Tujuh Tahun Kemudian…
"Hhhhh…."
Entah sudah ke berapa kali Adara menghela nafas, padahal baru saja kakinya beberapa langkah memasuki kawasan kampus tempat ia belajar. Padahal ini sudah memasuki bulan ketiga Adara menuntut ilmu di Universitas incarannya ini. Dia sangat senang dan bangga pada dirinya sendiri karena bisa memenuhi harapan dan goalsnya, yakni berhasil masuk ke Universitas ini dengan umur tujuh belas tahun.
Adara memang anak yang sangat pintar. Sebagai bukti dia bisa mengikuti kelas akselerasi sebanyak dua kali dan juga banyak prestasi yang dia dapatkan dari lomba serta olimpiade yang pernah ia ikuti. Adara juga merupakan salah satu atlet basket kebanggaan Sekolah-nya, dan jangan lupa Adara pun merupakan siswa yang sangat aktif berorganisasi.
Itu semua Adara lakukan agar bisa mempermudah kehidupannya nanti kelak saat berada di bangku kuliah. Karena menurut apa yang dia baca di internet, jenjang ini memang memerlukan banyak hal yang perlu dipersiapkan. Salah satunya adalah pengalaman serta bersosialisasi.
Mungkin bagi beberapa orang atau bahkan sebagian banyak orang, bersosialisasi merupakan hal yang mudah dilakukan. Namun tidak untuk Adara. Sejak dulu dia agak sulit untuk bersosialisasi karena sifatnya yang cenderung lebih ambisius dari yang lain. Tetapi kini Adara sudah bisa mengontrolnya dengan baik agar bisa bersosialisasi tetapi juga masih memiliki ambisi yang tinggi untuk tujuannya.
Alasan mengapa Adara harus pandai bersosialisasi juga karena jurusan yang dia inginkan pun sangat mewajibkan hal itu. Ilmu Komunikasi. Adara memilih jurusan tersebut sebagai tujuannya di Universitas ini.
"Adara!"
Adara sontak mematikan lagu yang tengah diputar melalui headsetnya dan kemudian menoleh ke belakang. Menemukan keberadaan teman sekelasnya, Nindya.
"Lo baru dateng ya? Padahal ditungguin loh sama mentor pas kumpul tadi," kata Nindya sambil merangkul lengan Adara dan mengajaknya untuk kembali berjalan menuju Kelas.
Ya memang sebelum jam kelas ini, sebenarnya Kakak mentor gugus atau kelompok ospek Adara mengadakan kumpulan untuk membicarakan tugas penutup masa Ospek. Namun Adara terlalu malas dan beralasan sakit perut sehingga tidak datang. Tapi entahlah kenapa mereka masih mencarinya di saat dia sudah memberi kabar?
"Kan gue udah bilang izin?" heran Adara
Nindya mengangkat bahunya. "Gak tau tuh. Tadi juga rame banget Kating-nya, kayak mau tawuran. Untung deh lu gak ikut."
Adara memilih mengangguk bertepatan dengan mereka yang sampai di Ruang Kelas untuk mata kuliah ini. Sudah ada beberapa mahasiswa lain yang datang. Adara dan Nindya secara bersamaan tersenyum dan menganggukkan kepala untuk menyapa.
"Tadi ngomongin apa aja?" Tanya Adara sambil duduk di baris tengah bersama Nindya di sampingnya.
Nindya mengeluarkan catatannya satu persatu. "Ya gitu… katanya disuruh nyiapin karya dari kelompok kita. Ada dua gitu, yang satu Videografi gitu sama satu lagi Fotografi."
Adara mengangguk-anggukan kepala. "Lo pilih yang mana?"
"Gue… kayaknya bakalan disuruh Videografi deh. Soalnya tadi si Sakha sialan banget make nyeletuk gue bisa ngedit video."
Adara mau tak mau tertawa melihat wajah Nindya yang memperlihatkan kekesalannya sambil menatap Sakha yang baru saja memasuki Kelas.
"Kalo lo mau yang mana? Saran gue mending foto aja deh."
"Lah ngatur?" Adara menaikkan sebelah alisnya.
"Yee... bukannya ngatur. Gue tau ya feeds IG lo banyaknya hasil jepretan lo semua." Nindya menunjuk Adara yang membuat gadis yang ditunjuk tak bisa lagi mengelak.
"Yaiya sih... tapi emang gak boleh gue ngambil video aja?"
"Ya... boleh lah? Boleh banget. Entar footage-nya bagus dah gua yakin. Lo mah kan emang ahli kamera, jadi mau masuk mana juga bisa sih," kata Nindya sambil menekan kata 'boleh banget'.
Adara tertawa mendengar pujian secara tidak langsung yang dilontarkan oleh Nindya. Apa yang diucapkan Nindya adalah kebeneran, dan Adara sangat menyukai saat keahliannya yang satu itu mendapat pujian. Karena keahlian tersebut ia dapatkan dari ibu nya yang merupakan fotografer saat masih muda dulu.
Bagi Adara bisa diturunkan bakat tersebut merupakan sebuah kebanggaan.
***
"An? Kuliah siang lu?"
Antares yang baru saja keluar dari Kamar-nya langsung menoleh pada Altaris yang kini tengah mencari sesuatu di rak sepatu dekat Dapur.
Antares hanya berdehem pelan mengiyakan. "Lo nyari apa?"
"Sepatu futsal gue dah dimana? Gue mau pake ini," jawab Altaris tanpa menatap Antares. Masih sibuk dengan kegiatannya mencari sepatu futsal.
Antares menaikan alisnya bingung, perasaan kemarin Altaris baru futsal. "Kemarin bukannya lo bilang ketinggalan di Kosan-nya Haiden ya?"
Sontak perkataan itu membuat Altaris menghentikan kegiatan mencarinya kemudian berdiri dengan bingung. "Lah? Iya yak? Kemarin gua futsal juga yak?"
"Lo kek orang bego," balas Antares sambil menggelengkan kepalanya tak habis pikir atas kelakuan saudara kembarnya itu.
"Terus gue ngapain balik dong ya?" Altaris menggaruk kepalanya bingung.
"Kan... beneran jadi bego kata gue mah," balas Antares cuek.
"Yeee kalo gue bego, ya lo juga!"
Antares tertawa kecil. "Gua pegi dulu ya! Balik lo, malem bokap balik," ucapnya sambil berlalu.
Altaris hanya diam menatap kearah tempat Antares menghilang. "Justru pingin pergi kalo dia balik."
Altaris kemudian mengambil kembali tasnya yang terkapar di lantai, dan bergegas menuju tempat Haiden.
***
Adara kini masih diam di Kantin utama Kampus-nya yang berada di depan gedung, sambil membaca buku yang dia simpan di meja. Earphone yang dipasang di kedua telinganya, serta tangan memegang susu kotak yang sesekali Adara minum.
Ia membaca dengan ekspresi tenang, berbanding terbalik dengan kakinya yang mengayun-ayun. Tangannya sesekali membalik halaman demi halaman. Sampai hingga ponselnya bergetar, menandakan ada pesan masuk, dari Rayhan. Pesan itu berisikan Rayhan yang bilang bahwa ia perlu mengantarkan temannya terlebih dahulu ke depan, entah untuk apa. Adara memilih untuk mengabaikan pesan tersebut setelah membacanya. Toh jika dia membalas pun, Rayhan tidak akan membalas.
Rayhan merupakan anak tetangga samping rumahnya. Sejak dia pindah ke lingkungan tersebut, Rayhan yang dingin selalu menemaninya walau dengan ekspresi tidak mau dan tidak peduli. Namun perilaku Rayhan malah menunjukan hal yang sebaliknya. Maka dari itu Adara akan sangat terbuka pada Rayhan. Jika Adara yang ditemukan di kampus merupakan Adara yang ambisius dan tegas, tapi jika bersama Rayhan, dia akan menjadi Adara yang manja dan kekanakan. Adara sudah menganggap Rayhan seperti kakaknya sendiri.
"Ehh?!" Adara sontak segera mendongak dan melepaskan earphone saat pandangannya tertutupi oleh sesuatu yang dengan bersamaan Adara merasakan sesuatu tersangkut di kepalanya.
"Lo bawa motor gua yak, jemput gua di toko buku ujung jalan," pinta Rayhan.
Setelah menepuk puncak kepalanya Rayhan pergi berlalu, terbukti karena saat membuka topi di kepalanya Adara hanya dapat melihat punggung Rayhan dan satu temennya. Adara tentu saja tidak memiliki pilihan lain selain menuruti Rayhan.
Beberapa menit kemudian Adara sampai di Toko buku yang dikatakan oleh Rayhan sebelumnya. Adara memarkirkan motor di pinggir jalan, Adara sesekali membenarkan letak helm dan maskernya sambil bercermin di spion motor.
"Thanks, Han."
Suara tersebut mengalihkan perhatian Adara yang sebelumnya pada cermin. Dan seketika Adara membulatkan matanya saat melihat siapa yang baru saja bersuara.
Adara turun dari motor tergesa lalu berdiri tegak dengan sorot mata marah dan tangan mengepal kuat. Menatap seseorang di hadapannya. Membiarkan orang yang ia tatap itu terlihat bingung akibat reaksinya yang tidak biasa.
Adara hanya fokus pada satu orang, pada orang itu. Dia. Lelaki itu. Lelaki yang sebelumnya selalu menjaganya hingga akhirnya Adara dibuang begitu saja.
***