"Hebat, Ferre!" kata Papa mengacungkan jempolnya.
Aku tersenyum.
Semuanya telah dimulai.
Uang dua ratus ribu rupiah adalah hakku.
Sebenarnya aku heran karena mendapati diriku bahagia akan hal seperti ini. Di siklus kehidupanku yang pertama, aku biasa menerima gaji puluhan juta rupiah setiap bulannya.
Aku akhirnya meminta Papa dan Mama mengantarku ke Jakarta untuk mengambil hadiah. Bahkan kukatakan aku yang akan mentraktir ongkos mereka dengan uang hadiahku. Mereka menolak kubayari dan mengatakan kami akan ke Jakarta sekalian menengok Nenek.
Tiga pekan kemudian kami pergi menggunakan kereta api. Aku lupa bahwa perjalanan Bandung-Jakarta menggunakan mobil akan memakan waktu hampir satu hari di zaman ini. Sepanjang perjalanan, di atas rel kereta api kusaksikan pemandangan masa yang telah lampau. Sawah-sawah dan perkebunan yang membentang terlihat. Di beberapa tempat mulai dilakukan pembangunan. Ini adalah Indonesia di bawah pemerintahan yang telah lama berlalu.
Pemerintahan Orde Baru.
Orde masa pembangunan yang membuat mabuk kepayang.
Hasil pembangunan yang menggebu-gebu.
Slogan-slogan kesuksesan atas pemberantasan kemiskinan, menuju era tinggal landas, era pasar bebas, serta kesiapan menjadi negara industri.
Di sisi lain, semua kritik dianggap ingin memecah belah kesatuan serta merupakan isu yang menyesatkan. Pers tidak ada yang diperkenankan memberitakan aksi protes.
Masa ini telah terulang kembali. Kupandangi pemandangan di sepanjang perjalanan. Di luar adalah dunia di bawah pemerintahan Orde Baru. Dunia yang telah lama kutinggalkan.
Kami tiba tepat waktu dengan kereta yang mencapai stasiun Gambir. Setelahnya kami menaiki bajaj menuju Jalan Palmerah Selatan tempat redaksi Majalah Bobo. Aku duduk di pangkuan Mama sepanjang jalan menaiki Bajaj.
Sigit Waluyo namanya, ketua panitia sekaligus pemimpin redaksi yang menyerahkan hadiah utama kepadaku. Tak kusangka mereka juga mengganti ongkos kami ke Jakarta.
Setelah acara usai, kusorongkan sebuah amplop coklat besar kepada Sigit.
"Apa ini, Ferre?" katanya sambil menerima amplopku.
"Ini cerpen-cerpen tulisan saya. Jika berkenan, mohon bisa dipertimbangkan ya Pak,"
"Oh hebat sekali, baiklah, nanti Kakak baca dulu ya," katanya.
Papa dan Mama tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Tiga pekan lamanya kuhabiskan untuk menulis setiap cerpen yang kuingat. Hampir dua puluh cerita pendek ada di sana. Aku mengingat hampir semua cerpen yang kubaca di majalah Bobo selama kami berlangganan sejak tahun 1993 sampai akhirnya Papa memutuskan aku terlalu tua untuk berlangganan majalah itu sekitar akhir 1999.
Tentu saja Sigit akan mempertimbangkannya, dan benar-benar akan membacanya. Aku adalah juara umum, yang mengalahkan karya penulis seluruh Indonesia. Bisa saja di antara peserta yang mengirimkan naskahnya adalah orang-orang berusia mahasiswa atau bahkan lebih. Tapi yang kukirimkan adalah level juara tahun 1997, aku yakin jauh melebihi ekspektasi cerita di tahun ini.
Kami pulang ke Bandung, setelah sebelumnya kami ke rumah Nenek di Jakarta Selatan.
Aku dengan puas menghirup dalam-dalam udara Jakarta saat perjalanan ke rumah Nenek. Mana berani kulakukan itu di tahun 2020. Udara Jakarta tempatku sekarang cukup bersih, segar, meskipun masih tetap panas.
Sepekan kemudian aku menerima surat dari Sigit. Semuanya diketik.
Ferre Praditya ysh.
Halo, apa kabar? Tidak bosan-bosannya Kakak ucapkan selamat atas keberhasilanmu menjadi juara umum lomba cerpen Bobo. Kakak sudah membaca semua cerpen yang kamu berikan kepada Kakak. Ini luar biasa, Ferre! Kamu memang sangat berbakat!
Kakak ingin sekali menemuimu lagi. Yang jelas Kakak jamin bahwa cerpen-cerpenmu tidak ada tandingannya. Hanya saja mungkin akan Kakak selang-seling pemuatannya dengan cerpen lain. Kasihan juga penulis lain nanti tidak kebagian jatah. Terima kasih ya. Salam untuk Papa dan Mama.
Tertanda
Sigit Waluyo
Tawaku membahana, begitu keras.
Papa dan Mama masih di kantor sehingga hanya Mbok Jah yang melihatku dengan terheran-heran. Jika aku berusia sepuluh tahun lebih tua saja, orang pasti menganggapku gila. Biarpun demikian, aku tidak peduli.
Baby...it's beginning.
Baby, I run the world...