Masa sekarang.
Air danau keruh kehijauan tak terusik. Jadrian Alan memejamkan mata, merasakan betapa rileks tubuhnya berada di dalamnya. Hewan-hewan air bergerak melewatinya dengan tenang, tidak terganggu sama sekali dengan tambahan individu dalam populasi air danau.
Ini adalah cara yang tepat untuk merilekskan tubuh. Jadrian bisa saja berjam-jam berada di dalam air, mengambang di tengah-tengah kedalaman danau, tak terusik. Ia bagaikan mayat tenggelam kalau-kalau ada Manusia yang iseng pergi ke danau untuk berenang dan tak sengaja menemukannya.
Samar-sama terdengar panggilan dari pemilik suara bariton.
Jadrian membuka mata, kemudian berenang naik. Kepalanya lolos dari permukaan air.
Topaz sudah berdiri di dermaga, berkacak pinggang, mengamatinya dengan sebelah alis terangkat.
Jadrian berenang mendekati dermaga, kemudian menaikinya.
"Apa?" tanya Jadrian.
"Nihil," jawab Topaz.
Jadrian ingin kembali menceburkan diri ke dalam danau untuk melanjutkan meditasinya. Perasaan frustasi sudah semakin tebal menyelimuti dirinya bagaikan benda usang berdebu.
Apakah sudah saatnya menyerah?
Tidak, dia tidak ingin.
Sepuluh tahun telah berlalu, melebihi tahun yang biasa ia gunakan sebagai batas untuk tinggal di satu kota yang berbeda.
Sepuluh tahun bisa saja banyak hal telah terjadi. Dami mungkin saja...
Ia segera menggeleng, menolak setiap kali dugaan itu menghiasi isi kepalanya. Sepuluh tahun sama sekali tidak sebanding dengan satu abad kebersamaannya dengan Dami, adik perempuannya, satu-satunya keluarga yang ia miliki.
"Kau sudah 'minum' belum?" Topaz bertanya. "Kau semakin tua dan menyedihkan." Ia berkomentar, mengamati Jadrian yang sangat kurus dengan garis-garis keriput di permukaan kulit.
Vampir tentu bisa merasakan penderitaan. Tanpa darah manusia mereka tidak akan bisa menjadi abadi. Tanpa darah manusia tubuh mereka akan mengerut, menjadi buruk rupa, namun tetap tidak akan bisa membuat mereka mati sebelum jantung mereka ditusuk dengan paku perak.
Jadrian tidak butuh minum. Ia menundukkan kepala, memandang pantulan dirinya dari permukaan danau yang hijau.
Wajahnya tampak sangat mengerikan. Seperti melihat seorang manusia renta yang menunggu ajal. Tapi dia bukan manusia. Dia adalah makhluk yang diberkati dengan kutukan keabadian.
Di belakang pantulan dirinya terlihat pantulan awan bagaikan gerombolan domba.
"Ck," Topaz memutar bola matanya. Ia mungkin tidak bisa mengerti sepenuhnya penderitaan yang dirasakan Jadrian, tapi tentu saja ia merasa muak menghadapi Jadrian yang setiap hari semakin tidak memiliki keinginan untuk hidup.
Topaz dapat melihat keputusasaan Jadrian telah mengakar. Mengacaukan kehidupan Vampir itu karena telah kehilangan satu-satunya keluarga yang dimilikinya.
Bagi Jadrian kehidupan tidak lagi penting jika tanpa dengan keberadaan Dami.
Dulu, Jadrian pernah menyesali takdir yang mereka dapatkan. Ia dan Dami tidak pernah sekalipun menginginkan perubahan ini. Namun demi Dami, Jadrian mencoba untuk dapat menerima dan melanjutkan hidup. Hingga satu abad telah berlalu tanpa mereka sadari.
Jadrian telah terbiasa dengan keberadaan sang adik. Tanpa Dami, buat apa dia terus hidup dengan menanggung kutukan ini?
Angin berdesir, dedaunan pohon berkeresak, permukaan danau tersibak halus seolah memiliki kulit yang melapisi. Bayang-bayang awan di permukaan danau bergerak.
Jadrian pun menyadari keanehan itu. Ia menengadah, awan-awan di langit terlihat normal. Ia kembali mengalihkan pandangan pada permukaan danau.
Pada pantulan danau, awan-awan membentuk huruf-huruf yang dapat jelas dibaca.
VARLAS.
--
Varlas telah berubah semenjak pemberontakan werewolf.
Hanya butuh satu tahun meringkus pemberontak werewolf, Pembasmi dengan sangat cekatan mengamankan kota besar tersebut sebelum kota benar-benar mengalami kehancuran fatal.
Varlas telah bangkit kembali. Sepuluh tahun berlalu dan Varlas telah menjadi kota modern. Bangunan pencakar langit di mana-mana. Jalan-jalan raya raksasa tertata rapi, atas dan bawah.
Perbedaan paling besar adalah sekarang kota ini lebih berpolusi dari pada di masa lalu. Industri meluas, menguasai kota.
Jadrian menyayangkan betapa sulitnya melihat langit biru ketika mereka sampai di pusat kota.
Langit di atas kota seperti dilapisi kabut tipis. Kabut itu adalah hasil samping kegiatan industri dan selalu menjadi topik seru dalam acara debat di televisi serta menjadi alasan rakyat dan para aktivis lingkungan berdemonstrasi.
Topaz mengemudikan sedan tua berwarna biru miliknya yang terlihat ketinggalan jaman, namun terlihat antik, tanpa ragu melesat melewati mobil-mobil mengkilat di jalan raya. Sementara Jadrian duduk di kursi penumpang samping kemudi, sama sekali tidak bersuara.
Hanya Topaz yang dapat memahami ekspresi sobatnya itu saat ini, bahwa Jadrian sedang merasa gelisah.
Topaz tidak mengerti apa yang telah terjadi. Tiba-tiba saja Jadrian mencetuskan nama kota ini, mendesak jika mereka harus segera berangkat.
Varlas adalah kota yang meninggalkan kenangan buruk bagi Jadrian. Selain merupakan lokasi terakhir menghilangnya Dami, di Varlas pula mereka berdua mendapat pengalaman buruk terlibat dengan pemberontakan werewolf.
Setelah penyerangan di terowongan kereta bawah tanah, mereka berdua, dan semua eksistensi non manusia yang berada di lokasi ditangkap oleh Pembasmi, kemudian dipenjarakan. Meskipun mereka bukan pelaku, mereka tetap dituduh karena identitas mereka sebagai eksistensi non manusia.
Begitulah para Pembasmi. Mereka tidak pandang bulu. Sebab mereka membenci semua eksistensi kecuali eksistensi mereka sendiri.
Butuh waktu yang sangat lama sampai mereka dapat terbebas dan dipastikan bersih tidak terlibat. Mereka nyaris dipenjara selama satu tahun.
Jadrian sudah berusaha melaporkan Dami yang mungkin dibawa pergi oleh kelompok werewolf pemberontak kepada Pembasmi, dengan harapan mendapatkan bantuan. Namun rupanya tindakan itu adalah hal yang bodoh.
Pembasmi tidak peduli dengan kasus hilangnya seorang bocah Vampir. Hal itu tidak masuk dalam daftar kewenangan pekerjaan mereka.
Kereta bawah tanah Defour telah disulap menjadi bangunan stasiun modern terbesar di dunia. Jumlah penumpang tetap membludak, namun bangunan stasiunnya sudah dibangun ulang.
Tidak sama dengan sepuluh tahun lalu, bangunan stasiun tidak lagi kumuh dan temaram. Kini bangunannya megah dan terang benderang. Lantai berkeramik licin yang selalu dipel oleh petugas kebersihan. Fasilitas modern telah mengisi stasiun serta toko-toko makanan telah berjejer ramai, tentu tidak akan ada orang yang kelaparan selama menunggu kereta seperti di masa lalu.
Meski pun sudah dibangun ulang, di beberapa bagian strukturnya tetap sama. Jadrian masih hapal persis.
Ia menuruni eskalator dengan tidak sabar, membiarkan pasang kakinya melangkah mengikuti firasatnya. Kembali ke tempat ini membuat luka lamanya terbuka.
Salahnya karena telah melepaskan tangan mungil Dami. Salahnya karena telah meninggalkan Dami berdiri sendirian.
Jadrian terus melangkah menerobos arus pengguna stasiun. Hingga akhirnya ia menuju ke lorong yang sangat ia kenali.
Ia berharap akan melihat sosok kecil Dami di sana. Seorang bocah perempuan dengan mata cokelat terang yang akan segera menyambutnya dengan pelukan.
Namun bukan seorang bocah Vampir yang berdiri di sana, melainkan seorang gadis manusia.
Di antara kesibukan pengguna stasiun, gadis manusia itu berdiri tepat di mana seharusnya Dami berdiri menurut perkiraan Jadrian.
Gadis manusia itu berambut hitam tebal yang berantakan hingga menutupi wajahnya, berdiri dengan kepala tertunduk. Ia mengenakan baju tidur berwarna biru bergambar tokoh kartun kura-kura di balik mantel panjang berwarna cokelat.
Jadrian berdiri di seberang gadis itu, bertanya-tanya mengapa gadis itu berdiri di sana walau ia tidak bisa menghakimi siapa saja yang boleh berdiri di sana.
Tiba-tiba kepala gadis itu terangkat, poninya yang panjang nyaris menutupi pasang matanya yang berwarna cokelat terang. Kemudian bibir gadis itu membuka, meloloskan sebuah kata dengan berbisik, namun dapat terdengar jelas di telinga Jadrian.
"Jade..."
--
"Kau yakin...?" Topaz berusaha memahami situasi namun hal ini sungguh tidak masuk akal.
Mereka berdua berdiri di bawah bayang-bayang pohon peneduh dealbata di taman sebelah dekat pintu masuk stasiun Defour.
Jadrian memandang si gadis manusia remaja, yang mungkin berusia 16 hingga 17 tahun, duduk tak jauh dari tempat mereka berada.
Kemiripan itu sungguh tidak dapat disangkal.
Tapi apakah ini mungkin terjadi? Bagaimana bisa seorang Vampir berubah menjadi manusia kembali? Tidak hanya berubah, juga tumbuh dewasa.
Hingga sekarang tidak pernah terdengar kabar adanya pengobatan yang dapat merubah para makhluk terkutuk menjadi manusia kembali.
Hal itu sangat mustahil dilakukan.
"Aku akan berbicara kepadanya," kata Jadrian.
Topaz mengangguk mempersilakan.
Gadis itu tersenyum ketika melihat Jadrian mendekat. Perasaan Jadrian kembali goyah ketika melihat pasang mata berwarna cokelat itu memandang ceria. Tidak dapat dipungkiri mata itu membuatnya teringat pada Dami.
"Dami?" Jadrian memanggil ragu.
Gadis itu segera mengangguk tanpa ragu merespon panggilan itu.
Itu sungguh namanya.
Jadrian mengambil duduk di sebelah si gadis manusia. Ia mengamati lekat-lekat wajah si gadis manusia, masih berusaha memastikan. Dan tetap saja tidak dapat dipungkiri jika wajah itu sangat familiar sekaligus asing baginya.
"Kau pasti terkejut," kata Dami.
Suaranya berbeda. Tentu saja. Dia bukan Dami bocah Vampir berusia enam tahun, melainkan gadis manusia remaja.
"Apa yang telah terjadi?" tanya Jadrian.
Dami terdiam sesaat. "Aku... Aku tidak ingat apa pun."
Jadrian mengerutkan dahi. "Coba lah pelan-pelan." Bujuknya. "Misalnya hal terakhir apa yang kau ingat."
Dami pun terdiam untuk berpikir sejenak.
"Hal terakhir yang aku ingat adalah... ketika kau pergi untuk menyelamatkan seorang anak kecil yang terjatuh," jawab si gadis manusia setelahnya. "Saat terowongan dipenuhi werewolf..."
Giliran Jadrian yang terdiam untuk mencari memori yang dimaksud oleh Dami.
"Kau yakin? Bukankah itu terjadi sepuluh tahun lalu?" Tanya Jadrian, terlihat ragu.
Satu-satunya memori yang persis dengan jawaban Dami adalah pada saat terjadinya pemberontakan werewolf, yaitu sepuluh tahun lalu, tepat pada saat sebelum ia melepaskan tangan Dami.
Dami mengangguk ragu kemudian mendadak menjadi bingung dengan jawabannya sendiri.
"Sepuluh tahun... lalu?" Dami mengulang pelan, kemudian menunduk memandang kedua tangannya.
"Apa yang terjadi, Dami?" Jadrian berharap menemukan jawaban. "Kau berubah."
Dami mengangkat wajahnya kembali, mengerjapkan mata memandang Jadrian.
"Aku tidak ingat apa pun," Jawab Dami, seperti bertanya kepada dirinya sendiri. "Aku juga tidak mengerti mengapa aku tidak ingat."
"Coba pikirkan lagi," Jadrian tidak menyukai hal ini. Ia meremas kedua bahu Dami. Sungguh tubuh manusia yang hangat. Ia memandang mata gadis itu lekat-lekat seolah dengan begitu jawaban mungkin akan segera muncul.
Mustahil gadis ini adalah Dami. Mustahil.
Gadis manusia itu, Dami, membalas tatapan Jadrian dengan sorot mata kosong sekaligus pasrah. Gadis manusia itu benar-benar tidak ingat apa pun.
"Aku..." Dami tergagap. "Aku akan mencoba mengingat." Ujarnya.
Seharusnya Jadrian segera mencegah, karena tak berapa lama setelahnya Dami menundukkan kepala, meringis kesakitan.
"Dami...!" Panggil Jadrian segera.
Jadrian mengangkat wajah Dami untuk mengecek apa yang telah terjadi. Wajah gadis itu merah padam menahan rasa sakit, darah segar telah mengucur dari sebelah lubang hidungnya.
Jadrian terpaku.
"Mari kita pulang," Jadrian segera memutuskan.
Dami atau pun bukan, gadis manusia ini perlu segera dirawat.
"Kau harus beristirahat."[]