Rico terhenyak, saat dering suara ponsel menyentakan konsentrasinya. Ia seg mengeser tombol hijau. Tangannya meraih benda pipih itu dan di tempelkan di telinganya.
Suara dari seberang sana, sangat panik. Rico mengerutkan keningnya. Fillingnya ada sesuatu yang terjadi.
"Ada apa, Jonas?" tanya Rico penasaran.
"Tuan Sanjaya, Rico!"
"Ada apa dengan Papa?" tanya Rico cemas.
"Ia masuk Rumah Sakit!" seru Jonas dengan Napas yang tersengal- sengal. Mendengar itu, Rico beranjak dari tempat duduknya. Tak percaya dengan ucapan sekretaris Papanya itu.
"Apa? kenapa dengan Papa, Jonas??"
"Tuan Sanjaya terkena serangan Jantung, ia tak sadarkan diri! Suster menemukan dia tak sadarkan diri!" seru Jonas panik.
"Astaghfirullah! aku akan segera pulang!"
"Kami menunggumu, Rico!"
Lalu Jonas menutup panggilan teleponnya. Rico Sejenak menatap kosong di depannya.
"Papa!" desis Rico lirih. Mendengar Papanya terkena serangan jantung. Ia tak percaya. Bagaimana mungkin? padahal baru kemaren mereka membicarakan Papanya menyuruh ekspor Batubara ke Korea Selatan.
Rico mengusap keringat yang hadir di pelipisnya, mengelap dengan tisu dan membuangnya di kotak sampah tak jauh dirinya berdiri.
Ricardo, panggila Rico. usia 25 tahun. Lulusan Universitas Xalia di AS. Badan tinggi, gagah. Mata coklat, punya hidung mancung. Dan aura ketampanan yang memukau. Anak dari pasangan Sanjaya dan Mutia. Ricardo anak sulung. Sedang adiknya masih kuliah di Inggris, semester Lima. Anna namanya. Mama Ricardo sudah meninggal enam bulan lalu.
Rico langsung terbang ke Indonesia. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan akhirnya tiba Di Indonesia. Ia langsung menuju RS. Bertanya pada Resepsionis. Lalu setengah berlari menuju kamar Sanjaya. Begitu sampai di ruangan kamar RS. Ia terhenyak, melihat Ayahnya terbaring di kamar, selang menempel di hidungnya
Layar monitor berdetak naik turun. Yang masih menandakan adanya kehidupan. wajah Sanjaya sangat pucat. Rico menatap nanar lalu mencium tangan Sanjaya lembut.
"Papa! ku mohon cepet sehat ya, aku masih butuh Papa," gumam Rico lirih dan kembali mencium tangan Sanjaya.
Air mata mengembun, melihat kondisi Papanya seperti itu. Jonas yang berada di sampingnya menepuk pundak Rico. Mengerti apa yang di rasakan Bos mudanya itu. Ia Menguatkan juga beri dukungan untuknya.
"Gimana kejadiannya Jonas?" tanya Ricardo sendu.
"Entah Rico,Suster di rumah yang menemukanya," ucap Jonas sendu. Sejak Mamanya Rico meninggal sebulan yang lalu Sanjaya sering mengeluh sakit. Dia juga sering merindukan Almarhumah.
Pintu terbuka. Laki-laki paruh baya memakai seragam putih itu menyunggingkan bibirnya. Rico menoleh kebelakang. Sebisa mungkin menyembunyikan kecemasan di hadapan Ricardo.
"Met siang, anda anaknya Pak Sanjaya?" tanya Dokter itu sambil mengulurkan tangannya. Dan menjabat tangan Ricardo.
"Iya Dokter, saya Ricardo," kata Rico beranjak
"Bagaimana keadaan Papa saya, Dok?"
Sejenak Dokter terdiam lalu menarik napas panjang. Namun memasang wajah ramah.
"Papa kamu terkena serangan Stroke," ucap Dokter pelan tapi mampu buat Rico shock. Jantungnya berhenti berdetak. Dunia yang di pijak seolah runtuh. Udara di kamar ini mendadak sesak.
Dokter melanjutkan ucapanya kembali.
"Tangan dan kakinya susah di gerakan, tapi bisa pulih ketika dia menjalankan terapi,"
"Lakukan yang terbaik untuk Papa Dokter,"
"Baiklah Rico, saya akan lakukan yang terbaik untuk Pak Sanjaya,"
"Saya pergi dulu, ada pasien yang mau saya periksa," pamit Dokter itu dan berlalu dari hadapan Rico.
****
Kakiku melangkah menuju ruangan Tanganku menarik kursi dan mendudukan bobot tubuh di atasnya.
Lita yang berada di sebelahku menarik kursi mendekat. Tampak sangat serius di wajahnya. Aku menatap lekat dan berharap dapat jawaban.
"Ada apa Lita? Sepertinya ada yang penting?" tanyaku penasaran.
"Eeh, ada berita duka! Tapi juga ada kabar baiknya juga," seru Lita panik. Aku menatap lekat temen baruku ini.
Keningku berkerut dengar berita duka itu.
Aku sampai mengurungkan niat untuk sarapan.
"Owner kita masuk RS. Terus untuk sementara puncuk pimpinan di pegang oleh anaknya. Tapi kabarnya anaknya itu ganteng banget! masih single pula!" seru Lita dengan hebohnya bahkan ludahnya sampai keluar. Aku melongo mendengar ucapan Lita. Bukan simpati dengan berita Pak Sanjaya yang masuk Rumah Sakit. Tapi malah heboh dengan berita anak Owner yang ganteng itu.
"Innalilahi, sejak kapan Pak Sanjaya sakit?" tanyaku tak ingin menanggapi kehebohan Lita yang mengebu itu.
Kening Lita berkerut mengingat sesuatu.
"Katanya kena Stroke, eeh tapi aku kepo dengan anak Pak Sanjaya itu. Katanya ganteng banget!" seru Lita masih dengan kehebohan yang sama.
"Udah aah pagi- pagi jangan gosip, mending sarapan aja yuk!" ajakku sambil meraih tangan Lita. Namun ia malah menahan tanganku. Padahal aku tak tertarik dengan ucapan Lita itu. Tentang anak Pak Sanjaya yang super ganteng itu. Toh aku udah punya pacar.
"Bentar Ina! aku belum selesai cerita!"
"Napa lagi sih!"
"Katanya anak Pak Sanjaya ganteng banget, nanti aku bantu jomblangin yak!" ucap Lita memohon. Kedua tangan di tangkupkan di dadanya.
"Hmm, baiklah. Tapi temani aku sarapan yak!"
"Oke deh!"
Mereka berdua menuju kantin. Setelah selesai makan. Seluruh karyawan di kumpulkan untuk menyambut kedatangan CEO baru. Lita sangat bersemangat. Maklum saja dia jomblo.
Seseoarang turun dari mobil. Langkahnya tegap. Gagah dan berwibawa. Mataku mengejap berkali- kali memastikan dia adalah laki- laki yang sangat aku benci. Dan ternyata benar. Ricardo. Laki-laki yang telah mengoreskan luka yang dalam di hatiku.
Aku menundukan kepala, tak ingin melihat sosok masa laluku itu.
Aroma wangi Clive Cristian. Menyapa di penciumanku. Sejenak aroma itu mengingatkan aku bersamanya.
Namun suara bariton mengagetkanku.
"Jangan menunduk! kalau ada bos datang, angkat kepalamu! mau aku pecat hehh!" teriak Ricardo tepat di hadapanku. Spontan aku langsung menatap lurus ke arah Ricardo. Benci, marah juga kaget. Tangganku mengepal menahan amarah. Kalau bukan atasanku pasti udah ku tonjok dengan tangan.
"Maaf Pak," ucapku lirih namun masih terdengar di telinga Ricardo. Sedetik Kemudian kami saling bertatapan. Ia menatapku. rasa bersalah menyelamuti di kedua bola matanya. Namun aku balas dengan melotot. Ini adalah bentuk protesku padanya. Lita yang berdiri di sampingku heran. Tak percaya yang baru saja di liat. Sedetik kemudian Ricardo berlalu di hadapanku. Lita yang berdiri di sampingku penasaran. Heran.
"kamu kenal Ricardo, Raina?" tanya Lita. Mendadak hening tak ada suara yang muncul di antara mereka. Kompak menatap ke arahku. Namun aku lekas geleng kepala. tak ingin bawa masalah kerjaan ke dalam kantor. Berharap Lita tak tanya lebih dari ini. Sedetik kemudian Mereka bubarkan diri. kembali ke tempat kerja masing-masing. Aku menarik napas pelan.
Udara di ruangan ini terasa plong. Namun Mataku tiba-tiba mengembun. Saat kenangan buruk melintas di kepala.
Hadirkan sakit yang kembali menyapa di hati. Kakiku melangkah menuju tempat kerjaku. Aku mendudukkan bobot tubuh. Lalu menyalakan komputer. Sejenak pura- pura konsentrasi sengaja agar Lita tak menanyakan sakit hatiku.
Bersambung.