Tepat di tanggal 8 January, usia Reikazu Elvio Tan menginjak angka 19 tahun. Terlalu muda untuk dikatakan sebagai wanita dewasa, tapi terlalu tua untuk perihal sikap dan tingkah laku. Begitulah anggapan kedua orang tuanya tentang dirinya. Padahal menurutnya, sikapnya sudah sewajarnya, layaknya seoseorang baru baru lulus SMA.
"Jadi ... bagaimana, Rei? Masih belum berubah pikiran?" tanya Eva pada putri semata wayangnya, sesaat ketika gadis itu menginjakkan kaki di dalam rumah.
Seolah tak terlalu mengubris pertanyaan yang diperuntukkan padanya. Bagi Rei, apapun yang dikatakan orang tuanya seolah tak terlalu serius dan lebih memilih fokus pada layar ponsel di tangannya.
Laki-laki paruh baya bernama Adrian Tan Harjoyo yang juga berada di sana, ikut dibuat emosi dengan sikap putrinya. Ini bukan kali pertama ia dan sang istri bahas, tapi tetap saja seorang gadis bernama Reika tak menganggap serius.
"Rei!"
"Hmm, apa, Pa?" tanya Rei seakan dirinya baru fokus.
"Papa sama Mama nggak akan menjelaskan secara detail lagi, karena sebelumnya kami sudah menjelaskan. Sekarang kamu tinggal pilih, menikah dengan laki-laki yang kami tetapkan atau dicoret dari anggota keluarga ini," jelas Adrian memberikan ancaman penuh langsung pada mode menakutkan.
Ia yakin jika Rei pasti berpikir kalau ancaman yang diberikannya masih sama seperti sebelumnya. Padahal tidak.
"Menikah?!"
Seketika kaget dan tak percaya. Sekian detik kemudian, Rei malah terkekeh mengingat ancaman gila itu. Ayolah, ia tahu jika orangtuanya hanya memberikan ancaman semata. Karena tak mungkin juga mereka sebegitu kolot hingga memaksa dirinya menikah di usia muda.
"Jangan mengancamku, Pa. Aku anak perempuan papa sama mama satu-satunya, loh. Kalian nggak akan sekatrok itulah, sampai memaksaku menikah. 19 tahun, bisa ngebayangin kan kalau aku nikah ... itu kehidupan si calon suamiku jadi gimana?"
Bukan kehidupan calon suami, lebih tepatnya tentu saja gimana dengan kehidupannya sendiri. Hanya saja, bersikap seolah orang lain yang akan menikahinya lah yang menderita jika semua keinginan orangtuanya benar-benar terjadi.
"Kami meminta kamu untuk melanjutkan pendidikan dan kamu manolak. Papa juga tahu kinerja kamu dalam bisnis. Tapi kalau nggak memiliki pegangan ilmu yang bagus, kamu juga nggak akan berdiri kokoh."
"Dan ... apa hubungannya dengan menikah?"
Kadang heran. Papanya kesal karena ia menolak kuliah, dan sekarang malah membahas sebuah pernikahan. Benar-benar nggak ada hubungannya sama sekali.
"Kuliah adalah saran dan pemaksaan sebelumnya, tapi sekarang tidak lagi. Kamu pikir kami sebagai orangtua masih main-main dengan sebuah ancaman, tentu saja untuk yang kali ini tidak lagi."
"Nggak akan!" Tegasnya menolak. "Mending aku kuliah daripada menikah."
"Sayangnya kuliah bukan lagi permintaan Papa sama Mama, Reika!" Eva kembali bersuara.
Raut tak terima langsung tercetak di wajah Rei. "Mama sama Papa kenapa, sih? Oke, maaf jika aku salah sebelumnya. Tapi bukan dengan sebuah pernikahan gila jugalah menghukumku."
Adrian yang tadinya duduk di kursi, bangkit dan berdiri dihadapan putrinya. Lengkap dengan ekspressi dingin dan raut tajam.
"Papa sama Mama mengharapkan kamu bersikap bijak dan dewasa, karena jika mengharapkan adik dia juga masih terlalu muda. Tapi kamu seolah main-main dengan harapan kami. Kamu kesal atau marah sama kami akan sesuatu, sih, Rei?"
Reika tak menjawab. Ia lebih memilih untuk menahan daripada harus mengumbar isi hati. Apalagi dengan kabar barusan, membuatnya semakin muak dan tak berniat untuk bersikap baik.
Seolah habis kata-kata, Adrian tak mengharapkan jawaban lagi dari Reika. Seperti biasa, dia tak akan bicara tentang apapun.
"Sudah malam, sana istirahat. Besok jam makan siang kita ketemuan di luar," ujar Adrian.
Setelah mengatakan hal itu, Adrian langsung berlalu pergi dari sana. Berjalan perlahan menuju kamar, meninggalkan Rei dengan Eva yang masih di posisi mereka.
"Rei ..."
Belum mamanya bicara, Rei langsung memilih pergi. Berlari dengan cepat menaiki anak tangga, menuju lantai dua di mana kamarnya berada.
Sebagai seorang Ibu, ia paham apa yang dirasakan oleh Reika tentang keputusan yang ia dan suaminya ambil. Hanya saja, keduanya seolah tak bisa memahami seperti apa sebenarnya perasaan dia. Ini bukan yang pertama, tapi justru berkali-kali. Memang tak membuat masalah, hanya saja sikap Rei terlalu tertutup. Padahal di luar sana dan dengan teman-teman sebaya, justru kebalikannya.
Sampai di kamar, langsung melempar tasnya dengan sembarangan. Bukan hanya tas, tapi rasanya ia ingin memporak-porandakan isi kamarnya hingga berantakan. Tapi, semua tertahan ketika berpikir ... saat berantakan, pasti asisten rumah tangga akan kelelahan membereskan.
"Pertama, memaksa kuliah. Dan sekarang, memaksa menikah. Jujur, ini rasanya hidup seperti dalam sebuah novel dengan aturan yang sudah ditentukan oleh pengarangnya!"
Segera mengganti pakaiannya dengan celana tidur dan tanktop. Percuma mengamuk, toh tak akan membuat alur ini berubah total.
Menghempaskan badannya di kasur, kemudian menutupi wajah dengan bantal. Hanya sekadar menutup, bukan ditekan. Bisa-bisa ia mati karena kehabisan napas. Meskipun banyak masalah, tapi mengakhiri hidup bukanlah cara yang tepat. Entah jika nanti dirinya mulai khilaf.
Baru juga menutup mata, tiba-tiba ponselnya berdering. Pertanda, ada orang kurang kerjaan yang menelepon di jam malam begini.
Menjauhkan bantal dari wajahnya, kemudian menyambar benda pipih itu.
Sedikit heran, karena yang menelepon adalah Jerome, adiknya.
"Dia kurang kerjaan banget nelepon dari kamar sebelah," umpatnya.
"Je, kamu kurang kerjaan banget, sih," ujarnya langsung.
"Kakak di mana?"
"Pertanyaan bodoh," kesalnya.
"Belum tidur, kan? Mama Papa ada di rumah?"
Tiba-tiba raut penuh curiga membalut wajah Rei, ketika pertanyaan itu ditanyakan sang adik.
"Jangan bilang kalau sekarang kamu lagi di luar? Kabur, ya?" Langsung menebak.
"Ck, jangan berisik. Nanti kedengeran."
"Wahh ... beneran kabur ni anak."
"Nggak niat kabur, kok. Tapi, terserahlah mau mikir gimana. Yang penting sekarang aku minta jemput. Motor ku nabrak."
"What!"
"Bisa nggak, sih, itu suara dikurangi volume nya?"
"Trus itu motor gimana kabarnya? Sehat, kan? Nggak lecet, kan? Semoga nggak babak belur. Bisa abis kamu sama Papa kalau iya."
Bukan berniat menakut-nakuti, cuman biasanya papanya akan marah besar kalau ada kejadian begini. Apalagi ini adiknya pake mode kabur tanpa sepengetahuan. Namanya juga kabur, tentu saja tanpa ada yang tahu.
"Bisa jadi seorang kakak yang baik nggak, sih. Tanyain kondisi adiknya dong, ini malah khawatirin motor," dengkus Jerome.
"Dih, marahnya Papa lebih nakutin, Bro."
"Jemput aku ke sini. Jangan sampai Papa Mama tahu."
"Tapi aku nggak janji berhasil kabur, ya. Kalau kepergok, otomatis aku bilang jujur."
"Hmm."
"Share location."
Jadilah, di jam yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam ... ia malah melipir kabur dari rumah.
Sesuai dengan arahan alamat yang dikirim sang adik, segera menuju ke sana dengan sebuah taksi. Karena kalau pake mobil pribadi, ya otomatis ketahuan.
Dalam perjalanan, matanya mengarah ke luar jendela mobil. Menatap gelap suasana malam dengan kerlap kerlip lampu ibu kota. Suasana yang benar-benar jauh dari sebuah ketenangan.
Ketika mobil yang ia tumpangi melewati beberapa pepohonan besar, matanya terfokus pada seseorang yang berjalan gontai di sana. Berpikir biasa, tapi tiba-tiba dia tampak terjatuh.
"Pak, Pak ... itu orang kenapa?" tanya Rei pada Pak supir, hingga membuat dia menghentikan laju kendaraan.
"Mana, Mbak?" tanyanya ikut mengarahkan pandangan pada sosok yang di maksud sang gadis.
"Itu, Pak. Kita cek, yuk."
"Duh, mending nggak usah deh, Mbak. Ini tempat rawan banget. Udah gelap dan sepi juga. Daripada kita dapat masalah, mending biarin aja orang itu. Kalau dilihat-lihat juga sepertinya dia lagi mabuk," terangnya pada Rei.
"Masa iya orang mabuk?" tanya Rei sedikit berpikir. Karena jaraknya dengan sosok yang di maksud juga agak jauh, hingga tak bisa melihat dengan jelas.
Supir kembali melanjutkan laju mobilnya, tapi baru juga beberapa saat melaju ... kembali mendadak berhenti saat si penumpang memaksa berhenti.
"Pak, saya mau cek bentar, ya," ujar Rei langsung.
"Tapi, Mbak ..."
"Kalau Bapak takut, tunggu saja di sini. Lihat dari kejauhan saja. Kalau ada gerak gerik yang mencurigakan, bisa tolong bantu hubungi pihak keamanan?"
"Iya, Mbak."
Meskipun cemas dan juga agak ragu-ragu, Reika akhirnya turun dari taksi dan memberanikan diri untuk menghampiri sosok yang membuat fokusnya tak bisa lepas. Kalau memang dia orang jahat, anggap saja jika malam ini adalah malam terakhirnya bisa bertemu dengan orang tuanya.
Awalnya bergegas, tapi semakin mendekati sosok yang tampak tersandar di sebuah pohon besar itu, langkahnya justru jadi ragu. Ini antara rasa takut yang sedang bercampir dengan rasa kemanusiaan. Kebayang juga jika dia orang jahat. Bisa-bisa ia diserang tanpa persiapan lebih dulu.