"Jika ada satu momen dimana kamu akhirnya merasa mulai membenci dirimu sendiri, maka itulah detik dimana bahkan dengan hidup dan bernafas saja dirimu terasa penuh dengan dosa. Hanya penyesalan dan rasa bersalah yang akan selalu mendampingi mu."
.
.
.
.
Baru kali ini aku menikmati hujan dengan cara yang tidak biasa. Di tengah taman kota dengan tanah rerumputan yang luas ini aku berbaring menghadap langit. maaf, nampaknya aku berbohong lagi. "Menikmati"? lebih seperti membiarkan tubuhku ini dihujani air dingin yang menusuk terus-menerus.
Aku tidak pintar, dan ini mungkin cara terbaik yang bisa ku pikirkan demi bisa mengalihkan pikiran ini. Dengan membuat badan mati rasa itu ide yang lumayan bagus bukan?
Ah, air mata ini tak henti-hentinya mengalir. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah senyum di wajah ku terus menyeringai. Mungkin aku sudah gila. Mungkin otak ku sudah konslet. Mungkin juga hati ini sudah lelah. Entahlah.
"Hei, seonggok manusia di sana. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kamu coba lakukan, tapi bisa tidak segera kau beranjak dari sana?".
Terkaget, aku sontak menoleh ke sumber suara yang tiba-tiba merusak irama tetesan hujan. Di arah sana kudapati seorang anak SMA yang duduk menyilangkan kaki nya sembari berteduh dibawah kanopi.
Sambil terus menatapku dengan ekspresi datar dan posisi wajah yang sedikit mendongak, aku mencoba duduk dari baring ku dan membalas tatapannya balik.
"Kenapa? Apakah orang gila jaman sekarang sudah tidak dapat berkomunikasi? Memandangi wajah orang tanpa berbicara itu tidak sopan tahu?"
"Dan kau pikir menganggap orang asing yang tidak kamu kenal adalah orang gila itu sopan?"
Aku sadar bahwa tidak ada gunanya meladeni ocehan bocah yang entah dari mana datangnya ini. Tapi demi apapun, cara dia berbicara dan menatap lawan bicara nya sungguh sangat membuat panas kepala ku.
Kalau ada istilah "cinta pada pandangan pertama", maka apa yang kurasakan ini akan kuberi nama "kesal pada pandangan pertama." Apakah ini bakatnya? Gadis ini ku ramal akan jadi jenius dalam merendahkan orang lain.
"Hmph, aku tidak ingin berbincang dengan orang gila yang bahkan tidak mau mengakui dirinya gila. Cepat kamu pergi dari situ, kalau tidak.."
Kalau tidak?
"Tiiiiiiinnn!!"
Jantung ku terasa loncat keluar melalui saluran pencernaan ku. Ternyata di belakang ku sedari tadi terdapat mobil Van berwarna putih yang hendak lewat. Sialan banget ini bocah, sengaja sekali dia berhenti memperingatkan ku agar aku mendapatkan hadiah klakson dari mobil ini.
"Sehat pak? Hahahahah"
Sembari membuka payung nya, dia berjalan menuju mobil putih itu.
"Tsk."
Mendengar gelak tawanya membuat ku membuang wajah dan mendecitkan lidah,
Aku yang masih mengatur nafas ku karena kekagetan yang luar biasa tadi mencoba untuk bangun dan duduk di kursi di bawah kanopi tepat di tempat di mana gadis SMA itu baru saja beranjak.
Dari kejauhan nampak mobil putih itu bukan mobil biasa yang hanya sekedar ingin lewat. Supir itu parkir di sisi kiri taman lalu membuka bagian tengah mobil dan mengeluarkan standing board kecil yang bertuliskan daftar menu dan harga. Tak lupa juga dirinya menaruh beberapa bangku kayu kecil di area sekitar mobil nya.
Benar saja, setelah kubaca baik-baik ternyata supir paruh baya itu penjual kebab. Terlihat dirinya, yang kembali berdiri di dalam mobil yang sudah disulap sedemikian rupa menjadi food court mini, dengan lincahnya mulai menyiapkan bahan-bahan yang akan ia masak.
Saat sang supir sekaligus penjual itu mulai memasang semacam tiang pendek yang diselimuti dengan daging, sang gadis yang sedari tadi berdiri setia menyaksikan tiap proses persiapan itu sedikit meloncat kecil di bawah payungnya.
Tidak lama setelah menyiapkan panggangan di sekitar daging besar yang berdiri tegak, minyak mulai terlihat menetes diantara balutan-balutan daging itu. Seketika aku merasa perutku bergetar menimbulkan sebuah bunyi pengingat. Aku lapar.
Kaki ku melangkah ke arah mobil itu. Nampak sosok gadis itu dari belakang sedang menunjukan jari-jarinya ke penjual, mengisyaratkan berapa jumlah yang ingin dia pesan. Tapi, ada hal yang membuatku kembali kaget tidak percaya.
"Sebentar, bohong kan?"
"Eh, masih ada om gila. Kupikir sudah pulang karena ketakutan hahaha."
"Mau memastikan saja, kamu pesan berapa kebab?"
"Hmm!"
Bukannya menjawab pertanyaan ku dengan pernyataan, justru dia memperlihatkan kedua tangan nya dengan kepalan tangan yang terbuka lebar. Spontan aku melakukan high five tanpa pikir panjang walau aku tidak tahu apa maksudnya.
"Bukan kompak bodoh, aku pesen segini nihh!"
Ternyata benar dugaan ku. Entah dia kelaparan berat atau memang sangat doyan, tapi mau dipikir bagaimanapun 10 porsi itu overkill.
"Iya, maaf. Terserah mu saja lah ya. Pak saya pesan 1 ya, yang pedas."
"Oke! Ditunggu ya, karena pasti bakal agak lama karena…."
"Iya pak, saya paham kok. Karena ada bocah yang mau percobaan bunuh diri kan?"
"Woy!, siapa yang kau panggil bocah suicidal hah?!"
Enggan menanggapi nya, aku memilih untuk duduk di salah satu bangku yang disediakan. Gadis yang terlihat kesal itu datang ke arah ku dan duduk di bangku tepat di sebelah ku.
"Heh."
"Hmmh?"
"Kamu pasti akan demam jika tetap basah kuyup begitu."
"Bukan urusan mu."
"Memang benar sih bukan urusan ku, murni hanya rasa penasaran ku saja."
"...."
"Jawab apa kek! Malah di diemin."
"Udah, aku gapapa. Mending kamu mikirin gimana caranya kamu bisa bawa 10 bungkus kebab sambil pulang dengan memegang payung."
"Ga perlu dipikirin juga bisa, kan aku tinggal menggunakan kedua tangan ku aja. Hey, hujan sudah reda dari tadi ya. Aku tidak memerlukan payung lipat ku lagi."
"Eh?"
Nampaknya efek berbaring di tengah hujan benar-benar membuat mati rasa tubuhku. Atau mungkin hanya karena aku tidak sadar perbedaannya sebab diriku sendiri masih basah kuyup akibat guyuran hujan tadi.
"Selain gila dan bodoh, ternyata kamu juga tidak peka ya? Hahaha."
Mendengar ejekannya membuat reflek tangan kanan ku seketika menggenggam dengan kuat. Tapi pria dewasa mana yang langsung main tangan terhadap perempuan, terlebih anak dibawah umur? Sebagai perwakilan lelaki gentleman di luar sana, dengan teramat sangat kuat ku coba untuk bersabar dan menghela napas.
Melihat ku menghela napas, dia pun untuk sesaat terdiam tapi tidak berhenti mencuri pandang ke arah wajahku. Beberapa kali kudapati dia terang-terangan memandangi, sampai pada akhirnya aku menyerah untuk pura-pura tidak sadar.
"Adek yang di sana, ini kebab-kebabnya silahkan~"
Baru saja ku ingin memecahkan keheningan ini, tiba-tiba si penjual memanggil sang gadis. Terima kasih ku ucapkan dalam hati karena sudah menyelamatkan ku dari rasa tidak nyaman yang sudah tidak terbendung ini.
"Kau sudah mendapatkan kebab-kebab mu kan? Sekarang pulang dan jangan ganggu orang asing selain diri ku di perjalanan. Ini bukan jam nya anak SMA seumuran mu keliaran di tengah jalan sendirian."
"Wooow~ kalau begitu, nih!"
"Hah? kamu ngasih aku kebab-kebab mu?"
"Bukan, bodoh. Kan kamu sendiri yang bilang tidak baik keliaran sendirian. Antar aku sampai ke depan rumah ku dan sekalian bawakan semua ini. Apa kamu tega membiarkan anak gadis seorang diri berjalan melintasi tempat gelap? Enggak tega kan? Jadilah lelaki dewasa yang gentleman, okay?"
Seakan bisa membaca isi kepalaku barusan, bocah tidak sopan ini tiba-tiba menyodorkan ku dengan perintah bossy nya. Bahkan boss ku tidak se-bossy ini selama aku berkerja dengan beliau.
"Terus, nasib kebab yang barusan aku pesan bagaimana?"
"Cancel aja, kan aku ada 10?"
"Kamu mau berbagi dengan ku?"
"Ya tidak lah! Yang benar saja. Aku bakal makan semua."
Un-rea-so-na-ble!! Ada apasih dengan anak ini ya Tuhan?! Self-Centered juga ada batasnya!
"Ya terus kenapa harus bilang kalau kamu punya 10?!"
"Hanya sebagai informasi saja, heheh. Ayo buruan, aku sudah keburu lapar nih!"
Ucap gadis itu sembari mengambil satu bungkus kebab dan melahap nya sambil jalan. Aku yang terpaksa harus membawa 2 kantong plastik penuh dengan kebab ini hanya bisa menahan sakit kepala. Entah ini gejala akibat masuk angin karena kehujanan atau karena meladeni si tuan putri random ini.
Ditengah hiruk pikuk kota di malam hari, kita berdua berdampingan menyusuri jalan yang perlahan meramai. Nampaknya para pedagang dan pejalan kaki yang awalnya berteduh akibat hujan tadi mulai untuk melanjutkan aktifitas mereka yang tertunda.
Aroma setelah hujan adalah salah satu dari sedikit hal yang kusukai di dunia ini. Alasan mengapa moment ini tidak menjadi indah tidak lain karena orang yang dengan berisiknya melahap kebab tanpa ampun di samping ku.
"Tidak bisakah kau mengunyah nya dengan tenang? Lagipula, makan sambil berjalan itu tidak sopan."
"Berisik ih, kamu itu ya, tipe orang yang ga senang liat orang lain senang? Pantas saja tidak punya teman."
"Tahu dari mana kamu kalo aku tidak punya teman? Kalau hanya teman, 5-10 orang aku juga punya."
Timpal ku dengan berbohong yang sudah seperti bernafas saja, lancar sekali.
Tidak memperdulikan ku, perempuan yang bahkan belum kuketahui namanya ini tiba-tiba belok ke arah jalan yang menuju ke arah masuk utama perumahan di area tersebut.
Sejenak aku menyeringai aneh lagi. Sambil berjalan menusuri kedalam area perumahan, dengan keheningan akibat kita sudah lumayan melewati kawasan pinggir jalan besar, dada ku tak berhenti berdegup kencang.
Keringat dingin mulai kurasakan mengalir di punggung ku. Tapi ingin ku buang jauh-jauh kenyataan itu dan menepis nya dengan "ah, mungkin air hujan dari baju ku yang masih basah kuyup." yang ku ucap dalam hati.
Mencoba untuk mengalihkan pikiran ku, aku mengajak orang yang sedari tadi memainkan handphone nya di sebelahku untuk berbasa-basi.
"Hei, ngomong-ngomong aku belum tau nama mu."
"Aku ga punya hobi memberikan nama ku kepada orang asing, maaf ya."
"Tapi kamu sudah meminta orang asing ini untuk membawakan belanjaan dan mengantar mu sampai rumah."
Gadis itu menghela napas yang cukup panjang.
"Ina. Ina Filia."
Degh.
Dalam waktu yang singkat, di dalam kepala ku terlintas apa saja alasan-alasan kenapa gadis ini terasa familiar, mengapa aku mau saja mengikuti keegoisan bocah yang tidak sopan ini, dan mengapa sedari tadi aku merasakan nyaman yang begitu nostalgic.
"Ka..kamu.."
Terbata-bata, seluruh badan ku seperti tersambar petir. Bahkan Ina yang awalnya datar mulai menyadari perubahan aneh pada diriku.
"Hei orang gila, kamu kenapa tiba-tiba pucat dan gemetaran begitu?"
Kepala ku seketika sakit, mual mulai ku rasakan seperti ingin ku muntahkan semua yang ada di dalam perut ini. Aku yang terbungkuk dan bertumpu pada lutut ku hanya bisa menoleh menatap Ina.
"Makanya jangan aneh-aneh dong! Ini pasti karena kamu hujan-hujanan ga jelas tadi nih! Rumah ku tinggal sedikit lagi, ayo paksa kaki mu untuk berjalan!"
Ina dengan panik mulai memapah sisi sebelah kanan ku. Walau mulutnya kasar, ternyata gadis ini bisa khawatir dan perduli juga.
"Ahahahah.."
Tanpa sadar aku tertawa kecil. Mungkin aku memang sudah gila, tapi melihat perubahan sifat Ina yang kontras berbanding terbalik membuatku sedikit agak tenang dan lucu.
"Ini bukan saatnya untuk ketawa tahu! Gila nya jangan kumat dulu bisa ga?! Ini kita udah di depan rumah aku!"
Panik sang gadis makin menjadi. Dia nampak bingung cara untuk membuka pagar sambil tetap memapah ku tanpa harus menaruh 2 bungkus kantong plastik penuh kebab ini di atas tanah.
Karena kegaduhan yang ia timbulkan di malam yang seoi di sekitar perumahan ini, terdengar suara kunci pintu yang dibuka.
Samar-samar terlihat sebuah bayangan ramping wanita paruh baya yang berjalan menyusuri halaman yang lumayan luas sebelum akhirnya sampai di pagar depan rumah tepat di hadapan kita.
"Ina? ada apa Ina? Kenapa berisik begitu di depan pagar?"
"Ibu, tolong bantu aku dulu sebelum mengintrogasi ku. Orang ini sudah mau ambruk."
"....."
"....."
Aku dengan sedikit mendongakkan wajahku, akhirnya bertukar tatap dengan wanita yang Ina panggil Ibu tadi.
Iya, terjadilah kekhawatiran ku. Dalam diam kita hanya saling menatap tanpa mengatakan apa-apa, sampai akhirnya Ina lah yang memecah keheningan.
"Asal tau aja ya, ini berat banget loh. Beban memapah orang gila plus dua bungkus kebab."
Sang Ibu pun berkata,
"Rala.. Lama tidak berjumpa."
Kenapa? Kenapa takdir gemar menyelimuti dunia ini dengan kisah komedi?
Sebegitu harusnya hati seseorang kau permainkan?
Red string of fate? Aku tidak butuh itu, dan aku tidak percaya bahwa itu ada.
Berdosa kah diri ini jika pertemuan ku dengan wanita yang seumur hidup ini ingin ku lupakan ku anggap sebuah bencana?
Hal terakhir yang kuingat sebelum aku kehilangan seluruh kesadaran ku adalah wajah khawatir Ina dan wanita itu.