"Nggak punya mata?! Nggak liat ada manusia sebesar ini? Matanya di mana?" hardik Alexandra kesal. Hancur sudah penampilannya hari ini, padahal ia sudah berdandan sejak jam lima pagi. Hari ini wawancara kerjanya. Tapi, penampilannya rusak karena tersiram segelas kopi hitam.
"Kau yang tidak punya mata, kalau mau melamun ya jangan sambil jalan. Melamun dulu, baru jalan, atau seharusnya tadi ketika kau bangun tidur ya habiskan lamunanmu dulu!" bentak pemuda yang baru saja Alexandra hardik.
Pemuda itu sebenarnya sangat tampan, dengan tinggi sekitar 180 CM ia tampak begitu gagah. Matanya yang coklat, dengan alis tegas dan tebal, hidung mancung dan bibir yang begitu sensual untuk seorang pria.
"Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau terpesona denganku, kan?" ujar pemuda itu sambil tersenyum nakal. Demi Tuhan, senyumnya membuat Alexandra terpukau, terlebih senyum pemuda itu dihiasi lesung pipi yang membuat segalanya sempurna.
Namun, beberapa saat kemudian Alexandra sadar jika saat ini seharusnya ia sedang marah, kenapa malah jadi terpaku dan terbius dengan senyum pemuda menyebalkan itu. Tampan tapi menyebalkan apa bagusnya, pikir Alexandra.
"Jangan mimpi, siapa juga yang terpesona? Aku hanya berpikir kenapa manusia seperti dirimu sangat menyebalkan juga tidak punya attitude! Kau lihat pakaianku kotor semua gara-gara kau menabrak dan menumpahkan kopiku!" pekik Alexandra.
Pemuda itu tertawa kecil, "Nona, dengarkan aku. Aku sedang berjalan dan mataku masih berfungsi dengan sangat baik. Aku melihatmu berjalan ke arahku sambil melamun dan kau yang menabrakku. Anak buahku bisa menjadi saksi," bantahnya masih dengan senyuman yang begitu menghanyutkan bagi Alexandra. Sementara beberapa lelaki dengan pakaian serba hitam yang berdiri di belakang pemuda itu hanya mengulum senyum.
"Apa kau tidak sadar jika kau tinggi dan ... ah, pokoknya kau yang salah!" Alexandra kehilangan kata. Dalam hati sebenarnya ia menyadari jika ia yang memang melamun dan tanpa sengaja menabrak pemuda itu. Jika ada yang harus marah-marah di sini harusnya pemuda itu, bukan dirinya.
"Pokoknya aku tidak mau tau, apa kau tau jika aku sangat menginginkan untuk bekerja di New Laa Rue Cosmetik ini? Sejak pagi aku sudah berdandan dan menyiapkan satu-satunya pakaian yang menurutku pantas, tapi sekarang lihat! Pakaianku kotor, bagaimana aku bisa mengikuti tes dan wawancara."
Pemuda itu tersenyum, "Ah, kau salah satu kandidat yang melamar di La Rue? Aku dengar CEO nya sangat tampan tapi juga galak dan sangat perfeksionis. Kau pasti langsung disuruh pulang dengan kondisi seperti ini. Ckckckck ... bagaimana jika kau pulang saja untuk mengganti pakaianmu?"
Alexandra menggelengkan kepalanya dengan sedih. "Pulang pun percuma, aku tidak mempunyai pakaian yang lebih baik. Lagi pula pasti aku akan kesiangan. Tes dan interview akan berlangsung satu jam lagi. Ini semua karena ulahmu yang menumpahkan kopi di pakaianku. Pokoknya kau harus ganti rugi!"
"Enak saja, kau yang tidak melihat kenapa aku yang harus ganti rugi? Kau yang jalan tidak lihat-lihat!"
"Ah, kalian orang kaya memang sama saja. Tidak pernah mau kalah dan selalu bersikap seenaknya!" ketus Alexandra. Suaranya bergetar dan air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.
Pemuda itu menghela napas panjang, dalam hati ia merasa kasian juga melihat Alexandra sedih dan putus asa. Ia pun mengambil dompet dari dalam sakunya lalu mengambil beberapa lembar uang dan mengulurkannya kepada Alexandra.
"Aku pinjamkan kau uang, di seberang gedung ini ada butik kecil yang sudah buka. Kau bisa ke sana dan membeli pakaian yang baru. Aku bekerja di lantai enam gedung ini. Jika kau diterima di La Rue kita akan bertemu kembali dan saat kau gajian kau bisa membayar utangmu," katanya.
Alexandra mengerutkan dahi, ia tampak menimbang. Alexandra bukan gadis yang mudah percaya pada orang. Ibunya selalu mengajarkan untuk selalu kuat dan juga tidak mudah percaya pada orang lain. Tapi, kondisinya sekarang ia dalam kondisi terjepit. Tidak mungkin ia mengikuti tes dengan pakaian kotor. Dan, memang pemuda itu harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Untuk pulang pasti tidak akan cukup waktu dan di rumah pun sudah tidak ada lagi pakaian yang bagus. Alexandra menarik napas panjang, ia menatap pemuda di hadapannya. Ia tampak tulus memberikan bantuan untuknya.
"Ak- aku terima bantuanmu, aku janji akan mengembalikan jika nanti aku diterima bekerja," katanya sambil menerima uang itu.
"Baiklah kalau begitu, semoga berhasil," ujar pemuda itu sambil mengedipkan sebelah matanya lalu melangkah pergi.
"Terima kasih, eh ... tungguu! Aku belum tau namamu!"
Namun pemuda itu tak peduli dengan seruan Alexandra. Gadis manis itu akhirnya memutuskan untuk cepat-cepat membeli pakaian baru dulu. Ia bergegas keluar dari gedung itu dan menuju butik yang tepat ada di seberang gedung La Rue.
Alexandra memilih satu blazer berwarna coklat susu dengan rok mini berwarna sama dan dalaman berwarna putih. Alexandra merasa kembali percaya diri kembali dengan setelan barunya.
"Langsung dipakai, Mbak?" tanya penjaga butik itu. Alexandra mengangguk, "Iya," jawabnya.
Setelah membayar, Alexandra pun segera kembali ke gedung New La Rue dan langsung ke lantai 6 gedung itu. Tiba-tiba ia ingat, pemuda tadi mengatakan jika ia bekerja di lantai 6. 'Ah, semoga saja mereka nanti bisa bertemu kembali,' doa Alexandra dalam hati.
Setelah mengisi tes yang diberikan, satu persatu para kandidat yang melamar posisi sebagai sekretaris dipanggil langsung ke ruangan CEO perusahaan itu. Hingga akhirnya giliran Alexandra.
Dengan penuh percaya diri dia pun masuk setelah mengetuk pintu sebelumnya. Namun rasa percaya diri Alaxendra luntur seketika, bahkan ia ingin tenggelam ke dasar bumi saat melihat siapa yang ada di dalam ruangan itu.
"Ka-kau ...."
"Namaku Evan Cruel Romano, tadi kau berteriak menanyakan namaku, bukan?"