai," Starla tersenyum.
"Bukannya minggu lalu udah lihat nilai?"
"Iya, ini buat semester depan, siapa tahu ada pengumuman praktikum,"
"Oh. Hmm, Star..."
"Ya?"
"Aku mau minta maaf soal pagi itu di rumah kamu,"
"Minta maaf?"
"Iya, habis tsunami itu. Aku rasanya nggak enak sama sikapku,"
"Re," Starla tersenyum. "Kamu ngapain minta maaf? Itu memang tragedi, dan aku melihat kamu syok seperti itu, malah aku bangga. Artinya kamu sangat punya jiwa sosial yang tinggi. Kamu begitu peduli sama penderitaan orang lain,"
Andai kamu tahu kenapa sebenarnya aku syok.
"Makasih, Star,"
Starla memelukku, aku balas memeluknya.
"Udah makan siang?" tanyaku.
"Belum, yuk?"
"Kita belum pernah ke kantin tambang kan?"
"Eh iya ya? Padahal udah dari tengah semester ada,"
"Makanya, ayo,"
"Ayooo!"