Chereads / Ketika Cinta Dikhianati / Chapter 3 - Perjalanan ke Situ Cisanti Pangalengan

Chapter 3 - Perjalanan ke Situ Cisanti Pangalengan

Pagi-pagi, Mang Cahya dan istri, dan mereka yang ikut, telah menunggu bersiap di satu pertigaan, di bawah pohon asam. Di antara mereka ada yang tak sempat sarapan, hanya minum kopi. Ada yang hanya dengan nasi dan telur ayam kampung, yang telurnya mendadak diambil padahal sedang dieram oleh induk ayam. Namun, ada dua orang yang tidak jadi ikut, jadi total jumlah delapan orang. Untuk makan nanti di lokasi tujuan, Istri Mang Cahya telah menyiapkan nasi liwet berikut lauk-pauknya, ayam goreng dan ikan.

Mang Oben bersama Pak RT mendadak memasang kain terpal di colt pick up sebagai peneduh dari terik matahari, juga untuk jaga-jaga bila hujan turun.

Pick up pun berangkat. Di kabin depan, duduk Mang Oben dan istrinya. Pak RT menyopir.

Semua mata dari mereka berbinar karena hendak bergembira, bersenang-senang di lokasi wisata. Melupakan keseharian yang selalu berkutat dengan keringat, ke sawah ladang berpanasan, sesekali naik turun ke bukit hutan—atau bergelut dengan tanah lumpur, turun ke sawah, mencangkul ladang. Bahkan mereka juga ada yang berjorok-jorok dengan kambing, ketika membersihkan kotoran kambing di kandangnya—namun bau kotorannya tak menjadi masalah buat mereka—sepertinya sudah biasa atau tak dirasa bau. Pak RT pun yang biasa pendiam, mendadak menjadi ceriwis.

Mereka mulai melewati satu jalan yang lumayan bagus—dan harus melewati rimba, ya seperti kemarin dilewati saat Mang Cahya ke kantor pos, ke arah barat. Bila rute ke arah timur, ke tujuan malah lebih jauh, memutar, bahkan jalan pun nyaris tanah semua. Tidak bisa dibayangkan licinnya.

Colt pick up terus melaju.

Jalanan yang dilewati mulai menurun dan berkelok. Ada beberapa turunan dan tikungan tajam. Bahkan ada satu tikungan yang sangat tajam—pas menurun. Mang Oben cekatan. Lagi pula tadi sebelum berangkat, telah dipastikannya bahwa minyak rem telah penuh dan komponen lengkap rem akan berfungsi dengan baik.

Usai sekitar satu jam kemudian, tibalah pick up di pertigaan jalan raya. Bila berbelok ke sebelah kiri, jalan raya, tujuan akan ke Cianjur terus Bogor-Sukabumi-Jakarta. Sopir membelokan setir roda ke arah kanan, jalan raya menuju Padalarang, kota kecamatan pertama yang akan dilalui.

Di jalan raya, beberapa ratus meter kemudian, angin kencang bertiup. Embusannya menerpa wajah-wajah penumpang yang bersila di bagian-bagian pinggir pick up.

Di satu ruas jalan, angin lebih kencang lagi bertiup, meliuk-liukkan terpal. Walaupun begitu, semua penumpang tetap gembira, tak ada rasa takut bila sampai terpal terbang terbawa angin. Mereka sudah percaya pada Mang Oben yang telah mengikat terpal dengan kuat pada enam bilahan bambu yang berdiri.

Penumpang terlihat selalu senang, selain karena akan pergi wisata, juga karena ada beberapanya yang baru bisa menikmati bagaimana halus rasanya di jalan yang mulus beraspal di atas mobil yang menggelincir. Tidak bergoyang-goyang seperti jalan-jalan tadi yang telah dilewati di kampungnya, yang bahkan banyak, jalan-jalan tanah berbatu-batu.

Keempat roda mobil terus menggelinding.

Beberapa puluh meter lagi mereka akan melewati satu tempat situs purbakala, Gua Pawon. Untuk menuju ke sana, setelah satu pertigaan harus berbelok kiri, masuk beberapa ratus meter. Tepatnya di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Padalarang Kabupaten Bandung Barat (dulu masuk Kabupaten Bandung). Tempat yang pernah ditinggali sesepuh Sunda. Di sini juga pernah ditemukan kerangka manusia purba, yang konon adalah nenek moyang orang Sunda.

Tiba-tiba Mang Cahya ingin mampir dulu ke Gua Pawon. Lagi pula hari masih terbilang pagi. Kapan lagi ke sini.

Namun sebagian besar dari penumpang tidak setuju. "Nantilah, di kesempatan lain, lagipula tempat ini kan dekat" kata salah seorangnya.

Mang Cahya memandang ke arah kiri, ke arah Gua Pawon. Beberapa motor ojek sedang menunggu penumpang: penumpang penduduk setempat, tamu atau pun wisatawan. Mang Cahya juga melihat, jalan ke arah Gua Pawon tampak menurun dan lumayan sempit. Di sekitarnya, tampak gunung-gunung marmer berjajar. Pegunungan karst.

Kendaraan terus melaju.

Di satu tempat yang agak ramai, toko-toko berjejer, banyak kendaraan, ada beberapa penumpang yang baru tahu, ini namanya kota kecamataan Padalarang.

Kali ini, di pick up, ada anak kecil di pangkuan ibunya tertidur, atau tertidur dalam pelukan ayahnya.

Colt pick up terus melaju, masih bisa kencang karena jalan masih lengang, terus ke arah timur.

Tiba di Cimahi, Mang Cahya terkagum dengan bangunan-bangunan peninggalan Belanda, seperti Rumah Sakit Dustira atau gedung-gedung militer yang luas-luas, beserta rumah-rumah dinasnya yang banyak berjejer.

Tiba di Bandung, sopir mengarahkan menuju Jalan Diponegoro. Kapan lagi mereka akan ke sini. Mang Oben meskipun orang kampung, telah cukup banyak jam terbang menyetirnya.

Dari kejauhan, Mang Cahya melihat satu kompleks bangunan. Bangunan yang besar, megah, juga tinggi. Saat semakin dekat, Mang Cahya berseru seraya telunjuknya menunjuk. "Itu lihat! Di atas gedung ada sate!" Seluruh mata penumpang tertuju.

Sopir berinisiatif menepikan kendaraan di jalan yang agak sepi, tepat di seberang bangunan. Memang sudah sedari awal rencana sopir membawa ke sini dahulu sebelum ke Pangalengan.

Mereka takjub. Bangunan ini benar-benar megah, luas. Nyaris seluruh bangunan bercat putih. Kemudian supir memberi tahu, "Itu tempat Pak Gubernur Jawa Barat berkantor. Kantor pemerintahan tingkat provinsi. Peninggalan Belanda."

Lalu setelah merasa cukup puas memandangi gedung, istirahat, serta minum berteguk-teguk air, mereka kembali berangkat.

**

Setelah berkali-kali melewati nama-nama jalan, di mana nama-nama pahlawan tertera di muka jalan, lalu berulang-ulang pula perempatan dilewati, sampailah mereka di Bojong Soang. Di kiri kanan, masih ada empang-empang. Berisi ikan-ikan mujair, mas, nilem.

Kendaraan terus melaju. Satu pasar yang sedang sepi, juga terlewati.

Saat berbelok ke kiri, maka tibalah di Dayeuh Kolot, yang dikenal sebagai daerah banjir. Kala musim hujan, jalan raya pun tertutup genangan air dari limpahan Sungai Citarum, yang memang berada di sebelah timur Dayeuh Kolot—Sungai Citarum tidak jauh dari pasar Dayeuh Kolot. Mang Cahya menunjuk. "Itu sungainya, yang nanti di kampung kita dibendung untuk membuat Waduk Saguling. Airnya lumayan sedang deras. Kalau hujan derus selama tiga hari, ya sudah, meluap. Kita nanti kalau pulang harus memutar. Tetapi mudah-mudahan saja tidak banjir." Semua penumpang mengaamiinkan.

**

Tibalah mereka di alun-alun kota Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung. Nama yang hampir sama dengan satu kota di ujung timur Jawa Barat, Banjar. Yang ada kalanya orang ketika berbicara Banjar atau Banjaran, akan ada pertanyaan lanjutan, "Banjar Ciamis, atau Banjaran Bandung?"

Di sini, delman-delman berseliweran.

Suara berselang-selang dari klining-klining delman, terdengar, yang berasal dari pernak-pernik dandanan di sekujur tubuh kuda-kuda penariknya, yang bahkan di muka-muka kudanya, juga dipasang pernak-pernik.

Di satu ruas jalan, lalu lintas sempat tersendat karena ada delman di depan mereka berhenti, sedang menaikkan penumpang. Penumpangnya perempuan berok panjang, berbaju hem lengan panjang. Mang Cahya dari samping kiri pick up, nyaris tak berkedip melihat penumpang yang baru naik itu. Istri Mang Cahya ngambek, menepis kedua mata suaminya. "Jangan belajar yang beginian. Lagi pula, kau tidak akan laku."

Saat mata Mang Cahya masih tertuju ke arah kiri, tangan kiri Pak RT jari-jemari tangan kanan istri Mang Cahya—dan Mang Cahya tidak tahu.

Banyak rupanya delman-delman yang hilir mudik, mendominasi sepanjang jalan ini. Delman-delman terus berpapasan dengan kendaran-kendaraan lain, atau dengan honda, angkutan pedesaan trayek Banjaran-Cipatik-Tegallega Bandung berwarna coklat atau putih.

Ternyata, di jalan-jalan berserakan kotoran-kotoran kuda. Berbau menyengat. Berkali-kali istri Mang Cahya menutup hidung rapat-rapat. Kali ini Mang Cahya meledek. "Seperti perempuan kota saja, kan di kampung juga biasa mengurus kambing."

"Beda. Bau kotoran kuda lebih menyengat."

Mang Cahya memuji gadis-gadis Banjaran yang cantik. Banyak yang berkulit putih, dibuktikan dengan melihatnya sendiri. Tapi, kata Pak RT, di setiap daerah tentulah ada wanita cantik.

"Betul."

Usai batas kota Banjaran terlewati, jalanan mulai menanjak, menuju Pangalengan. Udara dingin sejuk khas pegunungan mulai terasa. Mang Cahya, dan semua penumpang merekatkan jaket. Udara dingin di sini berbeda dengan tempat tinggal mereka di sekitar Desa Saguling yang cukup panas.

Dari arah jalan berlawanan, truk-truk tangki pembawa susu sapi sekali-kali muncul. Selain Lembang, Pangalengan juga dikenal sebagai penghasil susu sapi. Hawanya yang dingin cocok untuk sapi-sapi perah, atau sapi-sapi yang dianak-pinakan. Ini didukung pakannya, rumput gajah yang banyak ditanam, subur—yang bisa tumbuh baik di dataran tinggi berhawa dingin.

Semakin lama jalan semakin menanjak. Kini terlihat hamparan perkebunan teh dan hutan pinus. Saat tiba di kota kecamatan Pangalengan, toko-toko oleh-oleh khas Pangalengan, seperti permen susu, kerupuk susu, atau dodol susu—menarik perhatian Mang Cahya—berjejer berkilo-kilo meter.

"Nanti kalau pulang, kita beli oleh-oleh." Mang Cahya bicara pada istrinya.

Colt pick up lalu melaju terus, ke arah timur.

Sebelum memasuki perkebunan teh, mereka disambut Gerbang Perkebunan Teh Kertasari.

Kembali, hamparan perkebunan teh yang luas mereka lewati. Di satu kebun, tampak pemetik-pemetik sedang bekerja.

Usai melewati satu hamparan teh, kini terlihat rumah-rumah pemetik teh. Rumah-rumah mayoritas bercat putih, berpagar-pagar bambu bercat putih, biru, berdinding gedek bambu, sebagian lagi berdinding papan kayu. Mereka berkeluarga. Anak-anak mereka bersekolah di sekitar lokasi perkebunan teh.

Memasuki lebih ke dalam lagi area perkebunan, banyak bangunan-bangunan yang kukuh berdiri. Kantor-kantor perkebunan—yang ada beberapa—rumah-rumah dinas pejabat perkebunan, juga pabrik-pabrik pengolah teh. Di pinggirnya, truk-truk pengangkut teh berjajar. Agak jauh, terdapat juga rumah sakit perkebunan.

Saat tiba di depan pabrik pengolah teh, Malabar, mereka kembali terkesima. Bangunannya warisan Belanda, begitu megah, bercat putih—walau pun sudah berumur ratusan tahun. Cerobong tungku api pengolahan teh tinggi menjulang. Pada jam-jam tertentu, asap berhamburan ke langit.

Setelah melewati satu embung, seorang anak kecil penumpang pick up kepengen pipis. Katanya sedari tadi sudah ditahan-tahan. Memang hawa dingin, bawaannya ingin pipis. Ada pula seorang ibu yang juga kepengen pipis, tapi menahan diri. Katanya, "Nanti saja, bila sudah sampai di tujuan."

Sopir beraba-aba menepi. Tempat di sepanjang jalan ini relatif sepi. Sopir memutuskan berhenti di bawah pohon eucalypus, yang berbatang putih tinggi menjulang, berdaun tipis, beraroma kayu putih—kayu yang sekeluarga dengan pohon kayu putih.

Ah rupanya bukan anak kecil saja yang ternyata kepengen pipis, tetapi juga Mang Cahya dan sopir. Keduanya mencari muka larikan teh. Tiba-tiba ada seorang penumpang yang berteriak, "Hati-hati! Suka ada ular hijau!" Mang Cahya dan sopir akhirnya tidak jadi masuk ke dalam larikan.

Memang ular hijau ada kalanya kedapatan di antara reranting tanaman teh, dedaunan teh. Badannya bertengger. Sekilas tak terlihat karena bercampur baur dengan warna kehijauan daun.

Maka, setelah pria-pria dewasa ini menemukan tempat yang cukup nyaman, walau pun masih di pinggir jalan, begitu saja kencing di bawah pohon mahoni. Keduanya nyengir saja. Tak peduli meski sesekali ada kendaraan lewat.

Usai selesai, Mang Oben yang selalu menyopiri pick up dengan hati-hati, bicara. "Di hamparan kebun teh, bila melihat ke satu titik, kelihatannya dekat. Padahal kenyataannya jauh."

"Oh begitu ya. Jadi, kalau misal ingin ke satu titik, lewat mana?" Mang Cahya bertanya.

"Lewat jalan setapak di sela-sela kebun the—larikan. Jalan-jalan setapak di area kebun teh itu juga banyak. Hati-hati suka ada yang tersesat."

Colt up kembali menderu, menuju tempat yang dituju.

Setelah melewati perkebunan yang datar, tiba pula di depan satu tempat berhalaman luas tempat parkir kendaraan. Sebagai tempat persinggahan sebelum ke Situ Cisanti, Hulu Sungai Citarum, yang dikelola Perhutani KPH Bandung Selatan, BKPH Pangalengan.

Untuk menuju Situ Cisanti, harus berjalan melalui undakan yang agak menurun—berupa jalan setapak, di kiri kanannya berjejer pepohonan khas setempat, pinus, eucalyptus, rasamala—yang daun mudanya bisa dijadikan lalap, atau kibadak—yang daunnya mirip daun jambu biji, tebal besar berwarna hijau tua bergerigi di pinggir.

Setelah sekira lima belas menit, sampai pula mereka di satu hamparan air dalam cekungan: Situ Cisanti, di kaki bawah Gunung Wayang. Mereka langsung menuju ke salah satu mata air yang mengairi Situ Cisanti: mata air Cikahuripan.

Di tanah berumput, di bawah pohon rasamala, menjelang mata air, Mang Cahya dan tetangga-tetangganya menghamparkan tikar. Bekal dari mereka: nasi, lauk-pauk dan air dikeluarkan. Nasi putih yang ditanak dari kayu bakar, ikan asin, tahu, tempe, goreng telor, dan juga sambal tentunya. Mereka makan dengan lahap.

Mang Cahya mengajak kuncen setempat untuk makan. Namun, kuncen setempat menggeleng. "Terima kasih."

Mang Cahya dan rombongan merasa kerasan. Suasananya benar-benar alami. Meskipun hari menjelang siang, udara masih terasa dingin, dan juga di atas situ yang berupa hutan, masih banyak kabut. Udara di sini lebih dingin bila dibandingkan dengan kota Pangalengan.

Tanpa diminta, kuncen tiba-tiba bicara pada Mang Cahya, "Situ Cisanti ini tempat menampung air dari 7 mata air, Pangsiraman, Cikolebere, Cikawadukan, Cikahuripan, Cisadana, Cihaniwung, dan Cisanti sendiri."

"Oh ya," Mang Cahya menjawab. "Kalau kedalaman Situ Cisanti, berapa meter?"

"Tak pernah ada yang menduga berapa dalamnya karena konon berubah-ubah. Mungkin juga karena akibat penghuni situ ini, Ratu Ular."

Kuncen tak bisa menemani lama-lama karena ada tamu lain yang hendak meminta tolong ritual di mata air. Mang Cahya menawari makan tamu ini. "Makan dulu, bareng-bareng. Nasinya banyak." Pengunjung itu hanya berucap terima kasih dan berlanjut meneruskan langkahnya bersama kuncen menuju tempat mata air—yang konon bila mandi di sini akan menjadikan awet muda.

Mang Cahya baru teringat, mereka pun belum melihat mata air. "Kapan lagi kan kita ke sini?" Mereka setuju. Setelah menuntaskan makan mereka ke sana.

Mata air itu di dasar tanah, di antara batu-batu cadas, deras mengalir—terlihat dari gelembung-gelembungnya yang tak henti. Tertampung di kolam yang kecil, kurang lebih seukuran empang musala di kampung-kampung. Namun sangat bersih.

Mang Cahya dan Mang Oben serta dua orang ibu yang percaya dengan khasiat mata air, mandi pula akhirnya. Dua orang ibu mandi dengan berbaju, ya karena mereka membawa baju cadangan. Airnya begitu dingin. Dasar kolam yang sebagian batu cadas dan batu kali, terlihat jelas.

Mereka tak lama mandi di sini. Aroma mistis sangat terasa. Kata kuncen, bila malam, sesekali terlihat penampakan makhluk astral. Terlebih di tengah situ. Konon wanita cantik berbadan ular suka menampakkan diri. Kata kuncen pula, dulu Dipati Ukur pernah bertapa di sini.

Matahari makin meninggi, namun bercahaya redup karena dihalangi awan hitam.

Usai Mang Cahya dan sebagian rombongan mandi, bersiap pulang. Untuk menuju tempat parkir, rombongan melewati pinggir Situ Cisanti. Airnya jernih. Di sekeliling Situ Cisanti ini banyak pula pemancing amatir sedang berjongkok. Mereka juga berbekal nasi, pula lauk pauk, dan payung. Padahal, tak banyak ikan di sini, hanya ikan mujair. Ya, yang namanya hobi, kadang susah dicegah, meskipun oleh istri sendiri.

Mang Cahya merasa aneh, tak ada perahu di sini. Namun sopir bilang, bahwa memang perahu akan sukar laju di sini—ada tanaman-tanaman air seperti eceng gondok. Juga tidak ada perahu, sebagai penghormatan pada mata air, yang airnya nanti mengalir menjadi Sungai Citarum, dan nanti dibendung menjadi waduk.

Sebelum sampai di sebelah selatan situ, di pinggirnya ada selokan kecil. Ya itulah awal mula Sungai Citarum, dari satu selokan kecil, semakin jauh mengalir semakin lebar menjadi sungai besar, membelah kota-kota.

Baru saja mereka meninggalkan situ, saat berjalan menuju titian tanah menanjak, gerimis turun. Mereka mempercepat langkah di jalan setapak tadi. Untunglah, hujan mulai turun ketika sudah tiba di pintu gerbang—dan mereka langsung menuju warung.

Mang Cahya dan sopir memesan kopi khas setempat, kopi Pangalengan. Rokok dinyalakan. Asapnya bercampur-baur dengan kabut.

Tidak lama, kopi pun tersaji. Saat Mang Cahya meneguk seteguk, Mang Cahya memuji, aroma kopinya berbeda dengan kopi yang biasa ditanam di kampungnya. Kopi di sini lebih wangi dan lembut.

Rombongan lain yang ikut seperti ibu-ibu dan anak-anak, hanya mengemil pisang goreng. Pemilik warung sengaja membuat dadakan.

Hujan masih saja turun. Hujan di sini sering diiringi kabut. Hawa dingin semakin menusuk di siang menjelang sore itu. Anak-anak menggigil. Untung saja pemilik warung seorang Ibu yang ramah, mempersilakan masuk ke dalam, mendekati pawon agar terasa hangat. Gigil pun berkurang, meskipun tentu saja tak bisa hilang sama sekali.

Hujan semakin deras, dan udara makin dingin. Mang Cahya dan sopir memaksakan tetap di luar warung. Duduk di bangku. Percikan air hujan yang terus mengenai kaki kedua orang ini, akhirnya memaksa untuk masuk ke warung yang dalamnya memang lumayan luas.

Isapan-isapan rokok, tetap tak henti, mengepulkan asap.

Hari pun menjelang sore, hujan belum juga reda. Mereka berencana, bila hujan masih turun, akan tetap memaksakan pulang. Rasanya tak mungkin bila menginap di sini. Tapi, salah seorang rombongan yang ikut berkata, "Kita bisa menginap di besanku."

Tapi Mang Cahya dan sopir tak setuju. Tak mau merepotkan orang lain.

Tak lama kemudian, kabut semakin berkurang. Angin yang tak hentilah yang telah meniup kabut. Cuaca pun kembali menjadi cerah. Mereka gembira karena berarti bisa pulang kembali ke kampung.

**

Dalam perjalanan pulang, di sepanjang jalan, yang kiri kanannya hamparan kebun teh, saat sore suasananya lebih sepi. Tak dinyana, tak ada hujan cuaca masih tetap saja dingin. Kembali, seluruh penumpang merekatkan jaket, sarung, atau pun samping yang dibawa.

Untuk membunuh jenuh, mereka di kabin belakang mengobrol, yang mengandung humor. Tetapi tidak yang menjurus porno karena ada anak-anak.

Jalanan kemudian menurun berbelok-belok, juga licin. Di sebelah kiri jalan berupa kebun-kebun penduduk, tertanam selada bokor, seledri, wortel, dengan dominasi kentang. Sopir ekstra hati-hati menyetir. Sekali saja lengah, bisa terlalu ke kanan itu mobil, bisa terdampar ke halaman rumah orang, ke kebun orang.

Tiba di kota kecamatan Pangalengan, mobil pick up dikepinggirkan sopir. Mereka akan membeli dulu oleh-oleh, sebagai kenangan telah pulang dari Pangalengan. Mereka menawar habis-habisan. Digondollah kerupuk susu, dodol susu, dan permen susu. Kemudian berangkat kembali.

Di satu ruas jalan, semuanya terlupa tak membeli susu segar. Namun tanggung karena bila ingin memaksakan membeli, harus menuju ke peternakan sapi yang harus dicari dulu tempatnya. Lagi pula, hari sudah senja, mereka meneruskan pulang saja.

Jam-jam berlalu, sampailah pula dengan selamat, kini telah berada di kampung asal.

**