Mereka duduk dengan bersampingan, hanya sebuah bantal saja yang menjadi pembatas. Di sebrang sana, Kalila masih tampak diam menunduk enggan menoleh sedikitpun.
"Sudah makan Dek?" Ucap Farhan berusaha memecah keheningan di antara mereka yang sedikit terdengar gugup.
"Alhamdulillah sudah Mas," jawab Kalila singkat.
Ia terus saja menundukkan wajah sembabnya dengan perasaan yang masih tak beraturan.
"Mas sendiri, apa sudah makan?" Tanya kalila hati-hati berusaha menguatkan hatinya, setidaknya Ia tak ingin larut dalam rasa duka yang masih begitu erat menyelimuti hatinya.
Farhan hanya tersenyum simpul, menarik sudut bibirnya dan melempar seulas senyum untuk menguatkan gadis di sampingnya. Bagaimanapun, Ia berusaha untuk tenang agar tak menyinggung perasaan wanita yang baru saja Ia nikahi itu.
Ia teramat tahu, jika saat ini perasaan Kalila masih begitu rapuh dengan apa yang baru saja menimpa keluarganya.
"Sudah Dek," ucapnya sembari tersenyum hangat pada Kalila yang tampak tersentuh dengan sikap dan perhatian yang Farhan tunjukan , seketika saja rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya yang semenjak kemarin belum sempat Ia beri waktu untuk memejam,penat juga rasanya.
"Mas."
"Dek."
Ucap mereka berbarengan memanggil satu sama lain setelah cukup lama hening membuat keduanya saling berpandangan kaget, setelah nya mereka hanya tertawa pelan.
"Silakan, Mas saja duluan," ucap Kalila kemudian lantas kembali menundukkan wajahnya.
"Tidak, perempuan yang terlebih dahulu. Mas harus mengalah," ucap Farhan dengan sunggingan senyum indah.
Kalila hanya tersenyum hangat, menatap Farhan dengan penuh rasa kagum akan sosok pria di sampingnya itu. Sama sekali Ia tak menyangka jika akan secepat itu Ia menemukan seorang pria baik yang menjadi suaminya, saat hatinya tengah bergelung dalam duka melawan kenyataan bahwa sosok Ayah yang selalu menemaninya dengan segala limpahan kasih dan sayang kini telah meninggalkan dirinya untuk selamanya.
"Terimakasih Mas," ucap Kalila terdengar lirih dalam kesunyian malam yang sudah tak terdengar sedikitpun suara kehidupan dari luar sana. Suaranya terdengar berat, serak menahan tangis yang sekuat tenaga berusaha untuk Ia bendung.
Tampaknya para keluarga telah terlelap dalam istirahat, hanya mereka berdua saja yang mungkin masih terjaga di waktu malam yang sudah mulai semakin pekat.
Farhan mengangkat wajahnya dengan tatapan menelisik.
"Terimakasih untuk?" Tanya Farhan dengan wajah bingung. Pasalnya Ia belum melakukan sesuatu apapun untuk membantu Kalila selama mereka saling mengenal beberapa hari ini, rasanya Ia belumlah pantas untuk ucapan terimakasih itu.
"Terimakasih karena telah mengantar Kalila pulang bersama Abah hari itu, dan ... "
"Dan?"
"Dan sudah bersedia untuk menikahi Kalila meskipun kita baru saja saling mengenal," lanjutnya kemudian dengan suara sendu. Mendadak saja hatinya kembali terasa pilu jika teringat dengan segala yang menimpa dirinya dan kehadiran Farhan yang seakan menjadi pengobat segala luka yang tengah mendera hatinya yang terasa amat hancur.
Farhan hanya tampak tersenyum hangat, menatap sembarang arah dengan berusaha menenangkan hatinya yang tanpa Kalila ketahui jika hatinya pun sama tengah berkecamuk tanpa sesiapapun yang tahu.
Kalila bahkan tak tahu apa yang telah dan tengah melanda kehidupannya. Farhan tersenyum kecut, menatap sembarang arah agar gadis cantik itu tak menangkap apa yang tertuang dalam manik sendu nan penuh luka miliknya.
"Jangan berfikir seperti itu Dek, Mas percaya jika pertemuan kita memang telah di gariskan bahkan sebelum bumi ini Allah ciptakan."
"Mungkin, pertemuan ini memang jalan yang Allah gariskan untuk kita arungi bersama. Bukankah tidak akan ada satu hal apapun yang luput dari kuasanya?"
Ucap Farhan pada Kalila yang masih tampak menunduk Pilu di sebelahnya, agaknya Kalila masih mengingat sosok Abah yang senantiasa mengiringi setiap langkahnya, menjadi kekuatan meski di saat Ia tertatih berjalan mengarungi kerasnya hidup, pun kala Ia begitu rapuh dan ingin mengalah dengan keadaan.
"Mas?"
"Ya?"
"Kalila ingin membuat permintaan, apa Mas akan bersedia?" Ucap Kalila kemudian kala Ia dengan sepenuh hati memutuskan dengan segenap jiwa dan raganya.
"insyaAllah," jawab Farhan dengan penuh ketulusan, tak luput seulas senyum indah selalu Ia bubuhkan dalam setiap perbincangan yang membuat Kalila semakin kagum dam jatuh di buatnya dalam pesona seorang Farhan Firdaus.
"Kita baru saja saling mengenal satu sama lain, bukankah akan lebih baik jika kita lebih saling mengenal terlebih dahulu, bukankah begitu Mas?" Ucap Kalila lembut sembari menatap serius pada dinding kosong di hadapannya.
"Tentu saja Dek, lantas?" Ucap Farhan mengimbuhi.
"Apakah Mas tidak keberatan jika memberi hubungan kita waktu, maksud Kalila, bagaimana jika kita terlebih dahulu saling mengenal kepribadian satu sama lain sebelum melangkah terlebih jauh? Kalila mohon maaf jika apa yang Kalila ucapkan sedikit tak Mas fahami, namun Kalila tak tahu harus memulai pembicaraan ini seperti apa," ucapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Farhan hanya tersenyum, mengangguk kecil dengan penuh rasa hangat yang diam diam menjalar di seluruh tubuhnya. Adam hanya tersenyum kecil menanggapi kepolosan istrinya itu.
"Mas mengerti apa yang Adek maksudkan, Mas juga tidak ingin tergesa gesa dalam hal itu. Bukankah memang perlu saling mengenal dan butuh kesiapan untuk melangkah pada sesuatu yang lebih dalam lagi," jawab Farhan dengan penuh keyakinan pada hatinya.
Kalila tersenyum kecil, menatap hangat pada wajah sendu Farhan yang tak pernah bosan untuk di pandang.
"Tentu saja Mas, terimakasih telah mengerti. Kelak pada waktunya Kalila telah siap dan begitu juga dengan Mas, maka hubungan ini akan menjadi sempurna," ujarnya lagi dengan segenap tenang yang menjadi kan hatinya semakin jatuh dalam pesona Farhan meski bukan rasa cinta yang Ia miliki saat ini, hanya sebatas rasa hormat dan limpahan terima kasih yang menjadi pondasi hubungan nya dengan Farhan.
Meskipun hubungan mereka berdiri karena dorongan keluarga Kalila yang terlalu dini menyimpulkan dan berakhir kesalahpahaman, namun seperti yang Farhan katakan jika semua telah di gariskan. Tidak sesuatu apapun yang luput dari kuasanya, semua telah di gariskan dengan segala yang memang harus di jalankan.
"Mari beristirahat Mas, bukankah besok Mas harus ikut bersama Pak dek mengurus dokumen pernikahan kita yang belum sempat di uruskan?" Ucap Kalila pada Farhan untuk beristirahat agar esok Ia tak merasa penat.
Farhan hanya mengangguk kecil, tersenyum penuh arti lalu mengambil bantal dan guling kemudian mulai merebahkan tubuh tegapnya diatas sofa besar yang terletak di sudut sana.
Di ambilnya sebuah selimut dari dalam lemari besar itu dan diserahkannya pada Farhan yang tampak menyusun kembali bantal nya agar nyaman untuk tidurnya malam ini, malam pertama Ia berstatus sebagai seorang suami.
"Silakan Mas selimutnya, disini dingin sekali jiks semakin larut," ucap Aqilla sembari menyerahkan selimut tebal nan hangat itu pada Adam yang hanya di balas anggukan ramah oleh sang empunya.
"Terimakasih Dek," ucap Farhan kemudian lantas segera merebah dan menggulung dirinya dengan selimut agar terasa hangat, benar saja perkataan Kalila. Baru Ia merebah beberapa menit saja dan rasa dingin mulai menyeruak ke seluruh tubuhnya.
Di ranjang besar itu, Kalila tampak sudah terlelap dengan selimut yang juga telah melilit seluruh tubuhnya. Kalila tampak tak melepas kerudung yang menutupi rambutnya, meskipun Ia telah bersuami namun Ia masih merasa nyaman mengenakan kerudung itu di samping karena dingin yang menyeruak juga karena Ia merasa lebih aman dan nyaman dalam tidurnya.
____
"Hoammm," Kalila baru terbangun dari tidurnya ketika di luar sana matahari sudah tampak meninggi. Berhari hari tubuhnya tak Ia rehatkan membuat tulang tulangnya terasa ngilu. Rasanya baru sebentar saja Ia memejamkan mata namun tahu tahu terbangun sudah pagi dan diluar sana mentari sudah menampakkan sinarnya spontan membuat Kalila sedikit menutup kedua matanya karena silau, kelopaknya yang baru saja terbuka membuat Kalila masih kesulitan untuk menyesuaikan retinanya dengan sinar mentari yang menerobos masuk dengan terangnya dari celah gorden tebal itu.
Ia menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang, menunggu kesadarannya untuk kembali pulih seperti semula.
Ia tampak sedikit terkejut ketika menoleh pada sofa di seberang dan mendapati seorang pria tengah tidur telentang dengan pulasnya.
Sesaat Ia tampak kaget namun wajahnya kembali tenang ketika kesadarannya kembali dan mengingat jika kini Ia telah memiliki seorang suami setelah akad yang Ia jalani siang kemarin.
Kalila hanya terkekeh pelan merutuki kebodohannya yang mungkin jika tak segera mendapatkan ingatannya pasti akan memukuli Farhan dengan gagang sapu, penyakit lupa yang Ia derita memang selalu saja merepotkan.
"Mas Farhan, dia tampan sekali. Apa sebelumnya tidak pernah ada seorang wanita spesial yang mengisi hatinya? Atau memang ada? Mustahil sekali seorang pria seperti nya tak memiliki seseorang yang Ia dambakan, akan aneh sekali," gumamnya kecil sembari terus mengamati gerakan gerakan kecil Farhan yang menggeliat lemah dalam tidur pulas nya.
"Beruntung sekali wanita yang mendapatkan cinta Mas Farhan benarkan? bagaimana bisa Ia rela menikahi gadis yang baru Ia kenali?" celotehnya sendiri dengan pertanyaan pernyataan yang Ia tanyakan dan jawab sendiri dalam hatinya.
Ia bangkit, dengan berat menyeret paksa kedua kakinya yang terasa berat bak di ganduli timah saja. Rasa kantuk yang belum sepenuhnya hilang dan rasa dingin yang juga masih menyusup ke setiap inci kulit halus miliknya membuat Ia sebenarnya enggan untuk beranjak dari tempat tidur.
Namun bagaimanapun Ia harus bangun dan menyiapkan sarapan untuk suaminya, meski Ia belum menginginkan hubungan ini beranjak lebih jauh dan dalam namun kewajiban tetaplah kewajiban. Ia mengerti jika tanggung jawab tetaplah tanggung jawab, setidaknya Ia dapat menjalankan sedikit keharusannya yang kini menyandang gelar seorang istri.
Segera Ia beranjak dan berlalu menuju kamar mandi di sebelah sana dengan perlahan, menyegarkan dirinya dan melepaskan diri dari rasa kantuk yang terus saja menggelayuti kedua mata besarnya.
"Nyaman sekali," gumamnya pelan sembari mengeringkan rambut dan menatap cermin besar yang terpasang di dinding kamar mandi miliknya. Rumahnya memang tak seperti istana istana megah kebanyakan di kota, hanya bangunan kampung biasa namun cukup luas dengan perabotan yang terbilang lumayan lengkap karena Ia yang selalu meminta Abahnya untuk melengkapi perabotan perabotan di sana.
Ia menggantikan posisi Umi yang seharusnya melakukan tugas itu, yaitu menjadi wanita cerewet agar mendandani rumah yang penuh dengan kenangan dan kehangatan ini.
Lekas di keringkannya rambut panjang nan hitam yang terurai itu dengan handuk dan segera di kenakannya kembali jilbab bergo berwarna dusty senada dengan tunik yang tengah melekat pada tubuh rampingnya. Tak sampai kering sempurna pun tak apa, asalkan rambut itu tidak membasahi baju yang baru saja Ia kenakan.
Kalila keluar, perlahan berjalan melewati Farhan yang masih belum juga terbangun dari tidurnya. Melangkahkan kakinya ke dapur untuk membuat makanan ala kadarnya saja, seperti yang akan di buatnya kali ini. Nasi goreng dengan lalapan.
Ia tengah ingin sarapan nasi goreng kecap kesukaannya dengan telur ceplok dan taburan bawang goreng, tak luput lalapan yang akan melengkapi masakannya. Ah, membayangkan makanan favoritnya itu membuat perut Kalila semakin terasa keroncongan saja setelah berhari hari Ia tak merasakan lapar.
"Abah sangat suka dengan masakan Lila bukan?" Bisiknya pelan dengan air mata yang tiba-tiba saja sudah menggenang.
____