13 Maret 2033.
Hari Minggu.
Sepasang langkah kaki berlari di jalan raya yang dibasahi oleh hujan.
"MAMA!" seorang bocah laki-laki yang berumur 16 tahun itu terus berlari dan memanggil.
Heningnya suasana malam pada hari itu, membuat suaranya jelas dan lantang.
"MAMA!" teriaknya lagi sambil berlari, dengan merengutkan keningnya, serta panik dan ketakutan.
Namun, Suara tembakan terdengar dengan sangat jelas, langkahnya terhenti, tanpa disadari matanya meneteskan air mata.
Dia melihat Mamanya terbunuh tepat di depannya.
"Aku berjanji! Aku akan menyelamatkanmu suatu saat nanti Mama!" katanya sambil menjulurkan tangan, berharap sang mama menggapai tangan nya.
Tiba-tiba pandangannya menjadi buram, dan semakin lama menjadi gelap, lalu dia terjatuh...
"Kak Gavin!"
"Kak Gavin! Bangun!"
Tidak lama, bocah berumur delapan tahun yang bernama Gavin langsung terbangun, dengan air mata yang mengalir ke pipinya.
Gavin terdiam sangat lama, dan menyadari bahwa itu hanyalah mimpi. Namun kepalanya juga sedikit pusing dan sakit.
Pandangan nya agak sedikit buram, lalu dia menoleh ke jendela Gor Taekwondo dan menutupi sinar matahari yang membuat matanya silau.
Suara teriakan dan tepuk tangan pun terdengar kencang dari barisan bangku penonton, membuat pertandingan taekwondo itu menjadi pecah dan heboh.
"Akhirnya Kakak sadar juga!" ucap seorang gadis sambil memeluk Gavin dengan gembira.
"Kakak gapapa kok, Davina." balas Gavin dengan mengelus lembut rambut sang adik.
Gadis itu adalah Adiknya Gavin, bernama Davina Aureliya Darmatari, berumur delapan tahun.
"Lho? Kak?" ucap Davina sembari menatap mata Gavin. "Kakak kenapa menangis?" tanya Davina dengan raut wajah yang sedikit khawatir.
"Oh, tadi Kakak bermimpi, sangat aneh sekali." jawab Gavin sembari memegang kepalanya dan membuatnya heran.
Tiba-tiba seorang wanita berlari, dari barisan bangku penonton.
"Ya ampun sayang! Kamu gapapa kan?" tanya wanita itu yang langsung berlari memeluk Gavin.
"Gavin gapapa, Bun!" jawab Gavin membalas pelukan Bunda dan tersenyum samar.
Wanita itu adalah Ibundanya Gavin, bernama Renatha Putri Darmatari.
"Kamu kepanasan nggak? Bunda ambilkan kipas ya untukmu, cuaca hari ini sangat panas sekali," kata Renatha yang khawatir dengan keadaan Gavin.
"Nggak perlu, Bunda disini aja ya." balas Gavin sembari memegang tangan Renatha dengan tersenyum.
"Iya nak," ucap Renatha sembari mengambil air putih, lalu diberikan ke Gavin. "Sebaiknya kamu minum dulu ya sayang."
Datang seorang pria yang geram pada Gavin berkata, "Gimana sih lu jadi anak! Muka lu pada memar tuh, posisi lu pas jatuh tadi sangat fatal!"
Pria ini adalah Ayahnya Gavin, bernama Hendrawan Santoso.
"Oh iya, pertandingannya gimana?" tanya Gavin dengan antusias.
"Pertandingannya sudah selesai, Alvina yang memenangkan kompetisi ini." jawab Hendrawan dengan wajah yang muram dan sedikit kecewa pada Gavin.
"Oh Alvina lagi ya yang menang." ucap Gavin dengan raut wajah yang sedih.
"Harusnya kali ini tuh, lu yang menang! Kenapa selalu Alvina terus! Nggak malu emang kalah sama perempuan?" kata Hendrawan dengan nada bicara yang sedikit keras.
Renatha yang mendengar perkataan Hendrawan yang sangat keras pada Gavin, emosi nya langsung memuncak.
"Kamu jangan gitu dong, Hendra! Yang penting Gavin sudah melakukan yang terbaik di kompetisi ini!" kata Renatha yang tidak setuju dengan ucapan Hendrawan dan membela putra nya.
"Halah! Pokoknya di kompetisi Taekwondo selanjutnya, kamu ya yang harus menang!" tegas Hendrawan dan menatap tajam ke arah Gavin.
"Aku janji, Ayah!" ucap Gavin dengan suara yang pelan namun berusaha meyakinkan sang ayah.
"Jangan janji aja lu!" tegas lagi Hendrawan.
Gavin menatap Hendrawan dengan raut wajah yang murung, lalu dia pindah toleh ke Renatha yang sedang menatap Hendrawan dengan penuh amarah.
"Yang sabar yah, jangan emosi terus." ucap Davina dengan lembut dan mengelus bahu sayang Ayah.
"Yaudah, Ayah panggil tim medis dulu," ucap Hendrawan sembari mengambil tas ransel Gavin. "Kalian tunggu sini."
Hendrawan lalu berjalan meninggalkan mereka untuk menghubungkan tim medis.
Gavin yang sedang duduk di matras olahraga hanya menghela nafas melihat kepergian sang Ayah.
Gavin menoleh ke barisan tempat duduk penonton, dia melihat Kakek dan Neneknya yang sedang memperhatikannya.
"Apakah Kakek dan Nenek akan marah ya padaku?" ucap Gavin yang sedang panik memikirkan omongan dari Kakek dan Nenek nya.
"Nggak akan kok," celetuk Alvin dan Alvina berbarengan.
Datang sepupunya Gavin menghampirinya. Yaitu Alvin dan Alvina.
"Mereka nggak akan marah, percaya denganku," ucap Alvin sangat lembut dan menepuh bahu Gavin.
Gavin mengerutkan keningnya, dan merasa tidak percaya dengan perkataan sepupunya itu.
"Apakah iya?" tanya Gavin dengan tatapan tak percaya.
Alvina berjalan ke arah Gavin dan memasang muka bersalahnya, "Gavin! Aku minta maaf!"
"Iya gapapa, aku baik-baik aja kok," ucap Gavin tersenyum ramah.
Alvin langsung menoleh ke Alvina, dengan tatapan nya yang sedikit emosi pada Adiknya.
"Kamu juga sih dek! Terlalu kasar dengan Gavin!" ucap Alvin dan menyentil dahi adiknya karna sudah kasar ke Gavin.
"Ya mana aku tau, kan ini pertandingan!" balas Alvina dengan nada jutek nya dan beralih memandang sekitar ruangan.
Gavin kembali menoleh ke barisan bangku penonton, tiba-tiba Kakek dan Neneknya tidak ada disana.
Ntah kemana pergi Kakek dan Neneknya, karna dia asik berbicara dengan kedua sepupunya.
Gavin merasa sedih, dan kecewa pada dirinya sendiri. Dia sudah menebak kalau Kakek dan Neneknya akan kecewa pada dirinya.
"Davina! Aku minta maaf atas apa yang terjadi dengan Kakak kamu!" kata Alvina ke Davina yang tepat berada di samping nya.
"Gapapa kok, yang penting kamu sudah membuat bangga nama keluarga kita," balas Davina dan tersenyum ramah ke Alvina.
"Begitupun juga Gavin, walaupun juara dua, dia sudah membuktikan kalau keluarga kita ini hebat semua," celetuk Alvin dengan wajah yang bahagia dan tersenyum kepada gavin.
"Terima kasih sudah menyemangatiku, Alvin!" balas Gavin dengan senyum tipis.
"Tapi memang fakta kok, Bianco dan Nigel juga pasti sepemikiran dengan aku," kata Alvin.
"Terima kasih ya Alvin, Tante sangat bangga deh sama kamu, begitupun dengan Alvina juga," celetuk Renatha sambil mengelus kepala Alvin dan Alvina.
Hendrawan kembali datang bersama dengan tim medis. Gavin akhirnya melakukan sedikit perawatan disana, mengingat dia mendapatkan luka yang cukup serius akibat pertandingan Taekwondo tadi.
Setelah itu mereka semua kembali kerumah.
***
Rumah, sore hari.
Sesampainya dirumah, suasana agak tenang, dan langit pun berwarna jingga. Gavin dan sekeluarga sedang asyik berkumpul di ruang tamu. Namun setelah kedatangan Bapak Sudarsana beserta dengan Istrinya Asmarani. Suasana yang tadinya tenang menjadi tegang setelah ia datang.
"Ada apa? Bapak?" tanya Renatha dengan menatap Bapak Sudarsana kebingungan.
"Ada yang harus saya sampaikan ke keluarga kita," jawab Bapak Sudarsana sembari memegang kepalan tangan kanannya dan menggoyangkan kakinya.
Keluarga ini adalah Keluarga Darmatari, di pimpin oleh kepala keluarga bernama Sudarsana, serta istrinya Asmarani.
Mereka berdua mempunyai anak.
Anak pertama bernama Renatha Putri Darmatari, menikah dengan Hendrawan Santoso, serta kedua anaknya yang berumur delapan tahun bernama Gavin Elfredo Darmatari, dan Davina Aurelia Darmatari.
Anak kedua bernama Adibrata Putra Darmatari, menikah dengan Jessica laila, serta anak kembarnya yang berumur 8 tahun bernama Alvin Putra Darmatari, dan Alvina putri Darmatari.
Anak ketiga bernama Alfonso Putra Darmatari, menikah dengan Velma Sadajiwa, serta anak pertamanya yang berumur delapan tahun bernama Bianco Adnan Darmatari, dan anak keduanya yang berumur tujuh tahun bernama Nigel Evano Darmatari.
"Ada yang harus saya sampaikan ke keluarga kita," jawab Bapak Sudarsana.
"Sebaiknya kalian dengarkan, dan jangan ada yang menyela pembicaraan Bapak," celetuk Ibu Asmarani dengan suara yang sangat tegas.
"Baik, kami siap mendengarkan," ucap adibrata dan fokus kepada Bapak Sudarsana.
"Seperti yang kita lihat, pada kompetisi Taekwondo tadi, anak-anak telah menunjukan potensinya dalam bertarung ke kita semua. Terutama Gavin dan Alvina." kata Bapak Sudarsana yang menatap ke kedua cucu kesayangannya.
Gavin yang mendengar perkataan Bapak Sudarsana langsung menunduk kan kepalanya, lalu terdiam, panik, dan ketakutan.
"Apa Kakek akan memarahiku?" tanya Gavin yang mencoba memberanikan diri menatap kakek nya.
Bapak Sudarsana langsung tertawa dan tersenyum lebar mendengar ucapan cucunya itu.
"Hahahaha! Marah? Untuk apa Kakek marah? Kakek sangat kagum dengan kamu dan Alvina. Kamu sudah berjuang dan melakukan yang terbaik pada kompetisi tadi!" jawab Bapak Sudarsana dengan senyum yang lebar, serta kedua tangan nya mengancungkan jempol
Semua yang berada di sana pun tersenyum mendengar ucapan Bapak Sudarsana.
"Iya, benar. Untuk seorang anak berumur delapan tahun sudah hebat mencapai di titik itu. Dan kalian cucu-cucuku sudah membuktikannya, kalau kalian ini memang yang terbaik," celetuk Ibu Asmarani.
"Tapi, Kakek menyadari sesuatu. Bahwa Gavin ini masih terlihat lembut pada lawannya, dan masih merasa kasihan," kata Bapak Sudarsana Sudarsana mengingat kejadian saat pertandingan tadi.
"Mungkin, karena yang dia lawan itu sepupunya, dan mengingat umurnya yang masih delapan tahun, wajar saja jika dia seperti itu," celetuk Renatha sambil menunjuk ke Gavin.
"Tapi, kamu kan tahu, kalau keluarga kita ini sangat tidak mentoleransi yang namanya hati nurani pada musuh. Sudah jelas salah jika dia seperti itu," balas Alfonso dengan nada yang lantang dan beralih menatap tajam, lalu menunjuk ke arah Gavin.
"Aku setuju dengan Renatha. Gavin ini masih anak-anak, kita tidak bisa mentanamkan pikiran buruk ke anak kita. Tindakan Gavin sudah sangat bagus," celetuk Adibrata sambil menunjuk ke Gavin.
"Itu memang benar, tapi gue setuju dengan Alfonso, menanamkan pikiran seperti itu, dari umur segini memang hal yang bagus. Jika tidak? Lihat saja apa yang terjadi pada Gavin, malah luka-luka gini kan? Akibat perlakuan dia?" ucap Hendrawan menatap Gavin dan menggelengkan Kepala nya.
"Tapi menurut saya..."
"Kalau menurut saya..."
"Menurutku..."
Semua orang yang ada disana menunjuk ke arah Gavin, itu membuatnya sangat tidak nyaman.
Tubuhnya bergemetar, menoleh ke kanan dan kiri, keringat yang mulai mengucur di kepala, lalu merasa pusing, cemas dan panik. Dia menutup telinganya dan pergi dari ruang tamu itu.
"Kakak!" panggil Davina dengan cemberut.
Davina berdiri dari tempat duduknya, ia ingin mengejar Kakaknya, namun tertahan oleh Hendrawan.
"Biarkan Kakakmu sendiri, dia perlu banyak berpikir." kata Hendrawan dan mengajak Davina duduk kembali.
"Baik, Ayah." ucap Davina dengan murung.
***
Halaman belakang rumah.
Gavin berlari ke halaman belakang rumahnya, dan duduk sendirian di kursi ayunan sambil menangis.
"Sudah kuduga! Banyak yang akan marah padaku!" ujar Gavin sambil menangis.
Gavin memukul pipi kanan dan kirinya, sebegitu kecewanya dia pada dirinya sendiri.
"Aku benci dengan diriku sendiri!" ucap Gavin.
Datang seorang gadis menghampiri Gavin berkata, "Hey! Kamu jangan seperti itu!" ucap gadis itu jengkel, sembari duduk di samping Gavin. "Kamu jangan menangis! Berhenti melukai dirimu sendiri!"
"Biarin aja! Nggak ada yang perduli padaku!" balas Gavin dengan raut muka yang sendu.
"Aku perduli denganmu! Gavin! Kalau kamu terus seperti itu, aku akan sedih!" tegas gadis itu menggenggam tangan Gavin untuk meyakinkan nya.
"Sedih? Apakah benar?" ucap Gavin dengan nada tak percaya.
"Tentu saja! Aku paham kok, kamu pasti lelahkan? Banyak yang berekspetasi lebih padamu, tapi kamu malah mengecewakannya," jawab gadis itu sambil mengusap air matanya.
"Iya! Aku lelah!" ucap Gavin emosi.
Gadis itu menatap Gavin, dia memperhatikan wajahnya yang memar, tubuhnya yang lebam, dan air matanya yang menetes terus menerus.
"Yaudah, lebih baik tenangkan dirimu, habis itu kita kembali ke dalam ya." ujar gadis itu tersenyum manis.
"Nggak! Aku nggak mau kembali kesana!" Tegas Gavin mengelak.
"Gapapa kok, aku akan temani kamu." Ucap gadis itu tersenyum tipis.
"Beneran? Kamu janji kan?" Tanya Gavin berharap sang gadis tidak meninggalkan nya.
"Janji!" Jawab gadis itu dengan sangat antusias
"Terima kasih ya! Felisha! Aku sangat senang kamu ada disini!" Kata Gavin dan tersenyum ke arah Felisha.
"Iya, terima kasih kembali juga, Gavin!" Ucap gadis bernama Felisha itu dan membalas dengan senyuman ramah.
Felisha dan Gavin pun memutuskan untuk masuk ke dalam ruang tamu lagi.
***
Ruang tamu.
Gavin akhirnya kembali bersama dengan Felisha.
"Terima kasih ya, Felisha! Telah membantu menenangkan Gavin." Ucap Ibu Asmarani dengan senyum yang sangat ramah dan mengelus pundak Felisha.
"Iya, terima kasih kembali juga nek!" Balas Felisha tersenyum ramah.
"Tuh lihat aja! Apa pantas anak ini disebut hebat?" Celetuk Hendrawan dengan nada angkuh nya.
"Cukup Hendrawan!" Tegas Bapak Sudarsana dengan suara yang lantang.
Yang berada di ruang tamu pun terkejut mendengar nada lantang pak Sudarsana.
"Maaf, Bapak!" Ucap Hendrawan dengan nada yang sedikit membaik dari sebelumnya.
"Maafkan kita semua ya, Gavin!" Ucap maaf Bapak Sudarsana dan berjalan menghampirinya, lalu memeluk Gavin seolah kasih semangat untuk cucu nya.
"Iya, Kakek. Aku maafkan." Ucap Gavin membalas pelukan sang Kakek.
"Sebaiknya akhiri saja pembicaraan ini, kita lanjut saat makan malam nanti." Kata Bapak Sudarsana yang perlahan melepas pelukan nya kepada Gavin dan berjalan meninggalkan semua nya.
"Baik, Bapak!" Ujar semua seisi ruang tamu.