Kalila tengah bergelut dengan alat alat memasak di dalam dapur dengan penuh semangat dan senyuman yang tak luntur dari wajah manisnya, tubuhnya yang sejak pagi telah Ia segarkan pagi pagi sekali kini tampak sudah berpeluh gerah kembali karena cahaya api kompor yang semakin lama membuat peluhnya menetes setitik demi setitik.
Dari ujung sana, Bude Ani tampak sempoyongan seperti baru saja bangun dari tidurnya. Dari kejauhan sudah tampak wanita paruh baya itu memamerkan senyum hangat. Ia tampak mempercepat langkahnya sembari kedua lengan yang sibuk membenahi jilbab yang baru saja Ia keluarkan dari almari.
"MasyaAllah, Bude baru saja akan membuatkan sarapan untuk kalian berdua tapi penganten baru ini sudah mendahului," guraunya sembari tersenyum kecil, tangan yang sudah mulai menua itu mengelus lembut pundak Kalila yang tampak terampil dengan wajannya.
Kalila hanya tersenyum kecil.
"Selamat pagi Bude," sapanya lembut.
Kedua tangannya masih sibuk membolak balik nasi yang baru saja di letakkan nya ke dalam wajan, aroma masakan mulai menyeruak memenuhi ruangan dengan nuansa desa yang masih cukup kental.
Wanita paruh baya itu hanya terus menatap keponakannya dengan hati yang teramat pedih,setitik bulir bening lolos begitu saja namun lekas Ia seka dengan segera.
Kalila yang kini berdiri di hadapannya bukan lagi Kalila yang terakhir kali Ia temui, kehilangan figur Ayah seperti menghapus kekanakannya, rasa sakit telah mendewasakannya.
Kalila yang hanya merupakan satu satunya putri dari almarhum membuat Abahnya itu selalu memberikan apapun yang Kalila inginkan, wajar saja jika Kalila di perlakukan bak seorang putri karena memang hanya Kalila lah satu satunya yang menjadi alasan mengapa sang Abah berlaku demikian.
"Mau Bude bantu Sayang? Nanti kelelahan, bukannya kalila jarang sekali bekerja di dapur? Kenapa tidak minta tolong Bik Sum saja?" Ucap Bude sembari mengupas beberapa wortel yang akan di gunakan sebagai pelengkap nasi goreng, Ia tahu jika Kalila gemar sekali dengan sayuran.
"Terimakasih banyak Bude," ujarnya sembari tersenyum kecil.
"Bude tidak usah khawatir, mulai sekarang Kalila akan belajar untuk mengurus rumah. Lagipula, sekarang Abah sudah tidak ada. Tidak mungkin jika Kalila hanya mengandalkan Bik Sum untuk setiap urusan?" Ucapnya lagi terdengar sedikit parau.
Seketika air muka sang Bude berubah drastis dengan segala yang baru Ia dengar, rasanya seperti mendengar guntur di tengah hari terik, Ia terkejut.
Kalila yang selalu hidup dalam kasih Sayang dan segala perlindungan dari orang orang di sekitarnya, kini gadis itu harus mulai belajar hidup sendiri dan mandiri dengan perginya sosok Ayah yang selama ini sepenuh hati dan tanggung jawab mengurus nya.
"Sudah matang," serunya dengan wajah gembira ketika setelah sekian lama untuk pertama kalinya lagi Ia berhasil memasak sesuatu dengan hasil kerja kerasnya sendiri.
"Bude, tolong cicicpi apakah sudah terasa garamnya?" Ucap Kalila dengan bersemangat menyuapkan sesendok penuh nasi goreng ka dalam mulut Budenya itu.
Sontak Bude membulatkan matanya dengan takjub, Ia terkejut dengan masakan Kalila yang ternyata hampir sempurna meski dapat di hitung dengan jari berapa kali Ia pernah masak dan itupun hanya sekadar merebus mie instan.
"Apa tidak enak Bude?" Tanya Kalila dengan tatapan cemas pada manik wanita baik di hadapannya. Bude hanya menggeleng pelan, tersenyum lamat dengan seukir senyum yang merekah indah di bibir cantik miliknya. Meski sudah tak lagi muda namun jejak kecantikannya masih tak lekang dimakan usia.
"Ini enak sekali sayang," ujar Bude dengan tersenyum hangat, perkataannya terdengar amat tulus dengan wajah keibuan yang selalu membuat Kalila merasa senang.
"Apakah Bude berbohong pada Kalila?" Tanyanya dengan tidak yakin menatap masakannya sendiri.
Lekas diambilnya satu sendok nasi yang masih mengepul hangat dan meminta Kalila untuk membuka mulutnya, Ia menyuapkan nasi goreng itu pada Kalila yang tampak sudah berkaca kaca karena tidak yakin dengan masakannya sendiri.
Sontak saja Kedua mata Kalila berbinar, kala lidahnya menyentuh nasi goreng itu dan ternyata rasa masakannya itu tidak terlalu buruk. Lagi dan lagi Ia menyendok nasinya itu dengan bersemangat sampai sampai Ia tidak sadar jika Ia mencicipi nasi goreng itu terlalu banyak sampai ia sendiri hampir merasa kenyang jika Ia tidak segera sadar dan berhenti.
"Benar Bude, ini tidak begitu buruk," ucapnya sembari menelan suapan terakhir dengan masih tak percaya.
"Benarkan Bude mu ini bilang, Miryanti tidak pernah berbohong," ucapnya terkekeh pelan. Kalila hanya mengangguk kecil mengiyakan segala yang Budenya ucapkan.
Perlahan di tuangkan nya sedikit demi sedikit Nasi beserta lauk lain yang sudah sedari awal Ia siapkan.
"Kalila permisi ke atas dulu Bude, Kalila akan membangunkan Mas Adam dan mengajaknya untuk sarapan bersama," ucapnya lantas melenggang pergi setelah meletakkan beberapa piring dan teh hangat yang masih mengepulkan uap ke udara.
Bude hanya mengangguk lemah tersenyum kecil menatap kepergian Kalila yang tampak menghilang di belokan lorong yang mengarah ke kamarnya langsung.
"Kalila sudah menjadi gadis dewasa Mas," lirih Bude sembari membenahi kompor dan meja dapur yang mendadak menjadi seperti kapal pecah saja. Ia menggeleng kecil, tampak nya Kalila masih butuh sedikit bimbingan agar lebih mengerti lagi.
____
"Baiklah, Mas pamit dulu Dek. Tolong jaga dirimu baik-baik selama Mas pergi, Mas berjanji tidak akan lama," ucap Farhan setelah selesai mengenakan sepatunya.
"Baiklah Mas, tolong berhati-hati. Kalila akan menunggu Mas disini," timbalnya seraya menyerahkan sebuah tas hitam kepunyaan sang suami. Farhan hanya mengangguk pelan, lantas pergi mengendarai motor miliknya setelah Kalila menyalami punggung tangannya.
Namun baru saja Ia hendak keluar dari gerbang pesantren, Ia berhenti dan menengok ke belakang. Kalila hanya menatap heran pada Farhan, sorot matanya, ada sesuatu yang tak terungkap disana. Tapi apa?
Untuk beberapa detik Farhan mematung dengan suara kendaraannya yang masih menderu pelan, namun lantas Ia tersenyum kecil meski dengan kesan yang agak di paksakan.
"Bude, Farhan titip Kalila sebentar!" Serunya sembari menyunggingkan senyum hangat dan kembali memacu motor itu setelah kedua gadis disana melambaikan tangan.
"Mas Farhan, apa yang sedang mengganggu hatimu sebenarnya? Mengapa sorot itu seperti ingin menyampaikan, namun mulutmu seakan mengharus bungkam?" Tuturnya penuh tanya dalam hati. Namun kembali, berusaha Ia tepis pikiran pikiran negatif itu. Bagaimanapun, sebagai seorang istri Ia tentu harus mempercayai suaminya sepenuh hati.
"Sudah, jangan terlalu di pikirkan. Mas mu tak akan lama, sebentar nanti juga pasti kembali," tegur Bude seraya tersenyum geli, menggoda pasangan baru itu yang harus berpisah karena tuntutan pekerjaan yang Farhan lakoni.
Kalila hanya tersipu, tersenyum kecil sembari menundukkan wajahnya yang merah padam.
"Mari masuk, bukankah siang nanti kawan kawan Kalila akan berkunjung kemari untuk mendoakan Abah? Jadi ayo masuk dan bersiap."
Kalila hanya mengangguk dan mengekor masuk kembali kedalam rumah besar yang kini terasa sunyi.
___