Malam semakin larut, ia merasa tubuhnya terasa berat ditambah kepala yang sangat pusing dan mengantuk. Penglihatan semakin kabur, dan sesaat kemudian ia meraih lengan seseorang ingin meminta bantuan. Namun ia tidak bisa melihat jelas siapa itu, hanya aroma maskulin yang kuat yang dapat ia cium dengan indera penciumannya. Kini bibirnya yang sedikit terbuka diblokir dengan paksa oleh seseorang yang tak dapat ia lihat dengan jelas. Ia mencoba melawan, tetapi pria itu tidak memberinya kesempatan. Dia melahap bibirnya dengan rakus. Ia berusaha menolak ciuman pria yang menurutnya sangat aneh. Akan tetaupi ia merasa sangat bersemangat? Detik berikutnya, ia merasakan sakit di bagian bawah tubuhnya. Sensasi rasa sakit yang kuat ini membuatnya kewalahan.
Pagi itu, sinar matahari keemasan bersinar melalui tirai gorden yang sedikit tersingkap hingga cahaya menerangi semua ornamen di ruangan megah ini. Pakaian berantakan terlempar ke mana-mana di atas karpet putih. Aroma samar bercinta masih ada di udara.
Di ranjang itu masih ada sosok seorang gadis yang bertubuh ramping yang terlihat tubuh bagian atasnya yang tidak tertutupi selimut dengan memiliki wajah oval kecil. Fitur wajahnya halus dan indah. Kulitnya seputih salju. Rambut hitamnya menutupi tulang belikatnya, dan samar-samar terlihat bekas merah yang tertinggal di sana. Seolah-olah seperti bunga mawar yang bermekaran di mana-mana.
Dalam tidur nyenyaknya, ia tiba-tiba mendengar suara pintu dibanting terbuka, meskipun rasanya ia tidak ingin membuka matanya, tetapi ia masih memaksa dirinya untuk membuka mata dan bangun. Saat ia membuka matanya dengan sempurna, tepat di luar pintu yang megah, ia melihat wajah garang suaminya Aditya Pamungkas dan ekspresi terkejut ibu mertua serta ipar perempuannya.
"Mas Adit," ucap Khalisa sambil menggosok kedua matanya dengan kedua tangannya. Seketika tatapannya jatuh pada sprei, selimut, lantai, dekorasi, dan seluruh ruangan, pikirannya menjadi kosong untuk sesaat. "Ini bukan kamarku, jadi di mana ini?" batin Khalisa bertanya pada dirinya sendiri.
"Mas Adit, dimana ini?" Khalisa bertanya kepada suaminya karena ia kesulitan untuk mengingat apa yang terjadi semalam.
Aditya mencibir, dan wajahnya yang tampan penuh dendam. Ia pun berteriak, "Beraninya kamu bertanya padaku di mana kamu berada? Katakan padaku, dengan siapa kamu menghabiskan malam ini!"
Khalisa menyipitkan matanya dan mencoba mengingat apa yang terjadi tadi malam, tapi tetap tidak bisa. Yang ia ingat bahwa ia sedang minum anggur dengan Nisa di kafe. Setelah itu ia tak ingat lagi.
Kini adik iparnya, Yuliana dan ibu mertuanya, Mariana, memasuki ruangan Mariana berkata kepada putrinya yang berjalan disebelahnya, "Yul, ambil foto kakak iparmu yang bagus itu setelah dia tidur dengan pria lain!"
"Tidur dengan pria lain?" Otak Khalisa meledak. "Aku …, aku tidak ...." Khalisa menggelengkan kepalanya dan mencoba menjelaskan situasi ini.
Pada saat ini, ibu mertuanya, Mariana, berjalan ke depan tempat tidur dan menarik rambut panjang milik Khalisa sehingga memperlihatkan dada dan lehernya. Ada lebih dari selusin tanda ciuman yang mencolok dari tubuh Khalisa.
"Ambil gambar dengan jelas!" kata Mariana lagi kepada putrinya.
Yuliana mengambil gambar dengan semangat tinggi sambil mencibir, "Kakak ipar, kamu bersenang-senang tadi malam!"
Khalisa menundukkan kepalanya kesakitan. Melihat tanda di dadanya, beberapa adegan memalukan muncul di benaknya. Dia pikir itu mimpi. Namun ternyata ini jelas, bukan mimpi!
Khalisa melihat panik ke wajah Aditya yang menariknya, kini ekspresinya sangat dingin. Matanya yang tajam menatap dingin padanya, seolah-olah dia sedang menatap sepotong sampah. "Bagus sekali, Khalisa kamu berani selingkuh dalam waktu setengah tahun pernikahan kita. Aku tidak peduli dengan siapa kamu semalam. Mari kita berpisah!" Setelah mengatakan itu, ia melangkah pergi tanpa melihat wajah Khalisa tiba-tiba menjadi pucat dan tidak berwarna.
"Tidak, Mas Aditya, dengarkan aku. Ini bukan seperti itu …," pinta Khalisa. Ia yang masih telanjang memegang selimut dengan erat dan ingin mengejarnya. Namun seseorang mendorongnya dengan kasar ke tempat tidur. Itu adalah ibu mertuanya, Mariana. Ia menatapnya dengan kaget dan berkata, "Ibu …."
"Kamu tidak punya hak untuk berbicara denganku, kamu wanita yang tidak tahu malu. Beraninya kamu selingkuh di belakang putraku? Kamu membuat malu keluargaku. Biarkan aku memberitahumu, keluarga Pamungkas sama sekali tidak akan mentolerir wanita jalang sepertimu," Mariana menegur menantu yang tak tahu diri itu.
"Bu, sudah selesai," ucap Yuliana dengan bangga sambil memegang ponselnya di tangannya. "Kakak ipar, kini ada bukti perselingkuhanmu sekarang. Jika kamu tahu apa yang baik untukmu, ceraikan Mas Adit segera atau semua foto-foto ini ke pengacara dan menuntut kamu untuk bercerai," lanjut Yuliana.
Di tempat tidur, wajah Khalisa pucat, dan air mata menggenang di matanya. Tanda ciuman di tubuhnya dan rasa sakit di bagian bawah tubuhnya membuatnya panik dan merasa tidak nyaman. Ia tidak memiliki ingatan sama sekali tentang peristiwa yang terjadi tadi malam. Ia segera memunguti pakaian yang berserakan di lantai dan bergegas ke kamar mandi. Saat ia menangis kesakitan, dia menggosok tubuhnya dengan keras. Sepertinya seorang pria aneh telah mencemarinya.
Sore harinya, Khalisa kembali ke vila dalam keadaan linglung. Di aula yang terang, Aditya duduk di sana, tampak seperti iblis. Di matanya yang gelap, ada badai yang mengamuk. Dia menatapnya, seolah-olah dia akan mencekiknya sampai mati pada detik berikutnya.
Semua yang ia temui pagi ini merupakan pukulan fatal dan berat bagi Khalisa. Ia tahu tidak ada gunanya menjelaskan apapun padanya. Khalisa menatap suaminya yang berada di sofa. Dia mengambil napas dalam-dalam dan berkata, "Mas Adit, aku setuju untuk bercerai, tetapi saya ingin 10% dari saham ayah saya kembali. 5% lainnya adalah kompensasiku kepada kamu."
Mendengar ini, ekspresi Aditya berubah. Ia baru saja mengkonsolidasikan posisinya sebagai presiden. Jika dia mengambil 10% dari saham, prestise dan otoritasnya akan terancam, dan ia bahkan mungkin diturunkan dari posisinya sebagai presiden.
Dia melangkah maju dengan dingin dan mencibir, "Khalisa, kualifikasi apa yang kamu miliki untuk memintaku berbagi? Kamu telah mengkhianatiku dan menipuku. Dan kini kamu ingin menyingkirkanku dengan 5% saham?"
"5% saham masih bernilai lebih dari 500 juta dolar. Apakah kamu pikir kompensasi 500 juta tidak cukup?" jelas Khalisa berdebat dengan cara yang masuk akal. Saham ini dimiliki oleh ayahnya sebelum kematiannya beberapa bulan yang lalu. Ia tidak bisa memberikannya kepada Keluarga Pamungkas secara gratis begitu saja karena ia merasa ada yang tidak beres.
Mata Aditya bersinar dengan kejam. Ia melangkah maju dan mencengkram leher Khalisa.
"Khalisa, dengarkan aku. Kamu tidak bisa mengambil kembali bagianmu. Bagaimanapun juga kamu harus menceraikanku. Jika kamu ingin pergi ke pengadilan, kamu akan mengalami nasib yang lebih buruk daripada kematian," ancam Aditya.
Aditya menikah dengan Khalisa setengah tahun lalu karena perjodohan untuk menguntungkan bisnis kedua belah pihak.
Khalisa melebarkan matanya dan napasnya pendek.
"Mas Adit! Saham ini milik ayahku. Kembalikan padaku," teriak Khalisa dengan suara serak.
"Sekarang, itu milikku. Kamu tidak bisa mengambilnya dariku. Khalisa, tanda tangani dan keluar, atau aku akan membuatmu menghilang dari dunia ini." Aditya melemparkannya ke lantai dengan keras. Dengan ekspresi sedingin batu, dia menjatuhkan perjanjian perceraian. "Tanda tangani!" bentak Aditya pada Khalisa yang mencoba bangun dari lantai.
"Aku tidak akan menandatanganinya," Khalisa menggigit bibirnya. Ia tidak mau meninggalkan pernikahannya tanpa membawa apa-apa.
"Jika kamu tidak menandatanganinya, kamu tidak hanya akan kehilangan sahamnya, tetapi juga reputasi kamu serta nyawa kamu juga," ancam Aditya.
Khalisa gemetar ketakutan. Ia mengangkat kepalanya dan menatap pria yang telah berjanji untuk mencintainya. Pada saat ini, dia hanya kejam, kejam, dan ganas. Kini ia hampir mati lemas karena dicekik oleh suaminya itu. Khalisa benar-benar putus asa saat nafasnya naik turun akibat kehabisan oksigen itu.