Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

apa itu salafi

ara753663
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.9k
Views

Table of contents

Latest Update2
part22 years ago
VIEW MORE

Chapter 1 - part1

Semua orang memberikan tepuk tangan saat aku turun dari mimbar setelah menyampaikan sambutan tentang launching bukuku yang ke tiga, menjadi seorang penulis memang cita-citaku sejak kecil dan sekarang suatu anugrah dari allah saat aku bisa melaunchingkan tiga buku di usiaku yang baru genap 19 tahun.

"temen gue keren banget sih," Fani memeluku sangat erat, dan menatapku  haru setelah melepaskan pelukannya, ini sudah biasa di lakukan anak itu saat aku selesai memberi sambutan atas lanchingnya karya buku novelku atau saat aku selesai mengisi acara seminar di berbagai tempat, dia selalu mensuport ku dan dia juga orang pertama yang selalu mengatakan kalau aku hebat, meskipun menurutku itu terlalu berlebihan tapi aku bersyukur mempunyai sahabat seperti dia sahabat yang selalu ada saat aku Bahagia ataupun bersedih.

"mulai lo, lebay," ucapku lalu kami kembali duduk di kursi paling depan yang di sediakan panitia sebagai bentuk kehormatan, tentu saja Fani juga duduk di depan karena aku selalu mengingatkan setiap panitia acara kalau aku akan datang dengan sahabatku, dan tentunya Fani juga menjadi tamu kehormatan sebagai orang yang penting untuku.

Acara launching buku di mulai pukul 08.00 dan kini selesai bertepatan dengan adzan dzuhur berkumandang, aku dan Fani memilih untuk menuntaskan kewajiban dulu di masjid yang dekat dengan tempat acara, lalu setelahnya kami langsung pergi menuju kafe paforit kami.

"gue kapan ya bisa kayak lo Ra, kayaknya enak kalo gue bisa jadi kayak lo, gak usah cape-cape kuliah di kenal banyak orang dan punya duit banyak," ucap fani saat kita sedang asik menikmati menu makan siang.

Aku mengerutkan keningku tidak sepertinya biasanya Fani berkata seperti itu, bahkan aku bisa melihat wajahnya tidak sesemangat tadi waktu dia memuluku di acara launching buku novelku. "lo kenapa Fan, tumben banget ngomong kayak gitu,".

Fani memangkat wajahnya menatapku sekilas lalu kembali fokus pada makanannya, "gue lagi insecure sama lo bego,".

Seketika tawaku pecah melihat wajah kesal Fani, entahlah mungkin bagi orang lain hal ini tidak begitu lucu tapi menurut ku ini sangat-sangat lucu seorang fani Anggara sangat jarang sekali menyebutkan kata "insecure" di sejarah hidupnya mungkin baru sekarang aku mendengar dia mengatakan kata itu.

waktu masa sekolah dulu Fani sering kali di kenal sebagai wanita yang terlalu percaya diri bahkan dia tidak segan-segan berkata di depan semua laki-laki yang menembaknya "gue terlalu cantik buat jadi pacar Lo" dan itu sudah pasti membuat laki-laki yang menyatakan perasaan kepadanya merasa down atau malah balik membencinya.

Namun seketika aku menghentikan tawaku saat melihat tidak ada ekspresi apapun dari wajah Fani 'datar' "fan lo lagi ada masalah? Tanyku kali ini serius.

Fani menghembuskan nafasnya kasar, makanan yang ada di hadapannya sepertinya sudah tidak menarik lagi sehingga dia menggesernya ke samping dan melipat tangan kirinya lalu mengangkat tangan kanannya untuk menopang dagunya. "gue bingung Ra, sampai sekarang gue belum menemukan apa bakat gue, dan apa fashion gue? Gue mau kayak lo, lo bisa jadi penulis lo bisa lulus kuliah di usia lo yang masih Sembilan belas tahun dan lo bisa menjadi seorang CEO women di perusahaan yang lo bangun sendiri, sementara gue, buat mulai bisnis aja gue selalu gagal mau jadi penulis kayak lo gue gak suka nulis dan gak bisa merangkai kata-kata semenarik lo.

Kadang gue heran kenapa otak lo seencer itu, dan kenapa otak gue selemod ini, walaupun orang tua gue gak pernah nuntut apapun dari gue tapi gue merasa malu belum bisa ngasih apa-apa ke mereka bahkan sampai sekarang aja gue masih pake fasiitas dari mereka".

"Fan, semua orang punya kelebihannya masing-masing, lo gak bisa nuntut diri lo supaya bisa jadi gue atau jadi orang lain, lo bisa jadiin orang lain sebagai motivasi buat lo tapi gak seharusnya lo maksain diri lo buat jadi kayak mereka, di dunia ini gak ada orang yang gak punya kelebihan, hanya saja kita butuh sabar dan ikhtiar buat nunggu itu semua, jangan terlalu keras sama diri lo sendiri.

Terkadang kita memang sulit untuk mencari bakat, tapi kita semua punya hobi Fan, lo punya hoby yang bisa lo kembangin, kalo lo hoby main music terus kembangin sampai lo bisa jadi ahli music, lo hoby gambar terus kembangin sampai lo bisa jadi pelukis, lo hoby baca terus kembangin sampai setidaknya lo bisa jadi guru—".

"tapi hoby gue belanja baju, selfi-selfi, jajan, ngabisin duit orang tua gue,".

Aku tersenyum menatap fani yang masih belum mengerti maksudku, aku tau sekarang adalah masa-masanya Fani mencari jati dirinya, setelah tujuh tahun aku hidup dengan dia baru kali ini aku melihat dia seperti ini, "lo anak sosmed, seharusnya lo bisa manfaatin itu semua Fan,".

"dengan cara?".

"cari tahu sendirilah,".

"bangke lo,".

Aku kembali tertawa melihat wajah kesal Fani setelah tadi serius mendengarkan nasihat ku, percayalah Aku tidak berniat untuk menyusahkannya aku hanya berniat untuk membuatnya sedikit berfikir karena mandiri bukan hanya nguci baju dan mandi sendiri tapi juga butuh berfikir sendiri jika terus-terusan di kasih tahu maka otaknya tidak akan bisa berfikir sendiri sampai kapanpun sekalinya bisa juga pasti lemod, seperti Fani hehehee....

Setelah makan siang selesai Aku Kembali ke kantor karena ada janji dengan rekan bisnisku jam dua nanti, sementara Fani Kembali pulang ke rumahnya dia ada kelas malam jadi dia ingin mengcharger tenaganya dengan menghabiskan waktu siang ini untuk tidur, begitu katanya tadi sebelum kami berpisah di pertigaan.

Sebenarnya Aku juga sangat Lelah, menjadi seorang CEO bukanlah pekerjaan yang mudah seperti tadi yang di katakana Fani, orang-orang memang banyak yang  mengatakan Aku wanita beruntung karena bisa sukses di usia muda seperti sekarang, tapi percayalah mempertahankan keberuntungan itu tidak mudah bahkan terkadang Aku harus rela mengorbankan waktu istirahat dan waktu tidurku hanya untuk lembur menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai.

Jika semua orang mengira menjadi CEO amatlah mudah, sungguh itu sebuah kesalahan yang besar, memang lumrahnya CEO hanya terlihat memerintah bawahannya saja tapi pada kenyataannya di balik itu semua ada tanggung jawab perusahaan yang di sandarkan ke bahunya.

"selamat siang Bu Zira, Pak Bima sudah datang," ucap santi sekertarisku.

Dan bahkan saat aku baru saja duduk di kursi kebesaranku harus rela Kembali berdiri dan memutar otak saat nanti berbicara dengan rekan bisnisku.

"suruh dia masuk,".

"baik Bu, akan Saya panggilkan untuk kemari,".

Selang beberapa menit saat Santi keluar dari ruanganku muncul sosok laki-laki muda berdiri dengan gagahnya di hadapanku setelah dia mengetuk pintu dan aku menyuruhnya untuk masuk.

Pak Bima juga memang merupakan laki-laki yang sukses di masa muda, umurnya baru genap dua puluh tiga tahun dan dia sudah berhasil membangun perusahaan tanpa bantuan ke dua orang tuanya. Perawakannya yang gagah kulit putih dengan ukiran wajahnya  yang nyaris sempurna.

Ini pertemuan ke dua kami setelah satu bulan yang lalu, aku sengaja memilih bertemu di kantorku karena memang waktuku yang tidak banyak, dan untungnya Pak Bima juga tidak merasa keberatan.

"kerja sama kita berjalan dengan lancar, kemajuan perusahaan Saya juga semakin meningkat setelah berkerja sama dengan perusahaan Anda, Bu Zira, saya sangat berterima kasih untuk itu semua,".

"perusahaan bapak juga perusahaan besar di kota ini, jadi kemungkinan besar kemajuan itu tidak hanya terjadi karena bergabung dengan perusahaan Saya pak, dan saya juga mengucapkan terima kasih Kembali atas kepercayaannya terhadap perusahaan Saya,".

Tidak banyak yang kami bahas di pertemuan kali ini hanya membahas tentang perkembangan perusahaan setelah menjalin kontrak kerja sama, dan untungnya kontrak kerja sama kami nyaris mulus tidak ada masalah sama sekali Aku beryukur untuk itu dan tentunya itu juga berkat para karyawanku yang ikut menjalankannya dengan baik.

"Bu Zira, apa kita ada waktu untuk berbincang-bincang di luar?" setelah selesai membahas pekerjaan kini Pak Bima bertanya dengan sedikit ragu.

"maksudnya, berbincang-bincang seperti apa Pak?" Aku Kembali bertanya sebenarnya aku sedikit paham maksud Pak Bima tapi Aku hanya ingin memastikan dan takut salah mengartikannya..

Pak Bima terlihat gugup, ia membenarkan posisi duduknya yang terlihat kurang nyaman. "Ah maksud Saya, berbincang-bincang di luar pembahasan mengenai pekerjaan, yah itung-itung untuk menambah ke akraban kita,".

Tebakanku benar, namun justru sekarang Aku bingung untuk menjawab apa? Jujur saja Aku sering kali menolak saat rekan bisnis ku menawarkan ajakan seperti Pak Bima tapi kali ini sepertinya aku sulit untuk menolaknya, bukan karena apa, tapi kerja sama perusahaan kami sedang naik daun jika aku menolak aku takut Pak Bima tersinggung dan berpengaruh pada kontrak kerja kami.

Walaupun Aku lihat Pak Bima sangat professional tapi bukan itu yang ku maksud jika hubungan Aku dengan dia tidak baik maka tidak akan rasa kenyamanan di anatara kontrak kerja sama ini. Aku yakin siapapun mengerti posisiku sekarang.

"insyaallah Pak, jika ada waktu nanti," jawabku akhirnya.

Pak Bima tersenyum seperti merasa sedikit puas dengan jawabanku. "Saya tahu anda sangat sibuk Bu Zira, dan sayapun begitu namun Saya berharap semoga waktu itu akan ada,".