Chereads / IMPURITIES, show you my Impurities / Chapter 2 - CHAPTER 01

Chapter 2 - CHAPTER 01

Brukk…

"Hey bagaimana aku bisa melewati jalan ini kalau kau menaruh keretamu disini ha?!. Memangnya ini jalanmu?!."

"Orang-orang itu bertengkar lagi." Keluh Laudya sambil menghela nafas lelah

"Tak usah pedulikan mereka. Kita pulang dan goreng ikan, ayo!." Gadis itu menarik paksa sang nenek

Ia melirik para warga desa tadi yang mulai berkelahi. Yang satu mengeluarkan sihir apinya dan yang satu sihir angin. Sebenarnya ia tak terlalu peduli karena sudah biasa, ia hanya mengkhawatirkan neneknya yang punya sifat tidak tegaan dan berakhir ikut campur dengan masalah orang-orang

Tapi didalam hati ia sudah berjanji akan menjaga neneknya itu

Dia, Savaria Carolina, seorang Matrum yang tidak diketahui. Diusir dari rumahnya membuatnya terpaksa harus tinggal di desa bersama sang nenek. Untuk itu tak terlalu banyak warga yang mengetahui dirinya, karena dia hanya akan keluar di petang hari untuk menjemput sang nenek dari kebun sementara dirinya bersekolah di rumah saja

"Aria."

"Hm?. Nenek lelah?. Maaf, sepeda Aria bannya bocor jadi tadi dibawa pak Zura dulu." Tutur Aria seraya memeluk lengan Laudya

"Bukan itu, nenek lebih suka begini. Sekalian berolahraga." Ujar Laudya

"Lalu nenek mau ngomong apa tadi?." Tanya Aria. Laudya diam, membuat Aria menghentikan langkahnya

"Nek?."

"Waktu nenek sudah tak lama lagi."

Dahi Aria berkerut, ia kesal

"Nenek tau kan Aria gak suka bahas itu. Kita tidak tau pasal umur!." Sentak Aria

"Untuk itu Aria, apa kau … sudah menemukan tujuan hidupmu?."

Aria diam

"Setelah nenek tidak ada, kau akan kemana?. Kembali ke kota?." Ujar Laudya

"T-tentu saja tidak!. Aku bisa bekerja paruh waktu."

"Dengan seperti ini?. Kau akan diusir untuk yang kedua kalinya." Tutur Laudya

"Lantas nenek mau aku melakukan apa?. Bahkan, aku tak punya teman." Cicitnya diakhir

Laudya menggemgam tangan cucunya itu

"Aria dengarkan nenek. Nenek ingin, kamu menerima apa yang akan terjadi selanjutnya. Jangan terus-terusan menolaknya!. Kau tak bisa menolak takdir." Tutur Laudya

"Apa ini … wasiatmu?." Ujar Aria hati-hati. Laudya tersenyum

"Kau bisa menyebutnya begitu. Ah bagaimana jika makan diatas bukit?. Nenek ingin melihat matahari terbenam."

Aria mengangguk, walau kini hatinya benar-benar kacau

* * *

"~~♪♪~~. Oke sayur-sayuran sudah, beras masih banyak di rumah, kayaknya ini aja deh. Oh!. Aku pengen beli susu bubuk." Aria mengayuh sepedanya menuju warung

"Eh kamu cucunya nenek Laudya kan?."

"Emm… ya. Bibi kok kenal saya?."

"Astaga, kau tak tahu?. Nenekmu meninggal!. Kami sedang bersiap-siap kesana!."

Aria tersentak dan tanpa ba-bi-bu ia langsung melompat ke sepedanya lalu mengayuhnya laju kesetanan. Hingga sampai di pekarangan rumah

"Pak dimana nenek saya?!." Sentak Aria membuat mereka terkejut

"Nenek Laudya sudah dibawa ke pemakaman."

Aria kembali melajukan motornya. Beberapa menit ia sampai dan segera melempar sepedanya

"Nenek!."

Semuanya menengok, bahkan keluarganya. Aria menerobos kerumunan lalu melompat ke dalam tanah, ia membuka peti dan terdiam melihat jasad neneknya yang membiru

"Hiks kenapa kau meninggalkanku nek?." Tak kuasa, Aria terduduk dengan air mata yang membasahi pipinya

Sang ibunda, Leona Agustine, pun ikut melompat ke bawah dan memeluk putrinya itu

"Maafkan mama sayang, hiks. Mama gak bermaksud ngusir kamu dan-."

"GAK USAH BANYAK DRAMA!!."

Semuanya terkejut

"Gara-gara lo nenek mati." Ujar Aria mengintimidasi sambil mendorong Leona

"Aria jaga ucapanmu!." Bentak sang ayah, Vince

Sesuatu tak kasat mata menahan tangan Aria. Tapi Aria yang sudah penuh amarah membanting angin yang menahannya itu dengan keras hingga tanah menjadi retak

"Untuk apa lo nangis?. Bukannya kalian senang?. Oh iya, hartanya kan sudah kalian habiskan ditambah uang hasil penjualan obat-obatan terlarang." Seluruh warga terkejut

"Dasar kurang ajar!." Aria mengulurkan tangannya dan sang kakak, Jerome, terhempas

"Lo itu cuman seorang Matrum!." Bentak Jerome seraya bangkit sempoyongan

Semua warga kembali terkejut

"LANTAS KENAPA?!. AKU TAK PERNAH MENYERANG SIAPAPUN!. MEMANGNYA AKU LEMAH?!. TIDAK!. Kalian yang lemah, karena berlindung dibalik kekuatan sihir." Tutur Aria dingin

Semuanya tersentak

Aria kembali menatap sang nenek, seketika ia teringat pembicaraannya bersama Laudya di perjalanan pulang kemarin

"Pak, tolong kuburkan nenekku." Final Aria seraya kembali keluar

Para warga pun mulai mengubur peti Laudya. Berjam-jam sudah, tapi Aria tak pulang bersama dengan keluarganya. Hatinya sakit, ingin berteriak dan menangis. Tapi entah kenapa air matanya tak mau keluar lagi

"Sayang."

"Kembalilah ke kota. Itu pernyataan, bukan permintaan atau pertanyaan dariku. Karena kalian seharusnya di kota." Aria berdiri lalu menatap wajah keluarganya satu persatu dan menyeringai

"Kubilang pergi."

Vince menarik Jerome dan Leona kembali keluar, walau Leona bersikeras ingin tinggal. Aria menutup matanya sejenak dan mendongak, ia menatap sendu langit yang cerah itu

"Sekarang, aku harus bagaimana?. Nek." Aria berbalik dan menatap sendu nisan yang bertuliskan nama neneknya

"Satu pertanyaan yang sama, kenapa kau menolak takdirmu?."

Aria terkejut dan menatap sekeliling, ia sudah yakin bahwa disana hanya dirinya sendiri

"Siapa kau?." Aria menatap tajam

"Aria, kenapa kau selalu menolak tawaran kami?."

"Ha?. Apa maksudmu?."

Wanita mengeluarkan kartu namanya, seketika Aria terbelalak

"Aku Ashter Rosa, anggota inti Chacare. Kau pasti Savaria Carolina kan?."

Aria mundur dan tanpa diduga ia berbalik dan segera berlari menuju sepedanya

"Hahh, ternyata dugaan pak tua itu benar." Ashter menekan tombol di jamnya

Kembali lagi, Aria segera mengayuh sepedanya. Namun tiba-tiba tanah-tanah disekelilingnya menjadi tinggi dan memutarinya. Aria segera menarik rem dan menengok ke atas, lebih tepatnya ke Ashter yang tengah terbang

"Aku tak akan ikut denganmu!. Persetan dengan sihir, aku … aku hanya ingin hidup bebas. Tanpa harus lari kesana kemari." Cicitnya diakhir sambil menunduk

Ashter menatap sendu lalu menjentikkan jarinya, seketika tanah-tanah itu kembali ke tempatnya. Ashter mendarat di depan Aria

"Bukankah ini wasiat nenekmu?. Kita tak akan pernah tahu bagaimana masa depan, tapi kenapa kau selalu menghindar?." Ujar Ashter

"Karena aku takut kecewa. Orang sepertiku … tak akan pernah diterima dimana pun." Jawab Aria

"Tapi kami tidak."

Mereka berbalik

"Siapa?."

"Aku Tyran Ghazalie, rekan kerja Ashter. Chacare adalah tempat terbaik untukmu dan tentunya bukan hanya kau seorang disana."

"He jadi bukan hanya aku yang menolak kalian mentah-mentah?." Tyran mengangguk

"Kami tak akan memaksamu untuk datang sekarang. Kami akan membiarkanmu kemana saja. Tapi satu hal yang harus kau tahu, Chacare adalah tempat untukmu pulang. Tujuan dan kemana seharusnya kau pergi. Kami akan menjemput lagi, jika kau sudah siap." Tutur Tyran membuat Aria tertegun

Aria berpikir sejenak

"Baiklah, kami pamit." Tyran menekan tombol di jamnya lalu sebuah portal terbuka

"Tunggu."

Dua rekan kerja itu berhenti

"Jemput aku … nanti malam."

Ashter tersenyum

"Baiklah." Ashter dan Tyran masuk ke portal dan menghilang begitu saja

Aria kembali mengayuh sepedanya menuju rumah. Setelah sampai, Aria menatap sendu rumahnya yang sangat sepi. Biasanya ada senyum sang nenek yang menyambutnya, namun kini hanya ada keheningan

"Jangan terlalu bersedih Aria!. Ayo berkemas dan ke bukit!." Aria menatap jam

"Sebentar lagi matahari terbenam."

Aria menatap foto neneknya dan mengulurkan tangannya, dan … tak terjadi apa-apa

"He aku mengharap apa sih."

Aria menggeleng lalu kembali melangkah menuju kamarnya