Chereads / The Time Replayers / Chapter 27 - 27

Chapter 27 - 27

Masa-masa kelas tiga yang indah bersama Mujiwati telah berakhir. Kenaikan kelas kami ke kelas empat meninggalkan pengalaman yang tidak terlupakan. Pengalaman yang belum pernah kualami sebelumnya.

Mujiwati yang begitu berbeda.

Tidak jarang aku mengunjungi rumahnya untuk menanyakan kabar. Baru kuketahui bahwa ia adalah penggemar bulu tangkis sehingga seringkali aku menemaninya bermain.

Ya, Bulu Tangkis adalah olahraga yang sangat populer di masa ini. Hampir di setiap jalanan komplek perumahan ada orang yang memainkannya. Baik anak-anak, lalu asisten rumah tangga yang menunggu tuan rumahnya pulang, atau gabungan keduanya. Olahraga ini cukup bersaing dengan sepakbola jalanan.

Betapa tidak, masa keemasan Bulu Tangkis Indonesia memang sedang jaya-jayanya.

Atlet seperti Susi Susanti, Mia Audina, dan Alan Budikusuma adalah nama-nama yang sering menghiasi layar televisi. Popularitasnya menyaingi berita-berita Liga Italia. Pada masa ini, Piala Thomas dan Uber selalu berada di Indonesia.

Seperti di kehidupan pertamaku, anak-anak membicarakan saat Mia Audina terkalahkan di final kejuaraan. Kupikir seluruh Indonesia membicarakan dirinya. Sambil bermain bola kertas saat guru tidak ada, sepanjang hari nama Mia digaungkan.

Saat ini aku telah memasuki kelas 4.

Pada siklus kehidupanku yang pertama, aku sudah mengetahui bahwa orang-orang seperti Rendy, Gacok, dan mereka yang bertindak sebagai jawara-jawara kelas, adalah tipe manusia yang akan diam jika diberikan hal yang mereka inginkan.

Di masa aku duduk di kelas empat ini, karier Papa dan Mama sudah menanjak. Dulu aku mendapat uang jajan yang lebih besar dari rata-rata temanku. Karena itu sekali-sekali kelebihan uang jajanku itu kupakai mentraktir Rendy dan Gacok. Hasilnya, mereka bersikap sangat manis dan baik kepadaku usai ditraktir. Itu bisa berlangsung satu atau dua hari. Di hari ketiga, mereka kembali melakukan bullying kepadaku.

Istilahku kali ini, dopping-nya sudah habis.

Kami yang duduk di sekolah dasar, kebanyakan bisa membeli mainan Saint Seiya yang terbuat dari plastik di penjualnya yang menggunakan gerobak sebagai alat berdagang. Harganya hanya empat ratus rupiah. Tentu berbeda kualitas dengan mainan produksi Bandai yang hampir menyerupai aslinya. Bahkan jubah Ksatria Emas pun berwarna seperti emas asli, setidaknya itu sugesti kami.

Papa membelikanku mainan itu hanya satu kali dalam setahun. Ketika sedang mujur, mungkin bisa dua kali. Bisa dimaklumi karena harga satuannya mencapai seratus ribu rupiah.

Dengan uang honor cerita pendekku sekarang, aku bisa memelihara kesetiaan teman-teman. Cukup kubelikan mainan dengan harga belasan ribu, mereka akan menurut kepadaku selamanya.

Aku pun menjadi penyerang utama dalam setiap kesempatan kami bermain sepakbola, karena sogokanku tersebut.

Di siklus pertamaku? Diajak ikut main pun tidak. Aku hanya diajak jika jumlah orangnya kurang.

Otomatis aku menjadi pencetak gol yang produktif. Keahlian mahal yang baru kudapat saat memasuki masa SMA bisa kupraktikkan di masa ini. Sudah jelas bahwa popularitas seseorang di SD tergantung dari keahliannya bermain sepakbola (dan berkelahi).

Aku menguasai kedua hal itu. Sepakbola dari hasil mempelajari teknik Christian Vieri, Ronaldo Luiz, dan Cristiano Ronaldo. Juga kehebatan berkelahi dari keahlianku di bidang Karate dan Tae Kwon Do yang kupelajari saat sekolah menengah. Semua kuperoleh menjelang usia dua puluh tahun, sebelas tahun dari sekarang.

Yang lebih hebat lagi, aku kini telah menjadi Ketua Murid. Jabatan ini memberiku kekuasaan yang sangat besar. Ketika kelas sedang gaduh, aku tinggal berteriak "Yang ribut akan dicatat dan dikasih ke Bu Ami!" kataku sambil membawa nama sang wali kelas.

Maka anak-anak akan langsung diam, patuh, cukup lama. Sekitar sepuluh menit. Setelah itu mereka kembali gaduh.

Reaksiku hanya tersenyum.

Rasanya aku seperti menjadi wali kelas, atau malah sedang menjadi penjaga day care. Biarpun aku sadar bahwa mereka ini sebaya denganku.

Dua puluh tahun dari sekarang, mereka sudah memiliki karier yang cukup cemerlang. Beberapa di antara mereka sudah menjadi pejabat di kantornya masing-masing. Begitu juga denganku. Tapi saat ini, aku adalah satu-satunya orang dewasa di tempat ini.

Berapa usia Bu Ami?

Mungkin belum tiga puluh.

Tapi usiaku tiga puluh empat!

Artinya sebenarnya Bu Ami sekalipun masih kalah senior dibandingkan dengan diriku.

Di kelas 4 ini, aku tetap mengikuti pelajaran tambahan yang diadakan oleh Bu Ami, seperti halnya kehidupan pertamaku. Pelajaran tambahan tersebut diadakan di rumahnya.

Kupikir kami di usia sekarang masih terlalu polos untuk mempertanyakan sesuatu. Tidak ada teman yang mempertanyakan kenapa mereka yang sudah sedemikian cerdasnya tapi harus ikut pelajaran tambahan. Selain karena harus membayar, pelajaran yang diberikan juga sama persis dengan pelajaran di sekolah.

Di akhir sesi pelajaran tambahan, Bu Ami biasa memberikan nilai sempurna untuk setiap pekerjaan kami. Kupikir, apa yang istimewa?

Toh semua soal itu dibahas bersama.

Walaupun demikian, setiap orang menerimanya dengan suka cita. Terlepas dari mereka mengerti atau tidak bahwa nilai sempurna yang mereka peroleh di pelajaran tambahan adalah semu. Tanpa kompetisi, tanpa perjuangan, pasti didapatkan.

Aku sendiri mengerti, karena aku sedang mengalaminya. Lima tahun sudah lamanya kuulangi kehidupanku, dengan cerita yang berbeda.

Cerita yang jauh lebih baik.

Karena baru saja aku menerima kabar bahwa pesawat B-250 telah lulus semua uji statik dan dinamik.

Untuk pesawat terbang, yang harus dilakukan sebelum diujicoba adalah uji ketahanannya dalam keadan diam (statik) dan bergerak (dinamik). Kedua hal tersebut telah berhasil dilakukan oleh B-250.

Ia bahkan telah beberapa kali melakukan ground run, yaitu berlari di atas landasan dengan mesin yang menyala. Selain itu, ia juga telah berhasil melakukan hopping atau melompat terbang setinggi lima meter selama beberapa detik, lalu mendarat.

Tidak lama lagi ia akan siap diterbangkan.