Pok!
Servis pendek dilakukan oleh lawan. Aku lekas menepok shuttlecock, melakukan netting tipis sehingga shuttlecock pun bergulir di bibir net. Sebuah lucky shot, pukulan yang mustahil dihindarkan? Namun ekspetasi itu salah besar. Sang lawan ternyata mampu mengatasinya sekaligus membalas, melakukan netting menyilang. Memaksa diriku mengejar dan beruntung masih bisa memukulnya sebelum mengenai lantai sehingga shuttlecock pun melambung tinggi.
Dengan satu lompatan, sang lawan melepaskan smash. Tetapi aku telah membaca baik situasi itu dan berhasil menahannya, sekaligus mengarah shuttlecock pada bidang kosong permainan lawan. Sesuai dugaan ia dapat mengejarnya lalu melayangkan pukulan lob.
Aku melompat. Dari gestur memang diriku terlihat seperti akan melayangkan smash, tetapi kenyataannya aku hanya melakukan drop shot, dan sukses membuat sang lawan mati langkah dan shuttlecock pun jatuh di bidang permainannya. Dengan ini, akulah yang menjadi pemenang dalam pertandingan. Kemenanganku itu menuai pujian dari sang lawan yang tak lain ayahku sendiri. Aku pun merasa senang karenanya. Tersenyum seraya menyeka peluh yang membasahi dahiku. Kemudian satu tangan kuangkat untuk menghalau sinar yang mengusik pandangan. Tidak terasa kalau sang surya telah menampakkan diri.
Kami pun menyudahi permainan dan membereskan kembali raket ke dalam tas, lalu beranjak meninggalkan lapangan. Lapangan terbuka yang berukuran panjang 13 meter dengan lebar 6 meter, berlantai semen bercat hijau daun serta tiang net berwarna serupa. Di sisi kiri dan kanan terdapat 6 lampu neon bertiang bambu sebagai penerangan ketika malam tiba. Selain itu, pada dinding hijau di belakang, tertera tulisan 'PB Polos. Maju Membangun Bersama' dengan tambahan logo burung di samping kanan.
Setiba di rumah, berpintu dua berwarna krem, aku beranjak masuk. Meletakkan tas raket yang kubawa ke dalam kamar. Kemudian mengambil handuk yang tergantung pada stand hangger lalu bergegas ke kamar mandi.
Keringat yang membasahi seluruh badan telah berganti menjadi bulir air yang menyegarkan. Seusai mengerikan tubuh, segera diriku kembali kamar untuk segera mengenakkan seragam sekolah. Seragam berupa blazer biru dongker dengan dalaman kemeja putih lengan pendek, serta celana panjang berwarna biru telur asin.
Selesai mengganti penampilan, aku beranjak ke teras rumah. Di sana sudah ada ibu yang menyuguhkan dua potong roti lapis beserta segelas susu putih di permukaan meja. Secara lahap diriku mulai menyantap sarapan tersebut. Setelah selesai, aku pun berpamitan kepada orang tuaku dan bergegas berangkat, menggunakan sepeda bercat merah hadiah ulang tahun dari ayah.
Selama di jalan ada beberapa tetangga menyapaku. Aku lantas membalasnya dengan senyuman dan anggukan kepala. Hingga tibalah diriku di sebuah jembatan. Menoleh kiri dan kanan, memastikan tidak ada kendaraan yang lalu lalang. Setelah aman aku kembali menggowes sepeda, menyeberangi jalan raya dengan suasana hati ceria.
Oh iya, ngomong-ngomong namaku, Gilang Gunawan. Akrab dipanggil, Gil oleh teman-temanku. Berambut hitam pendek dan tinggi badan 175 cm. Sifatku pendiam, juga sedikit pemalu terutama pada orang yang baru kukenal. Umurku 19 tahun, lahir di kampung bernama Kedaung Baru. Hobi utamaku bermain badminton. Sebab sedari kecil aku bercita-cita ingin menjadi pemain top tepok bulu se-internasional. Menjadi pemain yang membanggakan orang tua serta negara suatu saat nanti. Makanya aku rajin berlatih bersama ayah, juga melakukan sparring dengan warga kampung atau orang dari luar. Bahkan saking cintanya pada bulutangkis, aku selalu menonton turnamennya melalui siaran tv atau pun secara langsung saat turnamen diadakan di Tanah Air. Dari sanalah aku pernah mendapatkan souvenir sebuah jersey yang ditanda tangani langsung oleh pemain jagoanku. Pemain yang berjuluk, The Minions. Bukan hanya sekedar itu saja, diriku pun mengenal betul nama-nama pemain hebat badminton dari belahan dunia, baik asia maupun eropa.
Butuh setengah jam hingga akhirnya aku tiba di sekolah. Bapak Security sekolah di pos penjaga pun menyambut hangat diriku. Segera setelah memarkirkan sepeda di tempat parkir, aku bergegas menuju kelas, berbaur dengan beberapa siswa-siswi yang tiba denganku.
Sekolahku sangat besar dan luas. Bangunannya menyerupai huruf U jika dilihat dari udara, terbagi menjadi tiga gedung berbeda. Setiap gedungnya memiliki dua lantai yang digunakan sesuai tingkatan kelas. Selain itu, fasilitas sekolah ini pun terbilang lengkap. Mulai dari kantin, perpustakaan, tempat ibadah, wc, tempat pembuangan sampah, taman bunga yang asri, kolam renang serta lapangan. Bahkan bukan hanya satu, sekolahku mempunyai lapangan dari beberapa cabang olahraga. Ada Futsal, Lari Cepat, Basket, Voli, Tenis dan tentunya Badminton.
Di gedung ketiga, kelas pada lantai dua berpapan angka romawi XII-B, aku pun segera masuk. Di dalam kelas ternyata sudah dipenuhi oleh teman-temanku yang fokus dengan kesibukannya sendiri. Aku beranjak menuju meja yang berada di barisan tengah. Mengambil posisi duduk, menghembus nafas lega dan menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 07.55. Lima menit lagi sebelum bel masuk berbunyi. Hampir saja diriku terlambat.
"Hey, Gil!" Tetangga di kursi samping kiri terdengar memanggil. Aku pun lantas menoleh padanya. "Apa kau sudah siap untuk pertandingan nanti?" Tanya siswa berambut coklat keriting yang berpenampilan bak preman itu. Meski demikian setidaknya aku sudah tahu kalau dirinya bukan tergolong siswa yang nakal. Sebab, dia teman sepermainanku di kampung, sekaligus rekanku di ganda putra yang bernama Erik Setiawan.
"Tentu saja! Lalu, bagaimana denganmu?"
Erik terkekeh. "Aku sih siap aja! Tapi kalau mengingat lawan yang kita temui nanti, rasanya aku sedikit ragu."
Mendengarnya, aku menghela nafas. "Kalau begitu kau tidak siap namanya."
"Yah, gimana ya. Kau tahu kan," Erik sedikit memajukan posisi, "kalau dia itu cukup tangguh. Bahkan footworknya sekelas pemain pro."
Erik tampak menjunjung tinggi orang yang dibicarakan. Sebenarnya aku juga paham akan hal tersebut. Namun jauh di lubuk hati, diriku tidak ingin menyerahkan kemenangan begitu saja. Tidak ada yang tidak mungkin selama kita berusaha. Itulah yang selalu kupegang teguh di dalam benakku.
"Sebaiknya kau memikirkan cara mengalahkannya, bukan malah memikirkan kehebatannya." Setelah mengucapkan itu, aku kembali menatap ke depan. Memikirkan hal yang lebih menakutkan daripada orang yang tadi dibicarakan Erik.
Sebegitu menakutkan kah? Tentu saja. Bahkan bukan hanya aku seorang, mungkin teman-teman juga merasakannya hal serupa.
Kring!
Bel berbunyi saat jarum jam menunjukkan pukul 08.00. Tidak lama setelahnya, seorang guru pria dengan garis wajah garang pun muncul dari balik pintu. Berjalan ke meja miliknya. Di tangan kanan, beliau menenteng amplop coklat yang kemudian diletakkan di permukaan meja. Jika mengingat apa isi amplop tersebut entah kenapa tubuh langsung bergidik.
Kami semua serentak berdiri dan berdoa sesuai intruksi ketua kelas, lalu duduk kembali. Sementara, Pak Guru perlahan membuka amplop coklat yang berisikan banyak lembar ulangan. Beliau kemudian beranjak menghampiri siswa yang duduk di kursi depan.
"Tolong bagikan sampai ke belakang!" Beliau lantas membagikan kertas ulangan satu per satu.
Secara estafet, kertas ulangan pun dibagikan hingga akhirnya tiba pada genggamanku. Di waktu bersamaan itulah tubuhku pun langsung membeku. Diriku benar-benar tak sanggup menatap benda tersebut. Bagaimana tidak? Melihat satu soal saja rasanya ingin menyudahi. Bahkan beberapa teman-temanku juga terlihat memasang gelagat yang sama denganku.
Pak Guru kembali ke mejanya dan beranjak duduk. "Baiklah, silahkan kerjakan ulangan matematikanya! Waktunya hanya sejam setengah. Jika ada yang ketahuan menyontek, bapak akan langsung merobeknya. Paham!" Jelasnya tegas.
"Paham!" Jawab kami serentak.
Penuturan dari sang guru seolah-seolah seperti smash keras dan tajam bagiku. Tidak bisa menahan, bahkan menangkisnya.
Singkat cerita ulangan pun telah selesai. Setelah kepergian pak guru, kepalaku pun ambruk seketika di atas meja. Masih terbayang rumus serta angka yang seolah menghantui isi kepala. Lebih parahnya lagi kalau memikirkan hasil dari jerih payahku mengisi lembar soal tadi. Ah, aku benar-benar tidak bisa membayangkannya dan hanya bisa berharap tidak mendapatkan nilai anjlok. Setidaknya, aku berharap demikian.
Dengan satu tarik nafas, aku kembali mengangkat kepala. Setidaknya ulangan yang akan berlangsung berikutnya telah memberiku sedikit energi semangat. Mata pelajaran yang kudambakan, sangat kuidolakan layaknya pemain top bulutangkis. Uh, aku bersorak di dalam hati.
Terdengar langkah kaki mendekat. Sosok guru lelaki bertubuh kekar yang membawa harapanku pun perlahan muncul dan berjalan masuk. Tanpa sadar, lengkungan tipis tergambar begitu saja di bibir kiriku.
Kring!
Bel istirahat berbunyi. Sang guru bergegas keluar. Bagaikan orang yang baru saja memenangkan undian, aku tersenyum ria, berdiri gagah, lalu beranjak untuk segera mengisi tangki bensin yang mulai berbunyi. Sebelum meninggalkan kelas, tatapanku teralihkan oleh salah satu temanku di kursi depan. Ia terlihat kesal sampai mengacak-acak rambutnya sendiri dan menghentakkan kedua tangan begitu keras di atas meja.
"Enggak matematika, enggak penjas, semuanya sama!!" Dengan luapan emosi, dirinya pun berlalu pergi begitu saja, meninggalkan perasaan bingung seisi kelas.
Tapi aku tidak peduli, dan terus melangkah hingga setelah keluar dari kelas, tanpa diduga ada seseorang dari belakang menabrakku sehingga aku pun jatuh terduduk sambil meringis sakit.
"Maafkan aku!"
Terdengar suara perempuan di telingaku. Nada suaranya sangat lembut walau dilanda oleh rasa cemas.
Tatapan kualihkan padanya. Sosok putri kerajaan ... maksudku siswi berparas ayu dan berambut abu-abu panjang, terurai hingga pinggang berdiri tepat di hadapanku. Mata hijau zamrudnya serta bibir merahnya sangat aduhai. Satu tangan lentik berkulit putih bagaikan orang eropa disodorkan padaku, dan kubalas dengan menggapainya lalu tangan itu memanduku berdiri secara anggun. Semerbak wangi parfum dari tangannya melekat di kelima jemariku sekarang bagaikan sebuah cendera mata.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya siswi itu. Rautnya semakin manis saat sedang khawatir.
"Ya, aku baik! Maafkan aku juga yang tidak memperhatikan sekitar saat keluar tadi!" Balasku, mencoba agar siswi itu tidak sepenuhnya menyalahkan diri.
"Kau tidak salah! Aku yang salah sebab tidak waspada saat berlari tadi."
Pepatah yang mengatakan kalau perempuan selalu benar itu ternyata salah. Ketulusan hati siswi itulah buktinya.
Tatapanku beralih ke lantai berubin putih. Ada sebuah raket yang tergeletak. Raket milik siswi tersebut. Maka dari itu diriku pun berinsiatif mengambilnya, ingin kuserahkan padanya. Namun tanpa kuduga, di saat yang bersamaan, sang siswi ikut serta membuat kedua tangan kami pun saling bersentuhan di grip raket. Spontan saja kami berdua terdiam. Lalu perlahan, mata kami saling bertemu, memandang lekat satu sama lain. Karena hal itu kami pun sukses menjadi pusat perhatian. Sorak-sorai beserta siulan para siswa-siswi di sekeliling bergemuruh, bagai tribun di sebuah stadium.
Dengan dibaluti rasa malu, kami serentak berdiri, berpaling ke arah lain. Tak lama kemudian datanglah dua orang siswi dari arah kelas A, kelas yang sama dengan siswi bersurai abu-abu itu. Siswi yang mengenakkan kacamata dengan rambut hitam sebahu. Terlihat kalau dirinya tipe orang yang pemalu. Sedangkan satunya, siswi berambut jingga agak gelap dengan aksesoris dua jepit rambut di sisi kiri, terdapat pula sweater coklat yang diikatkan di pinggangnya. Rautnya pun tampak seram seolah-olah tengah mengintimidasi.
"Kamu baik-baik saja, Amelia?" Tanya siswi berkacamata setiba di samping siswi yang ia panggil Amelia.
Amelia mengangguk. "Ya, aku baik-baik saja, Sarah!"
Sementara, temannya menghampiriku seraya menarik kerah kemejaku. "Hei, apa yang kau lakukan pada Amelia?!" Tanyanya ketus. Entah itu sebuah pertanyaan atau bentakkan.
"Jangan salahkan dia, Vera! Ini sebab diriku saja yang tidak hati-hati!" Sembari tersenyum, Amelia sepertinya memberikan pembelaan untukku.
Siswi galak bernama Vera itu menoleh Amelia sesaat, kemudian beralih kembali padaku dan kali ini mengangkat kerah bajuku hingga sedikit berantakan. "Apa benar begitu?" Tatapannya benar-benar mengintimidasi.
"Uh, ya sebenarnya ...." ucapanku tersendat saat melihat Amelia yang mengangguk kepala.
"Sebenarnya apa?!"
"S-sebenarnya yang dikatakan Amelia itu benar!" Aku tersenyum kikuk. Nada siswi galak tersebut benar-benar membuatku mengelus dada.
Menerima jawaban dariku, Vera pun melepaskan genggamannya lalu beranjak mengambil raket yang tergeletak di lantai. Kemudian berjalan ke arahku dan mendorong tubuhku hingga menabrak dinding kelas. Diikuti siswi berkacamata bernama Sarah dan Amelia yang mengucapkan kata maaf dengan nada lirih. Kepergian mereka bertiga pun mampu membubar para siswa-siswi di sekitar, lalu seseorang dari belakang menepuk bahuku.
"Aku tidak tahu ternyata kau diam-diam bisa menyukai seorang perempuan juga ya. Kupikir kau akan menjomblo seumur hidup." Erik tertawa di sampingku. Tetapi aku tidak peduli.
Pandanganku terfokus hanya pada seseorang. Siswi bersurai abu-abu yang perlahan menuruni tangga. Amelia Cahya. Siswi dari kelas A yang terkenal akan kecantikan serta kepandaiannya, membuat dirinya menjadi primadona seluruh kaum laki-laki kelas 3. Banyak siswa berlomba-lomba ingin menjadi pacarnya. Bahkan ada beberapa siswa dengan nekat menyatakan langsung perasaan padanya. Tentu saja, nasib mereka berakhir tragis.
Selain kecantikan dan kepandaian, Amelia juga terkenal kehebatannya di bulutangkis. Bermain sebagai tunggal putri dan ganda campuran, ia memiliki rentetan prestasi mentereng selama berkarir di olahraga tepok bulu tersebut. Dirinya bahkan selalu memenangkan kompetisi antar sekolah yang diselenggarakan tiap pertengahan semester. Oleh karena itulah ia begitu dikenal, baik seluruh warga sekolah maupun sekolah lain.
Dia benar-benar siswi yang sempurna. Andai aku bisa menjalin hubungan lebih dekat dengannya, kami pasti bisa menjadi duet ganda campuran yang paling hebat setanah air. Layaknya, Honey Couple.
"Oh, Amelia ...." Tanpa sadar, kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.