Hari itu, pertemuan keluarga pun terjadi, untuk pertama kalinya, Nafisah bertemu secara langsung dengan seorang laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya, Nafisah yang saat itu hanya ditemani sang adik, hanya bisa menunduk ketika tatapan tajam milik Aditya Ghifari, calon suaminya. Menusuk tepat di retina coklatnya. Nafisah hanya bisa menunduk, terlebih ketika perdebatan demi perdebatan terjadi antara laki-laki paruh baya yang ia panggil paman dengan Aditya yang notabennya anak pamannya itu, sahabat dari almarhum ayah.
"Jangan paksa Aditya, Yah. Kalau gak mau sesuatu yang buruk terjadi sama anak sahabat ayah." Mata Aditya menyesar ke arah Nafisah, ia mengenal gadis ini, gadis yang dulunya selalu datang ke rumah nya hanya untuk mengganggu, lalu, setelah kedua orang tuanya tiada, tiba-tiba mengemis minta dinikahi? Cuih! Aditya merasa sangat jijik mengingat itu. Yah, walaupun kedua orang tuanya ikut andil dalam perjodohan konyol ini.
"Aditya! Kamu pikir, Andin yang terbaik buat kamu?"
"Jelas, dia wanita yang nemeni Adit sedari dulu, sedari Adit belum jadi apa-apa. Dan seenaknya ayah sama ibu jodohkan Adit? Masih waras?"
Mendengar nada yang kurang sopan itu, Nafisah tersentak kaget, apakah Aditya tidak sadar akan hal yang ia sampaikan tadi? Seharusnya Aditya bersyukur, masih memiliki orang tua yang lengkap, tidak seperti dirinya yang hanya tinggal bersama sang adik. Rio. Mengingat Rio, Nafisah langsung melihat ke arah adiknya tersebut, dan mendapati mata adiknya memerah menahan emosi, Nafisah lekas menggenggam tangan Rio dengan lembut, menenangkan gejolak emosi yang telah memuncak.
"Maaf, om, Tante, Nafis rasa, semua ini tidak perlu, Nafis insyaallah bisa hidup sendiri, ada Rio juga."
"Gak, gak boleh, Nafis. Om sudah janji dengan orang tua kamu, kamu akan tinggal dengan kami."
Aditya menghela nafas melihat drama ikan terbang di hadapannya. "Udah? Drama banget, njir. Nyari simpati."
Nafisah hanya terdiam mendengar ucapan penuh penyindiran dari Aditya, dirinya hanya bisa bersabar dan tidak terpancing emosi, padahal jika boleh jujur, rasanya sangat menyakitkan.
"Setuju gak setuju, kamu harus menikah dengan Nafisah," ucap ayah Aditya dengan lantang. Tanpa menerima penolakan dari mana pun, Nafisah hanya bisa pasrah jika dengan menikah kehidupan sang adik terjamin, maka ia rela menikah dengan Aditya yang notabennya sangat tidak menyukai kehadiran dirinya.
"Baik, Aditya setuju, tapi dengan satu syarat. Pernikahan ini hanya berjalan 6 bulan, dan selama pernikahan, tidak ada ikut campur ayah maupun ibu di dalamnya, terserah Aditya mau ngapain aja? Gimana?" Mendengar ucapan Aditya, seketika sang ayah langsung emosi dan memberikan tamparan tepat di pipi kanannya.
Plak!
"Anak gak tau diuntung, bisa-bisanya kamu permainkan pernikahan, kamu pikir pernikahan itu apa?"
Nafisah hanya bisa menangis, terlebih lagi ketika Aditya langsung berlalu, dan tanpa banyak bantahan, akhirnya pernikahan itu tetap berjalan.
"Sesuai dengan perjanjian, pernikahan ini hanya berjalan selama 6 bulan. Dan selama 6 bulan itu, jangan pernah berharap apapun dengan pernikahan ini, karena bagi gue, pernikahan ini hanya di atas kertas. Seperti yang lu ketahui, gue udah punya kekasih, gue harap kamu paham itu, Nafis."
Nafisah yang tadinya termenung, tersentak kaget mendengar ucapan laki-laki yang baru saja menyandang status sebagai suaminya beberapa jam yang lalu, apalagi yang ia harapkan? Cinta? Kasih sayang? Pengakuan? Hahahahah... Bahkan sekarang saja, suaminya telah membangun tembok tinggi sebagai penghalang Nafis untuk mendekat.
"Mas, Nafis tidak masalah kalau Mas tidak menganggap Nafis. Tapi, Nafis biasakan tetap menjalankan peran sebagai seorang istri selama 6 bulan ini?" jawab Nafisah begitu sadar dari lamunannya.
"Lakukan semau lu, tapi ingat! Jangan terlalu percaya diri untuk mendapat balasan dari gue."
Setelahnya Aditya pergi meninggalkan Nafis yang sudah terduduk di sofa ruang tengah.
Dalam benaknya tak sekalipun ia ingin pernikahan seperti ini, kejahatan apa yang sudah ia lakukan? Sampai Tuhan dengan tega memberinya luka sesakit ini.
'Sakit banget, ya Allah. Kenapa rasanya sangat sesak?' batin Nafis.
Sedangkan Aditya sendiri tengah berada di kamar untuk bersiap-siap pergi menemui kekasihnya, kebetulan jadwal ia dan Andini sedang kosong, ini kesempatan mereka untuk quality time dan menikmati waktu libur sebelum besok mereka harus kembali terbang ke berbagai kota dengan rute yang berbeda.
Dengan memakai sweater berwarna abu-abu, Aditya keluar dari dalam kamar, dan mendapati gadis yang baru saja menjadi istrinya tengah melamun, menatap kosong televisi dihadapannya. Jujur, hati Aditya sangat tidak tega sebenarnya, gadis itu sangat ia kenal, mereka sering bertemu dulu, bahkan sebelum ia masuk ke sekolah penerbangan nya.
Nafis yang mendengar langkah kaki seseorang menoleh ke arah suara itu berasal, dan ia melihat suaminya sudah sangat rapi, apa ia akan ditinggal? Di malam pertamanya sebagai pengantin?
Nafis menghampiri Aditya yang tengah duduk di sofa sebelahnya, memakai sepatu. Lalu jongkok tepat dihadapan Aditya, ia meraih sepatu yang belum dikenakan oleh suaminya.
Aditya yang melihat kegiatan Nafis, sontak langsung menghempaskan tangan gadis tersebut dari kaki kirinya, sepatu yang digenggam Nafis terpelanting jauh, sedangkan Nafis sendiri tengah menahan sakit dari pergelangan tanggannya yang terbentur lengan sofa, rasanya ia ingin menangis meraung sekarang, tapi, semua ia tahan agar Aditya tidak kasihan, tapi yang ada bukan kasihan, melainkan tatapan tajam yang membuat ia seketika langsung ciut nyalinya.
"Apa-apaan lu? lu pikir gue anak kecil, tidak bisa pakai sepatu sendiri?"
"Bukan begitu, Mas. Nafis hanya ingin patuh dan menjalankan tugas sebagai istri."
"Gak perlu, jangan bikin gue emosi sama lu yah ,Nafis. lu pasti tau sifat gue gimana."
Nafis tau, malah sangat tau sifat dari suaminya ini, mengenal dari Aditya berusia 15 tahun bukan lah hal yang singkat, ia tau laki-laki ini tidak suka diganggu ketenangannya. Tapi apa salahnya, ia hanya ingin berbakti?
Aditya langsung meninggalkan Nafis tanpa kata setelah selesai mengenakan sepatunya. Dalam hati ia terus merutuki tindakan Nafis yang membuat kinerja jantungnya tidak beraturan, ia sangat terkejut tadi, melihat gadis itu tiba-tiba jongkok seperti bersimpuh, lalu meraih kaki kirinya untuk memasangkan sepatunya, hingga tanpa sadar ia menghempaskan tangan itu terlalu kuat, mungkin setelah ini ia bisa memeriksa pergelangan tangan gadis itu yang mungkin saja terluka tadi.
Ia langsung mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, selang 45 menit kemudian, ia sampai di kediaman sang kekasih.
"Assalamualaikum, Sayang," ucap Aditya begitu sampai di rumah Andini.
"Waalaikumsalam, eh! Kenapa gak ngabarin mau ? Emang istri kamu gak marah?"
Yah, Andini memang tau pernikahannya dengan Nafisah, awalnya, Andini keberatan dan tidak ingin melanjutkan hubungan mereka kembali, bagaimana pun ia merupakan seorang perempuan, yang tentunya memiliki perasaan. tapi, Aditya memaksa dan meyakinkan Andini, ia tidak akan memiliki perasaan apapun dengan Nafis, walaupun ia sadar, bermain-main dengan perasaan akan mengakibatkan sesuatu yang merugikan semuanya, dan sekarang Aditya tengah bermain dengan perasaan itu, entah siapa yang akan kalah dan mengalah, yang ia tau, untuk saat ini, cukup ia nikmati semuanya. Sebelum sesuatu yang ia nikmati ini hilang.
"Dia tidak akan marah, karena tidak punya hak untuk itu."
Andini terdiam, apakah jika ia yang berada di posisi Nafis, Aditya akan berlaku sama seperti ini? Lalu, jika ia jadi Nafis, apakah ia sanggup? Aditya terlihat sangat tidak suka dengan Nafis, bahkan terlihat benci, akan tetapi, bukankah benci dan cinta itu beda tipis, ia takut ketika Aditya tanpa sadar sudah jatuh cinta dengan Nafis, bagaimana dengan nasibnya? Kedua orang tua Aditya sendiri sangat menentang hubungan antar ia dan Aditya.
"Hey ! Sayang. Kenapa melamun?"
"Ah ... tidak ada, ayo masuk!"
Aditya hanya mengaguk pelan, meski di otaknya tengah berpikir tentang perubahan raut wajah Andini sejak ia menjawab mengenai Nafis. Ah, mengingat gadis itu, tiba-tiba rasa amarah datang dalam hatinya, perjodohan yang tidak bisa ia tolak sama sekali, nyatanya mampu membuat ketenangan hidup Aditya Ghifari harus terkorbankan, sekarang ia harus meyakinkan Andini untuk tetap bertahan sampai waktu yang telah ia tentukan sebelumnya.
"Andin, kamu kenapa jadi pendiam? ada yang salah?" tanya Aditya dengan raut heran yang sangat kentara.
"Kamu yakin ini semua bakal berhasil?"
"Yakin, kenapa tidak!"
Andini kembali diam, ia harus memikirkan semua ini secara matang, bagaimana pun ini menyangkut masa depannya. Dan masa depannya tidak boleh gagal sama sekali.
"Kamu ragu, Andin?" tanya Aditya, setelah melihat sang kekasih diliputi perasaan ragu dan takut, menurutnya.
"Aku bukan ragu, Adit. Hanya saja, ini telah beresiko jika tetap kita lanjutkan."
"Resiko bagaimana? Toh, kita aman-aman saja, kan?"
Yah, harus Andini akui, selama lebih dari 6 tahun ia berhubungan dengan Aditya, mereka tidak pernah bertengkar hebat, meski mereka harus menjalani hubungan yang rumit, dari pekerjaan sampai restu orang tua Aditya, sama sekali tidak menjadi rintangan bagi mereka, lalu sekarang? Mengapa ia harus takut seperti ini?
"Andin, dengar ... mungkin ini sedikit tidak masuk akal, tapi seperti yang sudah aku katakan tadi, aku dengan Nafis hanya sebatas nikah diatas kertas, dan aku sudah menentukan lama pernikahan kami, 6 bulan. Aku harap selama 6 bulan ini kamu akan sabar, ya Sayang."
"Kamu yakin, selama 6 bulan itu sama sekali tidak ada perasaan?"
"Yakin, Sayang. Kamu juga jangan ragu gitu, aku jadi gak tenang." Jujur saja, Aditya sangat takut jika pada akhirnya Andini memilih mengalah dan melepasnya, ia sangat tidak ingin seumur hidup dengan Nafis, gadis yang sama sekali tidak ia cintai. Membayangkan kehidupannya tanpa Andini saja, dadanya terasa sangat sesak.
"Kita tidak pernah tau takdir kita seperti apa, Adit. Jadi, jika suatu saat nanti nyatanya kita tidak bersama, kamu harus terima itu.
Aditya menatap tajam gadis yang duduk di sampingnya kini, ia sangat tidak suka pemikiran dari kekasihnya, ia yakin mereka akan bersama, jika nanti setelah 6 bulan, kedua orang tua nya tetap tidak setuju, maka jalan satu-satunya adalah, menikah meski tanpa restu orang tuanya. Mungkin ia akan terlihat sebagai anak yang tidak tau diri, tapi sungguh, ia sangat ingin membina sebuah keluarga bersama Andini, bukan dengan Nafis.
"Aku tidak suka kamu bicara seperti itu," bisik Aditya dengan tatapan tajam dan penuh penekanan disetiap katanya. Andini yang melihat itu nyalinya langsung ciut, berpacaran lama dengan Aditya ia bisa tau, apa akibat jika membuat laki-laki ini marah, terlebih lagi emosi yang tidak terkendali.
"Maaf," ucapan lirih itu menyadarkan Aditya, bahwa Andini sekarang telah merasa takut kepadanya.
"Sorry, Sayang. Aku gak maksud buat kamu takut, kamu ngerti kan maksud aku? Aku gak mau kamu berpikiran seperti itu, kita udah sejauh ini, jangan berhenti tiba-tiba. Kita cari solusinya, ya Sayang."
"O-oke, aku ngerti," jawab Andini gugup.
"Yaudah, aku pulang dulu. Besok kita jalan, yah! Aku jemput kamu jam 8 lagi, jaga kesehatan yah, jangan banyak pikiran. Love you."
Andini hanya menatap kepergian Aditya, setelah mobil yang di kendarai Aditya pergi, Andini langsung masuk ke dalam rumah, dan beristirahat.