"Hannah?!"
Aku mendengar dengan jelas seseorang memanggil namaku. Ya, dia adalah Kate, sahabatku. Aku hanya sedang ingin mengabaikan semua orang. Karena itu kupasang headset dari awal meninggalkan rumah, selama perjalanan hingga sampai di sekolah tadi. Lagu-lagu Linkin Park, band favoritku, mengalun kencang. Iya, aku memang sengaja memutar musik dengan volume diatas empat puluh persen.
"Hey! Kau dengar tidak?" Kate masih tidak menyerah, dia bahkan menarik lepas headset ku.
Aku merengut ke arahnya. Dengan setengah hati aku memaksakan diri menjawab pertanyaannya, yang tentu saja tidak terlalu penting bagiku.
"Aku dengar kok. Matt pacaran dengan Kristy, murid tahun junior. Padahal Gaby bilang mereka tidak putus." Aku menjawab hanya dengan satu tarikan napas.
"Kasihan Gaby. Dari awal juga anak-anak sudah memberi dia peringatan kalau Matt itu cowok brengsek." Kate memutar kursinya menghadap ke arahku dengan penuh antusias.
"Ya terus? Itu kan tetap pilihannya sendiri." Aku hendak memasang kembali headset dan melanjutkan lagu yang terputus tadi, tapi Kate menyambar tanganku.
"Kau ini benar-benar ya! Dimana empatimu sebagai teman satu kelas?"
"Aku kasihan, tentu saja. Tapi kembali lagi dia yang berhak memutuskan soal hidupnya sendiri. Dan, setiap keputusan memiliki konsekuensinya sendiri."
"Berapa sih umurmu? 40 tahun?"
"Ibuku pernah bilang kalau aku sudah berusia paruh baya ketika baru lahir."
"Hah! Ibumu sangat benar." Kate tertawa kecil mendengar jawabanku.
Tanpa kusadari aku melirik ke arah meja Gaby. Dia duduk dengan bahu merosot, membaca buku entah apa. Kami tidak dekat. Hanya sebatas teman satu kelas selama 2 tahun di SMA. Tapi tetap saja, aku pun merasakan empati kepadanya. Gaby itu tipe orang yang diam kalau tidak ditanya terlebih dahulu. Dia tidak suka bergossip. Ketika ada teman yang keterlaluan mengolok-olok yang lainnya, dia akan jadi orang pertama yang berusaha menghentikan obrolan tidak berguna itu. Singkatnya, Gaby itu baik. Dan diputus secara sepihak oleh cowok yang dia sayangi, Gaby tidak pantas diperlakukan seperti itu.
"Kau sudah selesaikan tugas Literature? Sumpah aku benar-benar tidak tahu harus menulis apa. Maksudku, untuk apa juga kita harus menjelaskan keputusan Hamlet?"
"Bilang saja kalau kau malas." sergahku.
"Memang." Kate tersenyum penuh arti kearahku.
Aku paham betul apa maksud dari senyuman dan tatapan itu. Aku menghela napas, bosan.
"Nanti malam aku kirim email." Jawabku, masih sibuk memikirkan Gaby.
"Oh Hannah Fitz, kau memang sahabat terbaikku." Kate memelukku dengan erat.
"Hentikan! Aku bisa mati sesak napas." Oke, terlalu erat.
Kate langsung melepaskan pelukannya. Tapi wajahnya berseri-seri seperti bunga sakura di awal musim semi.
"Oops...maaf." sesalnya tulus.
"Kalau aku lupa, besok pagi."
"Tentu. Tapi, kau tidak pernah lupa tuh. Selama dua tahun kita berteman."
"Tentu, tentu." aku lelah, ingin kembali mendengarkan musik.
"Mr. Cole datang!" suara Ketua Kelas tiba-tiba terdengar, memberi peringatan kepada kami semua.
Mr. Cole adalah Guru yang mengajar Kalkulus. Dari sini sudah terlihat jelas betapa Beliau bukan Guru favorit sebagian besar murid. Kalkulus adalah momok di kehidupan sekolah. Aku tidak terlalu sependapat, memang benar Kalkulus tidak mudah, tapi bukan berarti aku harus ikut membencinya hanya karena tidak semua orang bisa menguasai mata pelajaran yang satu ini. Aku tidak menyebut diriku jenius atau sejenisnya, itu sangat angkuh. Aku hanya menikmati tantangan yang diberikan dalam pelajaran ini. Ketika harus berkutat dengan angka-angka dan rumus, aku bisa melupakan hal lainnya. Semua masalahku. Kadang aku merasa ngeri dengan diriku sendiri, apakah aku benar-benar sudah kecanduan untuk mencari segala bentuk pelarian yang bisa kutemukan, hanya agar bisa lumpuh sesaat dari kehidupanku yang berat.
Mr. Cole masuk kedalam kelas, dan seketika semua murid berubah tenang. Hiruk pikuk yang terjadi satu menit sebelumnya seolah tidak pernah ada. Aku mengeluarkan buku cetak dan catatan, otakku dengan lancar beralih ke mode fokus kepada Pria berusia 52 tahun di depan kami. Bahkan, aku sudah tidak memikirkan Gaby lagi.
___________________________________
aku menyingkirkan helai rambut yang mengganggu kebelakang telinga, udara bulan Mei di Washington seharusnya cerah, tapi sudah dua tahun ini matahari sering absen dan digantikan oleh awan mendung yang membawa hujan. Yang benar saja, ini sudah menjelang musim panas. Aku mendongak, memberengut ke arah awan hitam tebal yang entah sejak kapan menggantung tepat diatas kepalaku. Angin agak terlalu kencang, hampir saja lembaran-lembaran PR ku beterbangan.
"Hahh...Ayolah, aku belum mau pulang." ucapku. Entah kepada awan atau lebih ke diriku sendiri.
Seolah langit sudah mengambil keputusan yang absolut, suara petir tiba-tiba bergemuruh menggelegar. Saat ini aku tengah duduk sendirian di bangku di dalam area pemakaman. Jangan tanya. Aku sering datang ke tempat ini untuk mengerjakan PR, karena di rempat ini tidak ada orang yang menggangguku. Hanya saja, disini terlalu terbuka untuk cuaca yang sedang tidak bersahabat. Dengan enggan aku membereskan semua buku-buku dan menjejalkannya asal-asalan ke dalam tas.
"Terima kasih. Sangat membantu." ucapku dingin, kali ini aku sungguh-sungguh kutujukan kepada si awan hitam.
Sambil mengumpat dalam hati aku beranjak pergi. Sekali ini saja aku berharap langit mendengar permohonanku.
'Tolong jangan hujan dulu, sebelum aku sampai di rumah, atau subway.'
Aku sama sekali tidak membenci hujan, sebaliknya aku justru sangat menyukainya. Awan mendung, hujan, bahkan suara gemuruh guntur yang kadang terlalu berisik. Aku menyukai semua itu. Hanya saja, saat ini aku masih membawa tas yang penuh dengan buku-buku sekolah, aku benci membayangkan kalau harus mati-matian mengeringkan semuanya nanti sesampainya di rumah. Belum juga sampai gerbang depan aku bisa merasakan ponselku bergetar dari dalam saku jaket. Sambil perlahan menurunkan kecepatan langkahku, aku mengeluarkan ponsel dan benar saja nama penelepon 'Brenda Rocky's' muncul di layar.
"Halo Brenda. Ada apa?" tanyaku segera setelah menekan tombol 'terima'
/Hannah. Hai. Maaf aku tiba-tiba menelepon begini./
"Tidak masalah. Jadi, ada apa?" tanyaku sungguh-sungguh. Aku serius, tdak merasa terganggu atau bahkan terbebani sama sekali.
Hening cukup lama dari Brenda.
"Brenda? Kau masih disana?" Aku berhenti berjalan. Fokus mendengarkan lawan bicaraku.
/Umm, sebenarnya aku mau minta tolong./ Brenda menjawab, syukurlah.
"Tentu, selama aku bisa membantu."
/Kau bisa menggantikan aku hari ini? Kumohon hari ini saja Hannah, adikku sakit dan aku tidak bisa meninggalkan dia sendirian dirumah./
Brenda terdengar ragu-ragu, tapi aku bisa mendengar dia benar-benar berharap.
"Tentu. Kebetulan aku baru saja mau pulang. Rocky's setidaknya lebih dekat daripada rumahku."
/Oh Hannah, terima kasih. Sungguh aku benar-benar tertolong./
"Hei, sudah hentikan. Jaga adikmu baik-baik, oke?"
Brenda tertawa ringan. Harus kuakui suara tawanya terdengar manis.
/Aku berhutang padamu. Minggu depan aku traktir nonton film./
"Eh, serius? Kau sendiri yang menawariku, ya?"
Dia kembali tertawa. Kali ini aku ikut tertawa bersama. Jujur aku tidak mengharapkan apapun, adiknya Julian baru berusia 11 tahun, anak yang menyenangkan. Bukan tipe pengganggu jahil apalagi kurang ajar. Jadi tentu saja mendengar kabar anak itu sakit aku tidak bisa mengabaikan mereka begitu saja.
/Deal. Minggu depan di tempat biasa, kau saja yang memilih film nya./
"Tentu. Telepon aku kalau kau butuh apapun." kataku tulus.
/Terima kasih, Hannah. Sampai jumpa./
"Sampai ketemu lagi."
Brenda mengakhiri telepon kami.
Aku mengecek jam di layar ponsel. Pukul 05.30 PM. Ruam senja. Shift kerja Brenda dimulai pukul 07.00 PM, masih satu jam lebih sebenarnya. Tapi aku benar-benar sedang luang jadi kuputuskan untuk ke Rocky's sekarang juga. Sebelum benar-benar turun hujan.
ROCKY'S BURGER adalah restoran makanan cepat saji lokal milik keluarga Parkers. Aku sudah 4 bulan ini bekerja paruh waktu disana. Brenda adalah karyawan senior yang sudah hampir 3 tahun bekerja. Dia tinggal di gedung flat yang berada di 5th Park Avenue, hanya berdua dengan Julian adiknya. Aku tidak berani bertanya mengenai Orang Tua atau anggota keluarga yang lain. Dia juga tidak pernah sekalipun menyinggung apapun soal itu. Dari situ aku bisa menyimpulkan kalau topik tersebut masuk dalam daftar tabu. Aku selalu membuat daftar tabu di dalam benakku sendiri untuk semua orang yang kukenal. Tujuannya tentu saja untuk mencegah diriku sendiri berbuat bodoh dengan mengungkit hal yang bisa menyakiti lawan bicaraku. Kolot? Sebut saja demikian. Tapi, aku serius. Siapa juga yang mau jadi tokoh antagonis menyebalkan tidak tahu diri dalam kisah hidup orang lain. Yang pasti bukan aku.
Aku terlalu sibuk mengingat-ingat daftar film yang baru rilis sampai tidak menyadari kalau sudah berada di dekat perempatan jalan terakhir. Lampu tanda menyeberang berwarna merah. Aku berdiri tidak terlalu dekat ke pinggir trotoar, Rocky's tepat berada di balik gedung apartemen di seberang jalan. Lalu lintas cukup padat, karena ini masih jam pulang kerja. Sebuah sedan sport warna kuning menyala tiba-tiba lewat. Orang-orang cukup terkejut, termasuk juga aku. Seorang wanita kira-kira berusia akhir 30 tahunan yang berdiri agak didepanku mengomel. Wajar sih, kecepatan sedan tadi kurang lebih 120 km/jam. Melebihi batas yang dianjurkan. Dengan keadaan lalu lintas jalanan yang sesibuk ini, pengemudi sedan tadi jelas tidak memikirkan resiko tinggi terjadinya kecelakaan. Aku hampir tidak menyadari kalau lampu tanda menyeberang sudah berganti hijau kalau bukan karena wanita didepanku tadi mulai berjalan menyeberang. Aku berjalan sedikit santai, belum ada pukul 06.00 PM. Masih ada lebih dari cukup waktu untuk makan sore. Tadi di sekolah aku hanya makan granola bar dan sekaleng soda waktu jam istirahat. Karena sebenarnya hari ini aku libur dari kerja paruh waktu. Gedung Apartemen ini cukup megah, jumlah lantainya tidak terlalu banyak tapi desainnya menarik. Perpaduan antara karya seni arsitektur era Victoria dan sentuhan millenial yang berhasil. Tidak berat sebelah, apalagi aneh. Rocky's sudah terlihat. Warna cat merah terang terlihat paling menonjol di lingkungan yang didominasi oleh gedung-gedung berwarna netral.
Aku melangkah masuk, banyak meja yang kosong. Hanya meja panjang di depan pantry yang berisi pelanggan.
"Oi. Hannah. Kau datang terlalu awal." Chef andalan Rocky's, Billy menyapaku ceria.
"Aku lapar Billy, ada yang sudah siap?" tanyaku sambil masuk ke area dapur lewat pintu lipat di meja panjang.
"Favoritmu Nak, Turk-Punch extra acar." jawab Billy sambil menyodorkan nampan berisi burger ukuran besar dan segelas soda.
"Kau memang yang terbaik." ucapku penuh rasa terima kasih.
Seseorang muncul dari balik ruangan pendingin, Reese, dia yang bertugas menjadi kasir dan mengurus administrasi tempat ini.
"Makanlah dengan pelan, Brenda tadi sudah menelepon." ujarnya.
Aku hampir menampar diriku sendiri. Bagaimana bisa aku lupa memberi tahu restoran kalau Brenda dan aku bertukar shift kerja hari ini. Dalam hati aku sangat lega partner kerjaku adalah orang yang cekatan.
"Baiklah, aku akan menikmati hidangan lezat ini Chef Billy, permisi Madam Reese."
Mereka berdua tertawa melihat tingkahku. Aku memilih bangku yang berada di dekat jendela sebelah barat. Dari sini terlihat jelas taman belakang gedung apartemen yang tadi. Saat ini taman itu dipenuhi anak-anak. Ada yang bermain freebies, ada juga yang duduk berkelompok dibawah pohon willow, entah sedang bermain apa. Aku baru akan menggigit burger milikku ketika pintu terbuka dan pegawai yang lebih junior daripada aku masuk. Keponakan Manager sekaligus pemilik Rocky's, Matthew Brown.
"Oh. Hai Hannah, kau bukannya libur hari ini?" tanya Matt.
"Tukar shift dengan Brenda. Julian sakit." aku menjawab singkat karena sudah tidak sabar ingin segera menikmati makananku.
"Astaga! Di rumah sakit dekat rumah mereka?"
Aku menggeleng.
"Di rumah. Kupikir hanya demam biasa. Kau tahu, anak-anak." aku tidak ingat apakah tadi menanyakan hal ini ada Brenda, atau tidak.
Matt hendak menjawab lagi ketika Reese tiba-tiba memanggilnya dari balik pantry.
"Bisa bantu aku bocah? Ada tambahan 3 karung kentang yang baru datang tadi siang."
"Aku datang, Reese." Matt berlari ke arah pantry.
Aku menghembuskan nafas lega, akhirnya bisa makan. Aku butuh asupan kalori sebelum memulai shiftku. Terdengar suara gaduh dari arah dapur. Aku samar-samar mendengar Matt berteriak kesakitan. Sambil melanjutkan kunyahan penuh nikmat dari kombinasi daging berlemak kalkun dan bebek (Turk-Punch adalah burger yang menggunakan campuran daging kalkun dan bebek untuk patty) aku kembali mengalihkan pandangan ke arah taman. Ini akan menjadi malam yang panjang.