GARA-GARA PAKET
Plakk
"Sudah berapa kali kubilang, jangan buang-buang uang untuk barang yang tidak berguna,"
Suara Abra menggemah memenuhi seluruh isi ruangan. Ia baru saja menangkap basah istrinya menerima sebuah paket dari kurir.
"Pah, ini cuman,"
"Diam. Kamu tau, aku capek-capek kerja keras, tapi kamu? Kamu bisanya buang-buang uang,"
Ia menatap nyalang istrinya yang sudah terbaring di atas lantai, tak ada niat untuk sekedar menghapus darah yang sudah melukai sudut bibir istrinya.
"Gak tau diri,"
Abra melangkahkan kakinya meninggalkan Siska seorang diri.
Bagai tertusuk belati, sakit yang Siska rasakan lebih perih dari pada hanyalah sebuah tamparan. Ia hanya bisa mengurut dada dan menghapus jejak air mata yang tak kunjung berhenti mengalir dari sarangnya.
Abra yang terkenal sholeh dan pandai menolong, pada hakikatnya adalah serigala berbulu domba.
Siska menatap paket yang terbungkus dan belum tersentuh itu sambil tergugu. Benda itu iya simpan rapi di atas rak sepatu.
Abra sudah memperingati Siska berkali-kali untuk menghentikan memakai jasa paket kurir dan membeli barang yang tidak perlu, tapi lelaki itu lupa, bahwa hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya yang sudah memasuki usia ke Delapan tahun.
Siska hanya memesan sebuah hadiah kecil untuk suaminya, sebagai tanda cinta dan kasihnya telah menemaninya sampai sekarang. Tapi justru, inilah yang ia dapatkan. Ia hanya bisa mengusap air matanya, dan mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Seperti biasa Abra tak akan mau menegur Siska jika bukan Siska yang duluan mengajaknya.
Tok tok tok
"Pah, Mama udah siapin makan malam, makan yah, Pah,"
Abra keluar dengan wajah yang masih kusut, ia tertidur tanpa menghiraukan istrinya yang sudah ia beri tanda bekas tamparan tadi.
Ia berjalan mendahului istrinya ke meja makan.
"Mamah, minta maaf, Pah."
"Maaf terus, besok ulang lagi, kamu gak kasihan sama aku yang kerja banting tulang buat keluarga kita, seenaknya ajah kamu belanjakan uang itu,"
Abra masih kesal melihat tingkah istrinya yang di nilai boros itu.
"Maaf, Pah,"
"Ah sudah, nafsu makanku jadi berkurang, dari tadi minta maaf terus." Abra membanting sendok itu ke piring yang membuat makanannya jatuh berhamburan.
Siska diam tanpa mencegah suaminya pergi, ia tau betul watak dan perangai suaminya.
"Sampai kapan aku harus seperti ini, tinggal seatap dengan orang yang sama sekali tidak bisa menghargai jerih payahku sebagai seorang istri,"
"Apakah aku harus bekerja, agar tak menjadi bebanmu, lalu bagaimana dengan ketiga anak-anak kita." ia bermonolog dalam hati.
Siska menangis dalam kepiluan, iya masih ingin bertahan dengan suaminya. Suami yang begitu ia harapkan untuk bisa berubah, seperti pertama kali mereka menikah.
Mungkin kah.
Adzan subuh telah berkumandang. Siska sudah menyajikan makanan kesukaan suaminya, berharap suaminya akan luluh, dengan memberi maaf dirinya.
Lama ia menunggu tak ada tanda-tanda kemunculan lelaki yang di cintainya. Ia terus menatap di balik pintu. Ia kemudian berdiri dan mencoba mengetuk daun pintu, tapi Abra sudah membukanya.
Abra, sudah siap dengan setelan jas kerjanya dan berlalu tanpa menoleh kearah istrinya yang sebenarnya sudah di landa kekhawatiran.
Melihat Abra mengambil kunci, sontak ia mengejar bermaksud ingin memberi bekal yang sudah ia persiapkan sejak dini hari tadi.
Tapi Abra menolak dan justru melemparkan bekal itu.
"Gak usah cari perhatian yah. Dan satu lagi, mulai besok, catat semua pengeluaran kita,"
Siska hanya diam mengangguk paham dan memalingkan wajah, berharap air matanya tak jatuh lagi.
Kini iya harus bisa mengambil sikap. Terkadang, suami yang begitu ia banggakan, justru menjadi duri di kehidupannya.