Chapter 2 - Penolakan Azka

Malam adalah waktu di mana semua orang mengistirahatkan tubuh setelah seharian beraktivitas. Suasa sepi dengan kesunyian membuat orang-orang begitu terlena dalam kelelapan. Menyusuri dunia mimpi dengan begitu bebas. Namun, ada juga sebagian orang yang terjaga. Ada yang bersenang-senang di tempat dunia malam, ada juga yang menikmatinya dengan berbincang dengan Tuhannya.

Sama seperti Azka dan Isabelle. Pasangan baru itu terjaga di sepermalam, tetapi dengan cara yang beda mereka menikmatinya. Jika Azka menikmati malamnya dengan musik kencang serta minuman keras di salah satu klub malam mewah, berbeda dengan Isabelle yang kini terus menatap pintu berharap suaminya kembali.

Gadis muda itu merasa khawatir sebab suaminya tak kunjung pulang. Ia takut terjadi sesuatu pada lelaki yang belum genap menikahinya dua puluh empat jam tersebut, hingga akhirnya ia menadahkan tangan agar Tuhan melindungi suaminya di manapun ia berada.

Hingga wanita cantik dengan bibir tipis itu tersentak saat seseorang menarik tangannya dengan dipaksa untuk berdiri.

'Mas Azka. Alhamdulillah dia baik-baik saja,' batin gadis itu.

"Heh! Ngapain lo di kamar gue!" sentak Azka menatap istrinya dengan tatapan benci.

Isabelle menengok kanan kiri mencari buku kecilnya, tetapi tak menemukan.

"Keluar!" sentak Azka membuat Isabelle tersentak.

'Kenapa?' tanya Isabelle dengan bahasa isyarat.

"Ini kamar gue! Lo ngapain di sini, hah? Keluar sana! Gue benci liat lo!"

Isabelle ingin membalas dengan bahasa isyarat, tetapi justru membuat Azka kesal.

Dengan penuh emosi, lelaki itu menarik tangan istrinya untuk dibawa keluar. Sampai di depan pintu, ia mendorongnya hingga gadis itu terjatuh.

"Jangan pernah berani masuk kamar gue lagi!" Dengan emosi Azka membanting pintu.

Gadis bermata sipit itu tersentak dengan menutup telinganya. Ia terkejut dengan tindakan kasar sang suami. Isabelle pun beranjak, lalu menatap sekeliling rumah besar itu. Kini ia bingung akan tidur di mana. Ingin masuk ke sembarang kamar, tetapi ia tak enak dan takut dianggap tidak sopan. Akhirnya ia memutuskan akan tidur di sofa bawah.

Gadis berhidung bangir itu melangkahkan kaki dengan mengusap lengannya yang terasa dingin. Isabelle menuruni anak tangga dengan marmer putih tersebut perlahan sebab tak ingin langkahnya mengganggu penghuni lain. Sebelum kakinya sampai di ruang keluarga, ia menatap arah dapur dengan memegang perutnya yang terasa lapar.

Gadis penyuka senja itu mendesah kesal. Kebiasaannya benar-benar tak bisa berubah. Ia pasti akan lapar di sepertiga malam. 'Perut, kenapa tidak menunggu sampai pagi, sih? Masa iya aku harus mengendap ke dapur?' ucapnya dalam hati.

Wanita dengan tinggi 160 sentimeter itu pun mengabaikan perut laparnya. Ia masih segan untuk berbuat sesuka hati di rumah keluarga suaminya, apalagi sang suami seperti benci. Akhirnya, Sharena hanya duduk di sofa busa berwarna cokelat susu tersebut menatap sekeliling rumah mewah itu.

Televisi berukuran 54 inci menjadi pemandangan utama di ruangan tersebut. Lalu ada kaligrafi bertuliskan asmaul husna berukuran besar terpajang di dinding belakang. Lalu seperangkat home theater di samping televis juga karpet bulu halus berwarna abu-abu menjadi alas kaki sehingga terasa hangat.

Hah! Rumah sebesar itu jika suaminya tak menginginkannya pun terasa tak istimewa. Isabelle hanya bisa merebahkan tubuhnya setelah mengatur bantal. Lalu, ia berbaring menatap lampu hias Kristal yang menggantung indah di atasnya. Kembali ia memikirkan rumah tangganya. Ia bingung harus berbuat apa. Ia pikir, Azka menerimanya. Namun, saat lelaki itu tahu keadaan dirinya yang tak sempurna itu, ia sama saja seperti laki-laki lain.

Sang gadis kembali teringat saat pertama kali ia melangkahkan kaki menghampiri Azka yang baru selesai ijab kabul. Lelaki itu tersenyum menatapnya, seperti suami yang antusias menyambut sang istri. Ketika ia hampir sampai di kursi ijab kabul, Azka juga membantunya. Bahkan pemilik restoran itu mencium keningnya setelah ia mencium tangan Azka dengan takzim.

Akan tetapi, sikapnya berubah saat ia tahu bahwa Isabelle penyandang disabilitas. Azka begitu marah pada keluarganya sebab merasa ditipu dengan begitu kejam menikahkan dengan wanita tak sempurna bahkan tak layak untuknya. Memikirkan itu semua, membuat gadis berusia dua puluh tahun itu terlelap. Selain lelah perasaan, fisiknya pun capek sebab ia semalaman tak tidur menunggu sang suami, meski pada akhirnya ia justru diusir dari kamar.

Azan subuh berkumandang. Marini yang biasa bangun untuk salat, keluar dari kamar. Ia melangkahkan kaki menuju dapur. Seperti biasa, ia akan mengatakan masakan apa yang akan dibuat untuk sarapan kepada asisten rumah tangga. Namun, langkahnya terhenti melihat seseorang yang tidur meringkuk di sofa.

"Siapa yang tidur di sofa?" gumam Marini. Ia pun melangkahkan kakinya mendekat. Betapa terkejutnya ia saat melihat Isabelle-lah yang terlelap di sofa. "Astagfirullah, apa Azka mengusirnya dari kamar? Keterlaluan anak itu!" gerutu Marini kesal.

Dengan rasa sedih, wanita itupun membangunkan cucu menantunya dengan menepuk pelan bahunya. Tak lama, Isabelle mengerjap dengan wajah terkejut melihat sang oma yang duduk menatap dirinya.

"Azka mengusirmu?" tanya Marini.

Isabelle yang tak ingin membuat keributan di pagi hari pun hanya menggeleng.

"Bohong, kan? Lalu kenapa kamu tidur sofa?" tanya Marini kembali.

Gadis itu pun hanya diam dan menunduk. Ia bingung harus berkata apa. Nota dan ponselnya juga berada di kamar Azka. Jika ia menggunakan bahasa isyarat pasti Marini tak mengerti.

"Keterlaluan si Azka! Bagaimana tega ia membiarkan istrinya tidur di sofa dengan hanya menggunakan pakaian tipis begini!" Dengan rasa kesal, Marini beranjak. Ia ingin memberi pelajaran pada cucunya tersebut. Namun, langkahnya tertahan ketika Isabelle menahan tangan keriputnya itu dengan wajah panik dan terus menggeleng.

"Jangan ... jangan, Oma." Sharena berusaha berbicara dengan rasa panik tetapi tak sedikitpun suaranya keluar. Melihat cucu mantunya begitu resah, akhirnya Marini mengurungkan niatnya menghampiri Azka dan mengajak gadis cantik itu duduk.

"Oke, Oma tidak akan menghampiri Azka."

Gadis penyuka kotoprak itu membuang napas lega, lalu mengucapkan terima kasih dengan bahasa isyarat.

Akhirnya keduanya hanya diam mentralkan perasaan keduanya yang menggebu karena kelakuan Azka. Hingga tiba-tiba ....

"Kamu lapar?" tanya Marini saat mendengar suara keroncongan dalam perut cucunya itu, membuat Isabelle malu dengan reflek menggeleng. "Tapi perutmu terus berteriak minta diisi," kekehnya menunjuk perut gadis berambut cokelat tua itu.

Dengan reflek, ia menyentuh perut ratanya. Isabelle merona dengan menepuk dahinya lalu meminta maaf karena terkesan tak sopan. Marini tersenyum menatap gadis baik itu. Ia sangatlah sopan yang membuat Marini dan Anggara menyukainya. Renata memang tak salah memilihkan istri untuk anak tunggalnya.

Marini mengusap pipi cucu mantunya. Ia meneteskan air mata sebab merasa kasihan pada gadis itu. Ia merasa dunia tak adil untuk Isabelle. Ia memiliki paras yang sangat cantik. Katanya, ayah Sharena sendiri adalah seorang laki-laki berasal Cina dengan etnis Uyghur dan ibunya dulu adalah Kembang Desa yang memiliki paras memesona. Ia juga adalah teman dari Renata—ibu Azka.

Ayah Isabelle pergi ketika Harsya—ibu Isabelle mengandung dirinya. Sampai sekarang, gadis itu tak pernah melihat bagaimana rupa sang ayah. Harsya sendiri meninggal ketika sang anak berusia lima tahun. Sebelum kepergiannya, Harsya meminta Renata sang sahabat untuk menjaga anaknya. Karena itulah, Renata meminta anak tunggalnya untuk menikahi Isabelle.

Bukan hanya karena dia adalah amanah, tapi Renata merasa bahwa Isabelle sangat cocok dengan anak satu-satunya. Belum lagi, gadis itu memiliki sifat sebaik Harsya yang membuat Renata semakin berharap anaknya menikahi anak sahabatnya itu. Renata sendiri meninggal satu tahun lalu karena penyakit kankernya. Sebab itulah dengan cepat juga Azka menikahi Isabelle. Namun, semua tak menyangka bahwa Azka bisa sekejam itu pada istrinya.

"Maafkan Azka, ya." Kembali Marini berucap itu. "Maafkan dia yang masih belum menerimamu. Belum bisa menjadi suami yang baik padamu. Mungkin Oma egois berkata ini. Tapi, Oma mohon, kuatlah untuk merebut hatinya. Oma sangat sayang padamu, Isabelle. Oma hanya ingin kamu menjadi satu-satunya istri dari Azka," ujarnya dengan air mata yang terjatuh, membuat gadis itu merasa sedih dan terus menggeleng mengusap air mata omanya.

Gadis cantik itu meminta waktu sejenak. Ia ingin mencari alat tulis untuk menjadi alat komunikasinya. Setelah ketemu, akhirnya ia menuliskan apa yang ingin dia katakan.

[Oma, jangan terus meminta maaf. Aku merasa sedih jika Oma terus bersedih. Oma, aku tidak apa-apa. Aku mewajari sikap Mas Azka yang begini kepadaku. Aku tidak sakit hati sama sekali. Namun, jujur, sejak lama aku merasa tak pantas untuk Mas Azka. Siapa aku, Oma? Aku hanyalah seorang guru kecil yang sederhana. Aku juga tidak berpendidikan tinggi.

Apalagi, aku tidak sempurna. Jujur, aku setuju menikah karena ini amanat dari Mama Harsya juga Tante Renata. Tapi, aku janji akan berusaha menjadi istri yang baik untuk Mas Azka. Oma tak perlu sedih dan khawatir atas perlakuan Mas Azka padaku. Aku baik-baik saja.]

Marini tersenyum membaca kutipan kata dari cucu menantunya itu. Ia memeluk Isabelle dengan penuh kasih sayang. Ia hanya bisa berdoa semoga Allah membalikkan hati Azka untuk menerima Isabelle sebagai istrinya.