Sebagai sebuah kota di pinggiran Massachusets, San Dimmo adalah kota yang dipecah ke dalam beberapa distrik yang dibagi ke dalam delapan penjuru mata angin di seluruh kota. Sebagai sebuah upaya pengekfetifan alur produksi, kata walikota pada saat itu. Untuk lebih jauh mendukung efisiensi itu, orang-orang yang bekerja di distrik terkait didorong untuk melakukan transmigrasi ke wilayah distrik terdekat agar emisi bahan bakar berkurang:
Distrik Selatan untuk sector Industri.
Distrik Timur untuk sector Pertanian dan Perkebunan.
Distrik Barat untuk peternakan.
Distrik Utara untuk bisnis.
Distrik Tenggara untuk Teknologi dan Limbah.
Sebuah upaya pengkotak-kotakan masyarakat, dari mana pun dilihat. Tapi tidak ada yang protes. Entah saat itu, masa lampau, maupun masa kini, selama para Manusia itu mendapatkan rumah, pakaian, dan makanan yang memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, gelombang protes dan demo akan bisa dikendalikan.
Atau lebih tepat ditekan dengan ketakutan.
Karena pada dasarnya, tingkat kematian di kota San Dimmo adalah tiga kali tingkat kematian nasional. Kota Kematian, begitu mereka memanggil San Dimmo. Kota yang tingkah kejahtan di kala malam jauh lebih besar dibanding kota mana pun di Amerika.
Tapi malam ini, pada kenyataannya, seorang perempuan keluar dengan hanya bermodalkan jaket kulit, celana ketat, dan sebuah motor sport. Ia keluar dari sebuah apartemen dengan helm full-face menutupi wajahnya, lalu melaju melintasi gelap dan sepinya malam di San Dimmo.
Orang bilang, hanya iblis dan manusia berhati iblis yang berani keluar menantang maut di malam San Dimmo.
Mereka tidak salah soal itu.
Sang perempuan memarkir kendaraannya di lapangan parkir publik di depan sebuah kelab malam.
Pandemonium.
Perempuan itu membaca papan nama yang kelab itu. Lampu Neon yang menyebutkan Nama kelab malam itu menyala terang di tengah guyuran hujan rintik-rintik dan kelamnya malam di San Dimmo. Lampu Neon yang dipasang sendiri telah berganti kilau neonnya menjadi warna pelangi yang berganti-ganti setiap dua detik sekali. Ia tidak salah jadwal.
"Lulu? Kau di sini?"
Asap kelam mengepul dari sekeliling tubuh sang perempuan. Asap itu menyelimutinya sesaat sebelum memadat, membentuk sebuah sosok baru. Seorang pria dengan tubuh atletis berkulit sewarna perunggu dan rambut hitam kelam.
"Aku terus ada di sisimu, Ami." Pria itu, yang tentunya bukan manusia, berbisik di telinga Ami dengan mesra.
Sebuah tindakan yang tidak banyak ditanggapi oleh sang perempuan. Ami malah melirik penampilan sang incubus, mulai dari rambutnya yang tidak disisir rapih sampai ke kaki telanjangnya yang melayang satu jari dari tanah.
"Kau seharusnya berganti baju," komentar Ami.
"Oh, apa Ami akhirnya tersadar dan mau mengajakku kencan?"
"Kalau itu yang tersedia dalam kamusmu." Tangan Ami lantas menunjuk papan nama Pandemonium yang bersinar terang. "Aku tidak mau datang ke sana dengan teman yang datang seperti kain pel lusuh."
"Ugh, kejam." Lulu menyeringai nakal. Tapi Ami tidak menanggapi. Sadar, tuannya sudah serius, Lulu memutuskan untuk mengalah. "Baik, baiklah. Ami Sayang. Apa pun untukmu."
Kemudian bayangan hitam menyelimuti tubuh sang iblis. Pakaiannya yang tadi hanya berupa kaus tanpa lengan yang ketat dan celana kulit ketat, lenyap dalam bayangan. Saat bayang-bayang hitam itu musnah, pakaian Lulu sudah berganti menjadi celana hitam bahan yang membungkus seluruh tungkai berototnya dengan rapih, kakinya tertutup sepatu mengilap, tapi tubuhnya, seluruh torso penuh otot dan terpahat indah itu, hanya tertutup sebuah coat. Belahan dadanya dan sebagian perutnya tampil untuk setiap mata nakal yang melirik. Tampak menggoda, tapi tidak memberikan banyak pemandangan untuk dilihat. Membiarkan semua yang cukup liar pikirannya untuk berimajinasi.
"Ah, lupa satu hal." Lulu mengayunkan tangannya dan sebuah choker dengan bentuk kerah baju dan dasi kupu-kupu muncul dari udara kosong dan melingkari lehernya. "Yaps, aku sudah siap untuk berkencan, Ami!"
Ami hanya memutar bola matanya. "Kau masih saja agak berlebihan kalau soal-soal begini."
Lulu hanya terkikik geli. "Aku bisa bilang apa? Aku dilahirkan untuk ini."
Dengan langkah normal sekarang, ia menawarkan tangan kepada Ami untuk dipegang sepanjang jalan. Tanpa kata, Ami menerima uluran tangan Lulu. Mereka berdua lantas menatap bangunan kelab malam yang besar di depan mereka. Tidak seperti kelab malam lain yang berbentuk seperti kubus menyedihkan yang berimpitan dengan semua bangunan lain di kanan-kiri, Pandemonium adalah kelab berkelas di San Dimmo.
"Siap?" Ami bertanya.
"Selalu siap, Sayang." Lulu menjawab dengan intim. "Aku hanya punya satu pertanyaan."
"Apa? Tanya saja," ujar Ami. "Mumpung kita belum masuk ke Pandemonium."
"Kontrak yang akan kau tagih selanjutnya," Lulu berkata. "Itu adalah kontrak Asmodeus, ya?"
***
Pandemonium berdiri di atas sebuah bangunan yang lebih mirip mansion daripada sebuah kelab. Bangunanya sendiri bergaya retro dengan sentuhan ornament romawi di pilar, bentuk atap. Warna hitam dan ungu gelap mendominasi warna tembok yang tampak berpendari di kala malam itu.
Terletak di ujung jalan di distrik Utara, Pandemonium menjadi tempat pelarian para pebisnis, anggota polisi korup, maupun para pejabat kota yang ingin melepaskan penat sedikit dengan musik atau langsung saja bergumul melepaskan semua hasrat mereka dalam satu malam yang panas dan indah.
Sedikit yang tahu, Pandemonium juga punya fungsi lain. Ami adalah salah satu dari sedikit pihak itu.
Ami memasuki kelab Pandemonium dengan langkah tenang dan teratur. Jaket kulit hitam yang ia kenakan, berikut celana kulit ketat dan sepatu bot berhak tinggi miliknya, membuatnya tampak membaur dengan mudah dalam keramaian Manusia yang sibuk berjoget menikmati dentuman musik. Jika lebih memilih, Ami sebenarnya tidak suka dentuman musik seperti ini. Tapi tidak setiap orang diberi kemewahan untuk memilih atau memiliki pilihan.
"Tidak peduli berapa kalipun aku ke sini, aku tidak pernah bosan!" Lulu menyuarakan antusiasmenya di sebelah Ami. Mata Iblis itu memandang hingar bingar kelab malam di sekelilingnya dengan mata liar penuh hasrat. Bagai binatang yang melihat kembali habitat yang telah lama ia rindukan. Lulu menggigit bibir bawahnya, tampak gemas pada semua ini. Ami menghela napas, lalu melepas lengan Lulu. "Pergilah dan nikmati waktumu. Mulai dari sini adalah urusanku."
"Ah, kau sangat pengertian, Majikanku!" Lulu mencubit pipi Ami pelan. "Ini tidak akan lama! Tidak akan sampai kau memanggilku lagi!"
Ami memutar bola mata. "Seolah aku mau mengambil janji ibis saja."
Tapi bahkan sebelum Ami sempat selesai menggerutu, Lulu sudah menghilang dari sisinya. Iblis itu sudah terjun ke atas lantai dansa dan ikut membaur dengan baik bersama para Manusia di bawah sana yang larut dalam lantunan lagu dan gairah. Dengan mata telanjang saja, Ami bisa melihat setidaknya ada enam pasangan yang menimati public display affection di seluruh lantai dansa. Sama sekali tidak malu menutupi hasrat mereka atau tindakan intim mereka dari mata publik.
Ami mengabaikan semua itu dan naik ke lantai dua. Tempat seorang pelayan pria langsung menghadangnya dengan wajah galak. Pelayan itu mengenakan seragam yang kurang lebih sama seperti Lulu di bawah sana: coat tanpa dalaman, celana bahan, dan sebuah dasi pita di leher.
Ami menertawakan ironi kecil itu dan mau tidak mau memuji kecocokan Lulu dengan para pelayan.
Iblis rendahan memang seharusnya berpenampilan selayaknya iblis rendahan, ujarnya dalam hati.
"Maaf, aku rasa toilet tidak ada di atas sini, Nona."
"Aku tidak ingin ke toilet." Ami merogoh ke balik saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kartu emas dengan simbol Asmodeus tergambar dalam tinta hitam di kartu itu. "Aku tamu VIP dan sudah melakukan reservasi malam ini untuk bicara dengan manajer."
Kartu itu, seketika membuat sang pelayan membelalak ngeri.
Ami senang dengan reaksi itu dan langsung berkata dengan senyum hangat di wajahnya. Senyum yang tidak pernah ia tunjukkan bahkan kepada Lulu dalam keseharian mereka sekalipun: "Nah, sekarang, kau bisa tunjukkan ke mana arahnya, Pelayan Rendahan?"
***
Di belakang sebuah pintu merah di lantai dua, terdapat sebuah lorong besar dengan pintu di kanan kiri. Setiap pintu berisikan kaki tangan masing-masing dari Asmodeus. Sebelu mereka memasuki lorong, seorang pelayan lagi akan muncul dan memeriksa kartu pengunjung. Kartu di tangan Ami langsung membuat pelayan itu takut dan berganti shift dengan rekannya, mengantarkan Ami langsung melintasi lorong panjang berisikan puluhan pintu itu.
Di masing-masing pintu, terdapat antrian Manusia, mulai dari yang tua, muda, laki-laki maupun perempuan. Semuanya membentuk antrian beraneka macam panjangnya hingga mereka sampai di pintu ke tujuh puluh tiga, Ami menghitung. Sebuah pintu merah yang lain. Ami melihat di atas pintu itu, tulisan VIP Room tercetak dalam plakat emas.
"Silakan masuk."
Pintu dibukakan untuk Ami dan tertutup pula dengan cepat di belakang tubuhnya, meninggalkan Ami sendirian di sebuah ruangan yang tidak asing.
Ruangan itu diberi pencahayaan indigo pucat dan diberi pencahayaan semia-natural dari ornament lampu lava raksasa dengan warna lavender lembut di sudut ruangan. Musik lembut juga mengalun di dalam ruangan itu, memberikan nuansa aneh. Pencahayaan yang diberian suasana atmosferik membuat semua perabotan di dalam ruangan itu tampak pucat semua dengan hanya menyisakan lampu lava yang tampak berwarna di sisi lain ruangan. Seolah dirinya dan seluruh ornament di ruangan ini adalah monokromik.
"Selamat malam, Tamu VIP-ku." Suara seorang laki-laki bergema di belakang Ami. Hanya dengan suara dan embusan napasnya, Ami bisa merasakan sekujur tubuhnya merinding oleh sensasi yang tidak akrab di tubuhnya.
Sensasi dari bangkitnya gairah. Ami tidak begitu menyukai perasaan ini.
Mata Ami melirik, tapi tidak butuh waktu lama, sosok itu berpindah bagai bayangan gelap, langsung ke hadapannya.
"Atau harus aku katakan, My Surprise Guest? Tidak aku sangka kau akan ke mari malam ini, dari semua hari, Honey."
Wujud dari pemilik suara maskulin itu berwujud seperti satu makhluk cantik. Parasnya merupakan perpaduan antara tampan dan cantik. Seperti aspek maskulinnya laki-laki dan cantiknya perempuan disatukan dalam satu wajah yang rupawan dan tidak akan pernah membosankan untuk dilihat.
Dengan mata tajam berwanra hitam, bulu mata yang lentik, bibir merah menyala, tulang pipi yang tajam, rambut pirang panjang yang mengalun lembut dalam setiap gerakan, tubuh ramping yang dibalut coat merah darah tanpa dalaman, celana panjang ramping, dan sepasang kaki jenjangnya ditutupi oleh sepatu hak tinggi yang tampak sangat menggoda, sosok itu adalah perwujudan sempurna sosok ideal bagi semua orang, dalam berbagai aspek.
"Kau mau terus berdiri di sana atau duduk dan nikmati waktumu, Darling? Aku tidak memaksa, tapi aku punya sofa yang empuk di sini kalau kau mau." Suara dari sosok itu masih merupakan suara laki-laki. Tangannya yang berjari lentik dengan kuku-kuku tajam dicat pink menunjuk ke salah satu sofa.
Ami mengangguk. "Terima kasih sudah mau menerima audiensi saya, Manajer."
"Ah, masih saja dengan panggilan formal itu." Sosok itu menepis. "Kau memiliki salah satu anggota klan-ku, jadi aku harap kau mau sedikit santai dan memanggilku dengan namaku saja."
"Tapi saya—
"Ah!" Sosok itu mengayunkan jari panjangnya ke kanan dan kiri. "Aku memaksa, Ami Sayang."
Ami terdiam, menahan diri untuk tidak menghela napas. Like master, like minions. Ami pun mengulangi salamnya lagi. Sesuai keinginan sang sosok yang sepertinya memang hanya senang melihatnya mengulangi salam berkali-kali, bukan ingin akrab.
"Saya menyambut Anda yang bersedia meluangkan waktu dan memenuhi undangan saya yang hina ini, Tuan Asmodeus."
***
Sebuah tepuk tangan menjawab Ami setelah salam itu selesai terucap. "Lihat? Tidak begitu sulit, bukan, Ami?"
Ami hanya mengangguk. Itu bukan jenis pertanyaan yang butuh dijawab. Ia mengiyakan kata-kata itu.
"Ayo, ayo, duduk! Aku punya banyak kudapan dan tempat yang luas untuk menjamu tamu tidak terduga malam ini."
Sementara Asmodeus duduk dengan pose, sambil menyiapkan meja dengan kudapan, tray, dan minuman yang muncul dari udara kosong dalam satu jentikan jari, Ami hanya bisa terdiam gugup.
Asmodeus telah mengulangi kata "Tidak terduga" sampai dua kali. Artinya kehadiran Ami benar-benar tidak diharapkan di sini. Dan ia sebaiknya menjaga agar pertemuan ini singkat, padat, dan tidak membuat sang pemimpin Lingkar Nafsu marah karena waktunya ke dunia mortal sudah diganggu oleh urusan remeh temeh.
Meski bagi Ami, urusan ini bukan urusan remeh temeh.
Setelah Ami duduk, perempuan itu barulah bicara. "Saya mau bertanya soal kontrak yang hendak kadaluwarsa yang Anda tugaskan kepada saya semalam."
Asmodeus bahkan tidak meliriknya saat mulai memakan kudapannya sendiri. Iblis itu asik meluruskan kakinya di atas sofa panjang dan menyandarkan punggungnya, memakan sebutir buah anggur saat Ami berbicara. "Kontrak yang manakah itu?"
Ami mencoba menjaga reaksinya untuk tetap hormat. Tidak menghela napas. Tidak pula terlihat kesal. Kemudian dari udara kosong, Ami menarik sebuah kontrak. Papan kontrak miliknya.
"Kontrak atas nama Eulis Mallory, Tuan." Dengan dua tangan, Ami memperlihatkan kontrak itu kepada sang ketua LInkar Nafsu. "Tenggar waktu kontraknya jatuh dua hari lagi."
"Ah, yang itu. Benar, aku ingat." Asmodeus mengubah posisinya jadi tengkurap di atas sandaran tangan sofa. "Aku serahkan kontrak itu kepadamu, Algojo. Aku rasa kau bisa menanganinya, kan? Itu sama seperti kontrak-kontrak lain yang kadaluwarsa dan aku bukan orang pemilih. Gunakan saja metode yang kau rasa paling efektif, cepat, dan bersih, My Darling."
"Saya paham, tapi…." Ami menunjuk salah satu baris di dalam kontrak itu. "Saya menemukan informasi yang janggal di dalam kontrak ini. Ada nama yang ganda di dalam kontrak. Itu menunjukkan kalau ada pihak lain yang menandatangani kontrak dengan tujuan yang sama."
"Tidak tahu."
Ami terdiam. Berusaha untuk tidak kaget, tapi sebagian dari dirinya tidak bisa tahan dengan permainan sang iblis hasrat.
"Tidak pernah dengar juga," Asmodeus menambahkan. "Aku hanya peduli pada kontrak itu dan jatuh temponya. Soal siapa yang menandatangani kontrak itu setelahnya, sama sekali bukan urusanku."
Kemudian, tanpa diminta, Asmodeus membubuhkan tanda tangan kepada surat kontrak itu. Iblis itu menyeringai.
"Tanda tangan persetujuan itu yang kau butuhkan. Ya, kan, Ami Sayang?" Asmodeus terkikik geli. "Kau masih saja terlalu mudah ditebak, Sayangku."
Ami menundukkan kepala di hadapan Asmodeus. "Terima kasih, Tuan."
Sekarang satu masalah sudah selesai. Tinggal satu lagi kepemilikan kontrak yang harud dimintai persetujuan sebelum kontrak ini habis. Ami tidak butuh cap, tapi jejak yang ditinggalkan pada kontrak milik Asmodeus itu adalah milik seseorang dari lingkar yang menurutnya agak merepotkan. Ami sebaiknya bersiap.
"Kalau begitu, saya undur diri dulu, Tuan."
"Secepat itu? Ah, kau tidak asik seperti biasanya." Asmodeus berkata saat Ami bangkit dari sofa. Ami tidak banyak menanggapi ucapan itu dan hanya berpamitan. Tapi kemudian suara Asmodeus terdengar di belakang. "Aku mengharapkan yang terbaik darimu, Ami."
Tangan Ami yang hendak meraih kenop pintu pun diam membeku. Perempuan itu kembali menoleh ke belakang, ke arah Asmodeus yang masih menyeringai kepadanya. Iblis itu mengambil sebuah kue dan menggigitnya sampai selai di dalam kue itu meleleh ke bibir. Asmodeus menjilatnya dengan gerakan sensual.
"Kontrak itu ditandatangani langsung olehku," Asmodeus menatap salah satu butir anggur hijau di tangannya. "Wanita menyedihkan, jika aku boleh berpendapat, tapi di balik tubuh lemahnya itu, hasratnya tidak terbendung. Aku sangat menyukainya."
Eulis Mallory adalah seorang perempuan, Ami mencatat informasi itu baik-baik di kepalanya. Lalu siapa orang yang ditulis bertumpang tindih dengan Eulis Mallory di kontrak tadi? Ami tidak bisa melihatnya dengan jelas.
"Kau tahu, aku hanya mau yang terbaik dari para Algojo, Ami Sayang. Dan kau Algojo kesayanganku."
Ami tersadar dari lamunan. "Saya tersanjung, Tuan." Ia sekali lagi menunduk. "Saya permisi."
Sebelum diminta untuk menunduk lagi, Ami buru-buru pergi dari ruangan itu, dan dari lantai itu. Seperti sebelumnya, para pelayan mengantarkannya keluar lantai dengan patuh. Tidak memberinya jarak atau waktu untuk lengah apalagi memanfaatkan keadaan. Meski pun mereka tidak lagi melalui jalur depan seperti saat kedatangan Ami tadi.
Setelah melewati lorong gelap, Ami tahu-tahu mendapati dirinya di depan lantai dansa.
Ia hendak memanggil Lulu, tapi di atas panggung, tepat di pole, ia melihat Lulu sedang berputar, menarik menikmati alunan lagu, sembari meliuk-liuk berdansa dengan penuh gairah. Coat yang dikenakan oleh Lulu sudah raib entah ke mana, menyisakan hanya dasi kupu-kupunya saja yang menutupi seluruh tubuh atletis yang sedang berkeringat itu. Celana panjang Lulu pun sudah entah ke mana. Sekarang Lulu hanya mengenakan sebuah celana hot pants dengan sebuah stocking panjang dan sepatu hak tinggi.
"Kalian ingin melihat satu putaran lagi?" Lulu bertanya dalam posisi kedua kakinya menjepit pole dan kepalanya mendongak sampai punggungnya melengkung.
"YA!"
Kerumunan berubah liar di sekeliling Ami. Tapi Iblis incubus di depan sana tampak menikmati semua keriuhan penonton yang memujanya. Ami menutup hidung saat Lulu berputar pelan, menyebarkan feromon ke seluruh ruangan. Perempuan itu menghela napas. Sepertinya pelayannya sedang sibuk.
Yah, bukan berarti wilayah yang akan aku datangi selanjutnya adalah wilayah yang disenangi oleh Lulu, ia membatin. Mungkin sebaiknya memang Lulu ia tinggal di klub dulu.
Berlalu dari pemandangan hingar bingar itu, Ami pun melangkah pergi ke pintu keluar. Tanpa sekali pun menengok ke belakang. Tanpa sekali pun peduli lagi. Meninggalkan Lulu sendirian di dalam kelab malam.
Ami tidak sadar, sepasang mata mengikuti ke mana ia pergi sedari ia melangkah keluar kelab. Sepasang mata yang tampak gusar dan kecewa.
***