"Aku gak selingkuh, Mas!"
Adara berjalan dengan cepat untuk keluar dari kamar tidur orang tuanya, saat ia mendengar seruan dari Riana. Begitu ia keluar, Adara malah mendapati Danuarta, Riana, Kedua kakaknya dan Ani, neneknya , tengah berkumpul di ruang keluarga. Tubuh Adara langsung ditarik untuk duduk di sisi Altaris.
Anak perempuan berumur sepuluh tahun itu menatap kedua kakaknya dengan pandangan bertanya. Ia tentu saja kaget dengan keadaan ruang keluarga yang terasa mencekam ini, terlebih dikarenakan kedua orang tuanya yang terlihat tengah berdebat. Tapi biasanya jika Riana dan Danuarta bertengkar, Adara dan kakak-kakaknya akan disuruh untuk menunggu di Ruang keluarga dengan tontonan sehingga tidak harus mendengar pertengkaran tersebut.
"Ini ada apa, Kak Al?" bisik Adara dengan suara yang bergetar. Altaris menjawab dengan gelengan kepala, bocah lelaki berusia tiga belas tahun itu terlihat sama kagetnya.
Riana yang menyadari keberadaan ketiga anaknya itu kini menatap sendu mertua dan suaminya. "Jangan omongin ini depan anak-anak, Mas, Bu, saya mohon," ucapnya sambil menyatukan kedua telapak tangannya.
"Biarkan saja mereka tau bagaimana kelakuan Ibu mereka selama ini!" tegas Ani, kini neneknya itu menatap Danuarta. "Lihat? Apa Ibu bilang, kamu ini jangan asal menikahi perempuan! Lihat kan sekarang? Dia selingkuh, yang dia incar sedari awal itu harta kamu!"
"Aku gak selingkuh, Bu. Satria hanya mantan rekan kerjaku dulu yang kebetulan kerja di Kantor Mas Danu. Kita hanya pernah beberapa kali bertemu saat mau mnegantarkan bekal untuk Mas Danu tapi gagal karena Mas Danu ada rapat," jelas Riana dengan nada memelas. Ia tak ingin berapi-api di hadapan ketiga anaknya.
"Kalau memang kamu tidak selingkuh, kamu seharusnya pulang saat Danuarta bekerja! Bukannya malah lanjut bertemu pria lain. Apa namanya itu kalau bukan berselingkuh? Kamu lihat sendiri kan, Danu, fotonya?" balas Ani.
Riana yang wajahnya kini telah basah dengan air mata itu menatap Danuarta yang sedaritadi diam. Meminta secuil kepercayaan dari Danuarta atas apa yang sebelumnya dijelaskan oleh Riana. Namun sang Suami malah memalingkan wajah seolah tak ingin menatap Riana.
Adara yang kini mulai mengerti pembahasan ini tentu jadi ikut menyimak, ia juga menatap kedua kakaknya yang sepertinya juga mulai mengerti. Jika itu permasalahannya, Adara bisa membantu Riana untuk menjelaskan pada Nenek Ani dan Danuarta mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Adara yakin kedua kakaknya juga akan melakukan hal yang sama karena ikut mengetahui mengenai Satria, mantan rekan kerja ibu mereka.
Dengan berani Adara berdiri, meski tangannya ditarik oleh Altaris, tapi ia tidak menyerah dan malah menepis tangan sang kakak kesayangannya itu.
"Ibun ketemu Om Satria sama aku kok! Ibun gak selingkuh, aku ada di sana setiap Ibun bareng sama Om Satria!"
Apa yang ia bilang merupakan sebuah kebenaran. Berkali-kali ia dan Riana menghampiri kantor Danuarta untuk melakukan makan siang bersama, namun selalu berujung gagal karena ada saja pekerjaan Danuarta yang harus dikerjakan ayahnya itu. dan berkali-kali itu juga mereka bertemu dengan Satria yang ternyata kini sudah bekerja di kantor milih Danuarta itu.
"Kamu ini apa-apaan? Duduk sana, anak kecil kayak kamu gak usah ikut campur," kata Ani sambil mencoba menarik Adara agar menyingkir.
"Kalau ibu gak mau anak-anak ikut campur, suruh anak-anak masuk ke Kamarnya," kata Riana yang sudah lemas. Ia sudah tahu bahwa saat ini ia tidak dipercaya lagi oleh Danuarta.
"Bu, sudah," kata Danuarta meminat ibunya untuk tidak berusaha menyingkirkan Adara lagi. Kini ia beralih menatap Riana. "Saya akan menceraikan kamu, biar sekretaris saya yang ngurus semuanya. Saya mau pisah sama kamu." Mata sang kepala keluarga itu terlihat sakit hati, merasa terkhianati.
Perkataan Danuarta itu memicu teriakan tak terima dari ketiga anaknya, mereka cukup mengerti arti perpisahan. Antares dan Altaris yang sudah cukup lama menahan air matanya itu kini mengeluarkan air matanya dengan deras.
"Ayah, Ibun gak selingkuh, Yah. Adek yang jadi saksinya, adek lihat sendiri," bujuk Adara sambil mendekat pada Ayahnya, namun Ayahnya itu malah menggelengkan kepalanya dan berjalan menghampiri kakak-kakaknya yang tengah menangis.
"Pak Bagus! Kamu bereskan baju-baju perempuan murahan ini! Pastikan semuanya kebawa," perintah Ani pada anak buahnya yang entah sejak kapan ada di Ruang keluarga.
Adara di tengah sedihnya itu kini menoleh bermaksud ingin tahu siapa yang tengah berbicara dengan neneknya itu. dan begitu ia menoleh Adara membulatkan matanya saat ia melihat sosok yang ia lihat juga siang hari tadi di kantor sang Ayah. Adara tentu saja tidak akan seterkejut itu jika pria bernama Bagus ini hanya lewat atau berpapasan dengannya.
Tapi yang ia lihat adalah Bagus berbincang dengan Satria sambil menunjuk kearahnya dan Riana pada siang hari tadi. Adara tidak sengaja melihatnya saat ia menunggu sang ibu berbicara dengan resepsionis untuk menanyakan keberadaan Danuarta. Sampai pada Satria menghampiri Adara dan Riana, Adara masih bisa melihat pria bernama Bagus itu tengah menatap mereka dengan tatapan mengintai.
Adara anak yang pintar, seketika otaknya menghubungkan apa yang ia curigai siang tadi dengan peristiwa saat ini. di mana tiba-tiba sang nenek menuduh ibunya berselingkuh dan andil dalam pembuatan keputusan Danuarta untuk berpisah. Dengan fakta bahwa Bagus merupakan anak buah dari Ani saja itu sudah menjadi hal mencurigakan baginya. Adara mungkin anak kecil, tapi ia masih jelas bisa membedakan mana yang benar dan salah.
"Bang, Kak," panggil Adara lirih, ia ingin mengungkapkan apa yang ada dipikirannya, namun ia tak sanggup. Tidak setelah sebelumnya ia diabaikan dan tidak didengar. Adara harap ucapan kedua kakaknya bisa didengar oleh Nenek atau Ayahnya.
Ia kemudian beralih menatap Riana yang sudah menangis histeris, dan kedua kakaknya bergantian. Antares kini menangis sambil dirangkul dan dibisiki sesuatu oleh Danuarta, sedangkan Altaris entah sejak kapan sudah menangis sambil menutup wajahnya dengan bantal.
"Kalo Ayah gak percaya omongan Adara, Ayah bisa tanya Bang An, atau Kak Al. Adara selalu cerita kok tentang apapun yang Adara alamin, Adara juga cerita tentang pertemuan gak sengaja Ibun dan Om Satria," kata Adara menggebu-gebu.
"Bang An, ayok ngomong! Ibun gak selingkuh kan? Ceritain apa yang aku kasih tau ke Abang sekarang. Didepan nenek, sama Ayah."
Namun yang dilakukan Antares hanya diam, bungkam, dengan kedua pundak yang terlihat dicengkram oleh Danuarta. Adara beralih pada Altaris yang masih saja menangis, kakaknya itu tidak bisa ditanya apa-apa jika sedang kalut. Bahkan Adara sanksi kakaknya tak bisa mendengar apa yang ditanyakan oleh Adara sebelumnya.
"Sudah bu." Pria bernama Bagus itu, membawa dua koper besar yang ditebak isinya adalah pakaian Riana.
Melihat situasi itu, Adara sungguh kesal. Ia merasa saat ini dunia tak adil padanya dan Riana. Dengan mata yang basah, Adara menatap Danuarta, Ani, dan Antares tajam.
"Aku ikut Ibun pergi, aku gak mau di sini," putusnya sambil menatap tajam satu-satu mata yang memandangnya saat ini. "Buat apa aku di sini kalo gak ada Ibun?"
Antares membelalakan matanya saat mendengar keputusan Adara, belum lagi saat ia melihat Riana berdiri untuk menghampiri kopernya. Perpisahan yang disebutkan oleh Danuarta sebelumnya benar-benar terjadi, dan Antares tidak menyangka akan secepat ini.
"Dek Ata," panggil Antares pada Adara yang kini sudah berdiri di samping Riana sambil mencengkram lengan baju yang digunakan oleh Riana.
Bersamaan dengan itu pundaknya diremas lumayan kencang oleh Danuarta, hal itu membuat Antares mendongak untuk menatap ayahnya. Bisa ia lihat Danuarta menggeleng, seolah melarang Antares untuk mengeluarkan suaranya. Antares sontak mengangguk pelan, sambil membiarkan air mata menetes bebas tanpa isakan.
Ani terkekeh. "Ya bagus, keluarga Danuarta gak perlu perempuan gak berguna."
Tangan Antares meraih tangan Altaris yang masih mencengkram bantal yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Matanya menatap Riana dengan penuh air mata, tak ingin ditinggalkan begitu saja. Antares juga menatap Adara yang malah memalingkan wajahnya enggan menatap siapapun di ruangan itu.
Adara mengeraskan hatinya saat tak ada satupun yang menahannya seolah keberadaannya memang tak sepenting itu. Tak ada yang mendengarkan, atau bahkan membelanya. Hatinya tentu sakit saat melihat ketiga laki-laki yang ia sayangi di dunia ini bahkan tak ada dipihak Adara dan Riana.
Malam itu, menjadi awal dari rasa sakit Adara yang dengan cepat berubah menjadi dendam.
***