Siang itu cuaca menghangat seperti hari-hari biasanya. Cahaya matahari terasa hangat dikulit pada pukul sembilan pagi di bulan itu. Namun orang-orang tampak sangat terbiasa dengan cuaca yang sedikit dingin. Mereka selalu mengenakan kaos tipis dan celana pendek setiap harinya, kecuali di musim dingin akhir tahun. Para siswa pun sama, mereka mengenakan baju tipis namun tetap mematuhi aturan sekolah, khususnya siswa perempuan. Mereka tidak diperbolehkan mengenakan kaos yang tidak menutupi bahu dan rok ataupun celana yang panjangnya hanya diatas lutut.
Bel Sekolah Menengah Atas Horace Fieldston mulai terdengar mengelilingi bangunan-bangunan megah yang berisi bangku-bangku itu. Burung-burung yang tidur disarangnya pun terbangun lalu berterbangan keluar dari pepohonan yang rindang karena kagetnya. Mereka terbang kesana dan kemari tak tentu arah di atas bangunan sekolah itu. Lingkungan sekolah yang semula sunyi kini mulai menunjukkan aktifitasnya. Beberapa siswa mulai keluar satu per satu dari ruang kelas masing-masing. Mereka merenggangkan punggungnya setelah melewati mata pelajaran yang berat siang itu. Jam makan siang telah dimulai. Ketika mayoritas siswa menyantap menu makan siangnya, ada salah satu siswa yang berbeda disana. Gadis itu adalah anak bungsu dari keluarga Smith yang tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas. Keluarga kecil itu adalah keluarga menengah kebawah, berbeda dengan keluarga lainnya di kota itu. Meskipun begitu, semangatnya tak pernah padam. Ia mampu masuk ke sekolah favorit dengan beasiswa dan ia juga selalu menempati peringkat teratas di kelasnya. Teman-temannya tak memandang remeh akan prestasinya, mereka tak pernah menyinggung tentang kondisi ekonomi keluarganya. Namun ada satu hal yang membuatnya berbeda. Nama gadis itu adalah Aisyah Smith. Nama lengkapnya Aisyah Kimberly Smith. Seorang gadis cantik bermata biru yang lahir dari keluarga muslim Amerika. Kulitnya putih bersih, hidung mancung seperti orang Amerika lainnya. Namun tidak ada yang mengetahui bagaimana rambutnya dan warnanya. Ia selalu menutupinya dengan jilbab hingga menjuntai kebawah dadanya.
Aisyah tak pernah bersentuhan dengan lawan jenis sejak ia duduk di sekolah dasar. Orang tuanya mengajarinya dengan sangat baik tentang agama Islam. Teman-temannya di Sekolah Menengah Atas menghormati budaya dan agama Aisyah. Mereka mengerti saat Aisyah menolak dengan sopan ketika mereka menawari minuman beralkohol ataupun mengajaknya ke pesta. Teman-temannya juga menghormatinya ketika ia berpuasa di bulan Ramadhan. Mereka makan dan minum sembunyi-sembunyi dibelakang Aisyah. Ia hanya tersenyum menyadari itu walaupun ia sudah beberapa kali mengatakan tidak apa-apa pada mereka. Namun mereka tetap tidak enak hati padanya. Salah satu dari mereka bahkan melontarkan lelucon, "Aisyah, kenapa tuhanmu suka sekali menyiksa hambanya? Tuhanmu memerintahkanmu untuk berpuasa sebulan penuh. Itu sangat berat." Mendengarnya, ia tersenyum lalu menjawab, "Yang aku lakukan seperti halnya membayar untuk asuransi hidupku. Bukankah kalian membayar mahal kepada pemerintah untuk asuransi jiwa? Namun aku hanya membayarnya dengan puasa dan sholat kepada tuhanku karena Ialah pemegang dan pengendali hidupku. Aku sangat mempercayai-Nya dibanding siapapun di dunia ini. Ialah sang maha pemelihara." Teman-temannya mengangguk mengerti mendengar penjelasannya.
Beberapa menit yang lalu, bel jam istirahat telah berbunyi. Aisyah bersiap-siap untuk menyembah tuhannya di siang itu. Ia berjalan menuju loker tempat ia menyimpan mukenah dan Al-Qur'annya. Salah satu temannya menyusulnya dan mengimbangi langkahnya. "Kau mau sholat?" Aisyah mengangguk lalu berkata, "Iya, ini sudah masuk waktu sholat. Nanti aku menyusulmu di kantin." "Kau tau? Pengumuman kelulusan sudah dipasang di mading. Ayo kita kesana. Mari kita lihat apakah aku berhasil mengalahkan peringkatmu." Aisyah tersenyum pada kawannya itu, "Kau lihat saja dulu kesana, sekarang aku mau sholat. Bagiku berbicara pada tuhan adalah nomor satu." Bethany menepuk pundaknya kagum. "Kau sangat taat, Aisyah. Semoga tuhanmu memberkahimu."
Gadis itu melangkah menuju perpustakaan. Ia meletakkan peralatan sholatnya diatas meja lalu menyapu bagian sudut perpustakaan yang selalu ia gunakan untuk sholat. Kepala sekolah telah memberinya izin untuk melakukan itu. Seusai salam, terdengar suara ketukan pelan pada rak buku tak jauh dibelakangnya. Seperti biasa, pemuda itu selalu datang menghampirinya di waktu zuhur tiba. Aisyah menoleh dan terlihat seorang pemuda berambut pirang dan bermata biru sedang berdiri menyandar pada rak buku itu. Ia tersenyum sambil berkata, "Mau mendengarkan Al-Qur'an lagi?" Pemuda itu tersenyum lalu mengangguk. Ia berjalan mendekat dan duduk bersila beberapa meter didepan Aisyah. Ia mulai meraih dan membuka kitab suci itu lalu membacanya.
Ia membuka Surah Yusuf ayat 20, melanjutkan yang kemarin dibacanya. Suara gadis itu mulai terdengar. Suaranya pelan dan menyejukkan hati. Setelah ia membaca bacaan arabnya, ia mulai mengartikannya pada pemuda itu. "Dan mereka menjualnya (Yusuf) dengan harga rendah, yaitu beberapa dirham saja, sebab mereka tidak tertarik kepadanya. Dan orang dari Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya, berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut dia sebagai anak. Dan demikianlah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya takwil mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti."
Ia berhenti ketika pemuda itu hendak bertanya. "Lalu bagaimana sikap ayahnya ketika mengetahui putra kesayangannya meninggal?" "Ia tak mempercayai bahwa putranya meninggal. Ia tahu persis watak ke-dua belas anaknya itu. Maka ia bersabar dan menunggu bantuan Allah." Tak lama kemudian seseorang datang menghampiri mereka berdua. "Aisyah, Chris, kalian keluar dulu ya. Sebentar lagi ruangan perpustakaan akan disemprot. Petugas datang lebih awal minggu ini." "Iya, pak. Kami baru saja selesai." Mereka berdua bangkit lalu Aisyah merapikan peralatan sholatnya. "Tidak apa-apa. Masih ada waktu lagi besok." Wajah Chris masih cemberut.
Pemuda yang seangkatan dengannya itu berjalan mengimbangi langkah Aisyah menuju kantin. Walaupun ia dan gadis itu tidak sekelas, tetapi ia tampak sering mengunjungi Aisyah. Diam-diam muncul perasaan suka di hati mereka masing-masing. Namun gadis itu menepis jauh-jauh perasaannya sendiri. Ia menutup pintu-pintu iblis yang sesekali menyeruakkan aroma wangi merebak merasuk jiwa. Itu adalah salah satu trik setan menggoda manusia. Ia menggoda manusia dari arah depan, belakang, kiri, dan kanan. Aisyah mengenali betul bagaimana setan mencoba menyesatkan anak-anak Adam dari arah depan. Setan senantiasa melontarkan bujuk rayunya ketika manusia berhadapan langsung dengan apa yang disukainya. Ia tidak membuatmu berpikir apa konsekuensi kedepannya karena sesungguhnya manusia sangat mudah menerima apapun yang terlihat didepan matanya. Kemudian, serangan setan dari arah belakang adalah ketika manusia selalu terjebak pada kenangan-kenangan buruknya di masa lalu dan membuatnya malu untuk kembali ke tuhannya. Setan membuat manusia berputus asa akan ampunan Allah karena sesungguhnya sifat setan adalah keputusasaan. Sejak ia dilaknat oleh Allah, ia sudah dituliskan akan kekal abadi di neraka. Jadi, setan merasa tidak ada guna hidup dan menyembah Allah.
Godaan yang kemudian adalah dari arah kanan. Setan memunculkan rasa bangga dan sombong pada siapa saja yang berhasil meraih impiannya. Ia sering kali mengubah perasaan rendah hati menjadi sombong. Lalu, godaan yang terakhir adalah godaan setan dari arah kiri. Seperti yang telah diketahui secara umum, setan mengajak manusia pada perbuatan dosa. Namun ia tidak langsung menyuruh manusia untuk melangkah satu kilo meter. Awalnya ia membisikannya untuk melangkah beberapa senti saja. Terus menerus hingga ia tak sadar bahwa ia telah berjalan satu kilo dan melakukan perbuatan dosa itu.
"Aisyah, sebelah sini!" terlihat seseorang melambaikan tangannya diantara meja-meja kantin. Ia dan pemuda itu segera menuju kearah meja itu. Bethany dan teman-teman lainnya sudah hampir menghabiskan makan siangnya. Kantin tampak ramai seperti biasa. Beberapa siswa terlihat kesana dan kemari membawa nampan makanan dan segelas minuman masing-masing. Nampan mereka ada yang masih kosong dan ada pula yang mengambil sepiring porsi makanan lagi. "Jadi, kau ikut makan siang bersama kami lagi, Chris?" Lucy memandang kearah pemuda itu. "Kita tidak mau menjadi bahan omongan lagi oleh gengmu karena ketua tim basket sekolah ini berkumpul dengan siswa-siswa kutu buku." Ucap Bethany. Michael, sang ketua kelas yang memenangkan lomba tenis lapangan beberapa bulan yang lalu, mengangkat telunjuknya, "Aku tidak termasuk kutu buku." Bethany merasa sedikit sebal lalu memukul kepalanya. "Aku tidak berbicara tentangmu." Chris tertawa lalu berkata, "Tenang, aku sudah menjelaskan pada tim basketku bahwa aku tidak akan terpengaruh dengan kalian. Aku akan terus rajin berlatih basket dan tidak akan menghabiskan waktuku untuk membaca buku-buku tebal seperti kalian."
"Oh iya, Bethany, bagaimana pengumuman kelulusannya? Tadi aku lupa tidak mampir untuk melihatnya." Aisyah angkat bicara ketika teringat akan hal itu. Lawan bicaranya menjawabnya dengan nada lemas, "Aku tidak bisa mengunggulimu, Aisyah." Mata Aisyah kemudian berbinar-binar, "Nilaiku tertinggi lagi?" Kawannya mengangguk lesu mengingat bahwa ia tak akan mendapat hadiah yang dijanjikan oleh Aisyah. "Aku selalu dapat menduganya." Ucap Chris dengan senyuman bangganya. Aisyah segera memalingkan pandangannya lalu menatap Bethany. "Kau akan tetap mendapatkan novel itu, Beth." Lawan bicaranya terperanjat kaget dan berkata, "Kenapa? Bagaimana bisa? Aku kan tidak bisa mengalahkanmu." Aisyah tersenyum simpul. "Tetapi setidaknya kau telah berusaha sangat keras untuk mengalahkanku. Aku tahu usahamu itu, Beth."
Gadis itu sangat senang sekali mendengar ucapan Aisyah. "Itu artinya novelmu yang edisi langka itu akan menjadi milikku? Tetapi bukankah kau belum selesai membacanya?" Aisyah menggeleng lalu berkata, "Tak apa-apa. Tak masalah bagiku. Itu hanyalah novel." Chris berdiri dengan semangatnya lalu berkata, "Baiklah, untuk merayakan prestasi Aisyah dan kelulusan kita semua, aku akan mentraktir kalian. Pesan apa saja yang kalian inginkan." Ketujuh siswa itu sangat senang atas tawaran Chris. Satu per satu dari mereka bangkit dari kursi dan menuju menu makanan diujung sana. Lagi-lagi pemuda itu menyusul langkah Aisyah dan berjalan disampingnya. "Kau mau mendaftar ke universitas mana?" tanya pemuda itu. "Harvard University." Chris tampak ragu sejenak lalu berkata dengan nada canggung. "Kita sama ya ternyata. Aku juga akan mendaftar kesitu." Gadis itu mengernyitkan kedua alisnya, "Sama ataukah kau yang mengikutiku?" Chris tertawa canggung, "Aku mana pernah mengikutimu, Aisyah. Harvard memang tujuanku sejak lama."
Sesampainya di etalase makanan, Chris mengambil nampan dan piring untuknya dan Aisyah. Pemuda itu sudah lumayan jauh mengenal tentang Islam jadi ia berinisiatif untuk menyendokkan makanan ke piring gadis itu. Beberapa potong dada ayam bumbu merah, salad sayuran, beberapa kentang, dan roti. "Minumnya apa?" Aisyah menunjuk mesin pembuat jus jeruk otomatis. "Jus jeruk saja." Seusai piring mereka terisi, lalu mereka menuju ke meja yang semula mereka tempati. Kursi di meja itu telah terisi kembali, hanya tersisa Lucy dan Bethany saja yang masih mengambil makanan. "Hari ke hari, aku perhatikan kalian semakin dekat saja. Apakah ada hubungan yang terjalin diantara kalian berdua, Chris?" Mendengarnya, Aisyah terperanjat berdiri dan spontan berkata, "Tidak!" Seketika kantin yang semula ramai, mereka langsung hening dan mengarahkan pandangannya ke meja Aisyah. Michael yang hendak menyuapkan makanannya pun sontak menghentikan gerakan tangannya dengan mulut yang sudah terbuka. "Oke, oke, santai Aisyah. Aku hanya bercanda." Ucap Michael mengisyaratkannya untuk duduk kembali. Aisyah yang merasa malu atas tindakannya tadi segera duduk dan menunduk. "Maaf." Bisiknya. "Tak apa-apa Aisyah. Michael memang hobinya begitu. Ada-ada saja dia. Kau dan aku kan tidak ada hubungan apa-apa. Hanya sebatas teman. Semua orang juga tahu itu. Tenang saja, Aisyah."
"Tenang saja, Aisyah." "Tak apa-apa, Aisyah." "Iya, Aisyah." "Selamat pagi, Aisyah." "Sampai jumpa besok, Aisyah." "Bagaimana menurutmu, Aisyah?"
Ya Allah, aku sangat menyukai cara dia menyebut namaku. Aku sangat-sangat menyukai sosok pemuda ini. Tolong kendalikan hati ini ya Allah. Aku yakin yang terbaik ada di tangan-Mu, bukan di tanganku. Tolong condongkanlah hatiku pada yang terbaik disisi-Mu. Bel masuk telah berbunyi. Pemuda itu kembali ke kelasnya dan aku ke kelasku. Aku melihat pungungnya hilang dibalik tembok persimpangan jalan. Hari ini berbeda dengan hari biasanya. Sejak saat itu, bayang-bayangnya tak pernah sirnah dari pikiranku. Hujan turun dengan lembut sorenya nyaris seperti salju. Beberapa siswa membuka payungnya dan beberapa nekad berlarian pulang. Aku adalah salah satunya yang lupa membawa payung. Aku terdiam menyandar disamping pilar sekolah menunggu hujan reda karena aku sangat mudah sakit jika terkena hujan seringan apapun itu. Sebenarnya pagi ini mama telah menyiapkan payung untukku. Tetapi aku sangat yakin kalau hari ini tak akan hujan melihat langit yang sangat cerahnya dibanding bulan lalu. Namun beberapa jam sebelum bel pulang sekolah berbunyi, angin yang semula tenang mulai muncul dan mengarak awan-awan putih itu kemari. Ia mengumpul dan menjadi gumpalan-gumpalan putih setebal bulu-bulu domba. "Kau tidak membawa payung?" Muncul sebuah suara yang sangat aku kenali dari arah belakang. Sosok pemuda itu terlihat lagi dengan payung di tangannya.
Rambut pirangnya yang berwarna kuning keputih-putihan terlihat sedikit basah dan kemeja tipis berlengan pendeknya yang bernuansa jingga itu pun terlihat tampak terkena hujan. "Darimana tadi?" tanyaku sambil mengernyitkan alis. Ia tampak mengacak-acak rambutnya yang basah itu dan menghembuskan nafasnya pelan. "Tadi Bu Catherine menyuruhku mengumpulkan formulir teman-teman sekelas untuk dibawanya pulang. Beliau akan membacanya dirumah dan besok akan memberikan bimbingan pada kami. Tetapi berhubung ketua kelasku sudah pulang terlebih dahulu, jadi aku yang disuruhnya. Kau tahukan kalau ruangan kantor Bu Catherine berada di gedung sebelah. Saat itu aku meninggalkan payungku di kelas." Aku mengangguk-angguk mengerti mendengar ceritanya. Chris memanglah pemuda yang pandai bercerita. Siapapun akan tertarik mendengarnya berbicara. Tak heran jika ia juga pandai menulis puisi. Walaupun ia lemah dibidang Fisika dan Kimia, tetapi karya sastranya tak dapat dipandang sebelah mata.
Aku masih mengingat betul saat-saat dimana ia membacakan puisi miliknya didepan kelas. Pak Stephan, guru bahasa, juga memuji akan pemilihan diksi Chris di puisi itu. Ketika itu bel istirahat berbunyi. Aku dan Bethany berjalan melewati depan ruang kelas Chris. Tampaknya Pak Stephan belum mengakhiri mata pelajarannya menunggu Chris menyelesaikan bacaan puisinya. Aku dapat mendengar suaranya dari luar sini. Entah darimana ia mendapatkan kata demi kata itu. Seperti ada sosok malaikat cinta yang membisikkan ke telinganya. Kemudian langkah Bethany terhenti ketika melihat seekor anjing sekolah yang tertidur pulas diatas rumput hijau itu. Ketika aku menoleh kearah ruang kelas Chris, tak sengaja mata kami bertemu dan berpandangan untuk sesaat. Jendela itu tak biasanya terbuka. Aku dapat melihat sosoknya dengan jelas yang memakai baju berwarna hijau tua dan tengah memegang sebuah kertas putih ditangannya.
"Dan ijinkanlah aku menikungmu
Di hari suci itu ketika tangan tuhan terbuka
Ijinkanlah aku menikungmu diantara doa-doaku."
Ia mengatakannya tanpa membaca kertas itu. Seolah-olah ia menghafal semua teks puisi yang telah ditulisnya. Ia mengatakannya tepat memandang kearahku. Aku menunduk diujung akhir kata-katanya. Membuang pandanganku kearah bawah menatap rumput hijau ini. Suara tepuk tangan mulai terdengar silih-berganti diruang kelas itu. "Seperti biasa, puisi Chris selalu berhasil menghipnotis kita semua." Puji Pak Stephan padanya.
"Bagaimana kalau kau bawa saja payungku?" tawarnya padaku. "Lalu bagaimana denganmu? Kau akan kehujanan nanti", ucapku. Ia tertawa dan terlihat sepasang gigi kelincinya. Melihatnya seakan-akan ada butiran salju jatuh satu per satu ke jantungku. Wajahku dibuatnya panas karenanya. Aku segera mengendalikan lagi perasaanku. Aku tak mau wajahku terlihat memerah. "Aku sudah kehujanan tadi. Jadi, tak apa-apa kau bawa saja payungku. Aku harap ayahku menjemputku." Ia memandang kearah langit yang gelap diatas sana. Perlahan namun pasti, hujan turun semakin derasnya seakan-akan mengaminkan doa setan untuk menjebak kami berdua disini. "Kalau ayahmu tidak menjemputmu, lalu?" Ia bergumam lalu melirik kearahku. Terlihat tatapan nakalnya. "Maka aku akan basah kuyup ketika sampai dirumah. Sudahlah jangan khawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja." Aku mencibir lalu berkata, "Siapa bilang aku mengkhawatirkanmu? Aku tidak pernah melakukannya."
Ia tersenyum lagi lalu berkata, "Sana, pulang. Gunakan payungku. Oh iya kau juga bisa meminjam ini." Kulihat ia mengeluarkan jaketnya dari dalam tas lalu menenggerkannya pada kedua bahuku. Aroma parfumnya yang khas menyeruak dan menempel ke bajuku. Sekali lagi, aku menyukainya. Aku menyukai semua tentang dirinya. Namun hanya aku dan tuhanku yang mengetahuinya. Aku mengubur dalam-dalam perasaan ini dan menancapkan belati pada hatiku agar menghentikan gelora asmaranya.
"Thank you." Ucapku seraya meninggalkannya. Aku menyadari bahwa ia masih mengamati punggungku dari kejauhan. Namun aku tak menoleh sedikitpun dan terus melangkahkan kakiku. Jalan yang terbuat dari beton ini terlihat mengeluarkan warna aslinya ketika basah oleh air hujan. Warnanya semakin pekat dan teksturnya halus. Membuatnya licin untuk siapa saja yang melintas. Didepan sana aku telah sampai di jalan yang bernama Bourbon Street nomor 66. Ingatanku memaksaku kembali pada beberapa hari yang lalu. Sore hari itu adalah saat-saat usainya ujian terakhir kami di sekolah. Chris mentraktir kita di salah satu restoran terkenal yang terletak di persimpangan Bourbon Street nomor 66 itu. Ia mengajak semua teman dekatnya. Anak-anak tim basket, teman-teman sekelasnya, beberapa adik kelas, dan beberapa siswa dikelasku, termasuk aku, Bethany, Lucy, Anne, Michael, dan Freud.
Saat itu aku berjalan disebelah Bethany menyusuri jalan Bourbon. Ketika kami semua hendak menyeberang jalan, Chris entah muncul darimana tiba-tiba ia berdiri disampingku, melindungiku dari mobil-mobil yang berhenti perlahan. Kemudian kami berjalan beriringan menyeberangi jalan raya itu. Kulihat ia terus memandang kearah kedua mataku dengan senyumannya yang manis. Aku tak bisa melupakan senyumannya saat itu. Seakan-akan ia sengaja melakukannya untuk aku ingat selalu. Entah sihir apa yang ia gunakan. Melihat senyuman itu seakan-akan waktu berhenti sejenak. Menyisakan ruang untuk kita. Saat itu dunia dan seisinya serasa hanya milik berdua, sedangkan yang lainnya hanya menumpang saja.
Aku langsung menggeleng-nggelengkan kepalaku untuk mengusir bayang-bayang itu pergi jauh-jauh. Ini adalah keadaan darurat. Alarm siaga satu berbunyi. Aku mempercepat langkahku menuju rumah dan segera mengambil air untuk wudhu. Bayangan tentangnya harus segera hilang secepatnya. Ketika kubuka pintu, kulihat mama juga baru datang dari supermarket. Sepertinya ia juga terjebak oleh hujan. Bajunya sedikit basah. Ia terkejut melihat payung yang kupegang dan jaket asing yang kukenakan. Ia juga dapat mencium parfum khas laki-laki yang menempel pada jaket ini. Tatapannya yang lembut dan keibuan tertuju padaku. "Milik Chris?" Aku hanya mengangguk dan merasa bersalah. Mama berjalan mendekat kearahku lalu membantuku meletakkan payung ke tempatnya. Kemudian ia mengelus kepalaku lembut sambil berkata, "Hati-hati ya. Jaga dirimu. Jangan terlalu akrab dengannya. Ini demi kebaikanmu." Aku mengangguk dengan patuh. "Anak yang sholehah. Ayo bantu mama masak. Satu jam lagi ayahmu pulang dari kantor." Aku segera melepas jaket dan tas sekolahku dan meletakkannya di kursi.
Sebelum menuju ke dapur, Aisyah menuju ke kamar mandi kamarnya untuk mengambil wudhu. Ukuran kamar mandi itu lumayan luas seperti kamar mandi pada umumnya di apartemen. Ada bathub nya juga disana. Namun itu masih tergolong sederhana dibandingkan apartemen di kawasan elit. Ayahnya masih belum mampu membeli tanah untuk membangun rumah. Tanah disana begitu mahal. Jadi keluarga Smith hanya bisa menyewa tempat tinggal di apartemen dan berbagi dengan penghuni lainnya. Gadis itu melepas kerudungnya dan meletakkan disana. Ia melepas tali rambutnya dan menggerai rambut panjangnya yang indah itu. Ia berwarna kuning kecoklat-coklatan dan bergelombang. Sungguhlah jika ia tak menutupnya dengan jilbab, maka malaikatpun akan jatuh cinta padanya dan bersedia untuk tinggal di bumi. Aisyah kemudian turun menuju dapur. Satu per satu dibukanya kantong plastik belanjaan mamanya. Dilihatnya potongan daging sapi kemasan, sayuran hijau, kentang, terong, dan banyak lainnya. Kemudian ia membuka kantong plastik yang kedua. Kantong itu berisikan susu kaleng dan dua botol besar jus apel dan jeruk. Lalu ia meletakkannya ke dalam kulkas. "Asma mana, ma? Belum pulang?" tanyanya. "Tadi sebelum berangkat ia meminta ijin untuk ke perpustakaan setelah kuliah. Katanya ada tugas yang harus dia kerjakan. Mungkin kakakmu itu akan pulang setelah magrib." Ketika mamanya sibuk meracik bumbu untuk memasak daging sapi, Aisyah mencari-cari pisau untuk memotong kentang dan terong itu. Pisau yang biasa digunakannya tidak ada di tempatnya. "Oh iya mama lupa. Tadi pisaunya dipinjam sama tetangga sebelah. Katanya pisau miliknya baru saja patah karena dibanting oleh John."
Ia segera menuju ke kediaman Bu Elizabeth. Diketuknya pintu kayu yang bernomor 54 itu dan si kecil John yang membukakan pintu. Aisyah tersenyum lalu duduk berjongkok. "Hai pahlawan kecil, mana mama?" Anak laki-laki itu menjawab dengan kalimat yang tidak begitu lancar. "Mama ada di ruang tv. Ayo masuk kak Aisyah." Ia menarik lembut tangan gadis itu. "Mama, ada kak Aisyah." Kemudian terdengar suara langkah kaki yang cepat dari balik ruang tv. "Aisyah ya? Mau mengambil pisau? Maaf ya tadi tante tidak sempat mengembalikannya. Sejak tadi siang John berulah terus." Keluhnya. Aisyah tersenyum. "Tidak apa-apa tante. Tidak masalah kok." Bu Elizabeth kemudian menuju dapurnya untuk mengambil pisau. John kecil masih menggelayuti tangan Aisyah dengan manjanya. Aisyah memandang kearah John dan berkata dengan kata-kata yang lembut. "John jangan nakal ya kalau papa sedang kerja. Nanti mama kecapekan." John mengangguk mengiyakan. "Kak, ayo main denganku? Aku punya mainan baru." "Nanti saja ya. Kakak mau memasak." Ucapnya lembut. John tampak memaksa Aisyah dengan wajah cemberutnya. Tak lama kemudian, mamanya datang sambil berkata, "John, bukankah kau masih harus belajar membaca? Ayo, jangan ganggu kak Aisyah yang mau memasak." Anak laki-laki itu berjalan gontai memasuki ruangannya. Aisyah tersenyum lalu pamit pulang.