Decakkan kesal mengudara,Dave membanting ringan iPad di ranjangnya.
Setelahnya, ia menyandarkarkan kepala sembari memijat pelan pangkal hidung. Rasa nyeri pada kepalanya kembali terasa setiap kali Dave berpikir tentang pesta tahunan di perusahaan.
Ia baru saja diberi kabar jika persiapan pesta sudah seratus persen selesai.
Tiga hari yang lalu, undangan exclusive bagi para petinggi dan kolega penting di perusahaan sudah dibagikan. Sebenarnya, semuanya berjalan dengan lancar. Hanya ada satu hal yang membuat pikiran Dave menjadi runyam.
Pesta tahunan perusahaan memang sudah rutin diadakan setiap satu tahun sekali. Di ujung musim penghujan, biasanya perusahaan akan merekrut karyawan baru secara besar-besaran.
Karena semua tahap ini sudah terlaksana dan para peggawai baru telah ditempatkan di tiap-tiap devisi yang terdapat kekosongan, petinggi mulai mendesak untuk segera mengadakan pesta tahunan.
Rapat satu minggu yang lalu memutuskan jika pesta tahunan perusahaan akan diadakan tepat di tanggal perusahaan didirikan. Yakni malam mendatang.
Hal yang Dave anggap sangat merepotkan adalah usulan dari beberapa petinggi yang pada akhirnya menjadi sebuah kesepakatan. Acara formal ini diwajibkan membawa pasangan. Sebenarnya, Dave bisa saja mengabaikan hal ini. Ia tidak akan mempermasalahkan jika hadir tanpa pasangan di pesta tahunan seperti yang lalu-lalu. Namun, ia harus mempertimbangkan banyak hal.
Kesuksesannya di usia yang terbilang muda mengundang rasa iri dan tak senang banyak petinggi.
Jika pada pesta tahunan kali ini Dave datang tanpa membawa pasangan, ia pasti akan menjadi gunjingan para petinggi perusahaan.
Dunia bisnis memang licik, semua hal akan dihalalkan untuk menjatuhkan seseorang yang keberadaanya terlalu mencekik. Dave memang lumpuh dan harus mengandalkan kursi roda, tetapi akal cerdik dan kemampuannya dalam berbisnis membuatnya mendominasi.
Selina mengintip dari sela-sela pintu kamar yang terbuka, gadis dengan pakaian kerja yang biasa dipakainya itu menatap lekat Dave yang tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia mengangkat kedua alis, sedari pagi pria itu masih setia di atas ranjang?
"Dave?" Selina mengangkat alis setelah mengudarakan panggilan.
Atensi Dave yang sebelumnya tertuju lurus ke depan, kini menoleh. Pria itu memusatkan atensi pada Selina yang masuk ke dalam kamar. Gadis itu membawa mangkuk berisi buah-buahan.
Selina malah merekahkan senyuman saat Deva menatapnya dengan pandangan tajam, pria itu pasti menunggunya datang. Salahkan
Lenia yang begitu berbaik hati mengajaknya ke pusat perbelanjaan.
"Masih ingat pekerjaanmu, huh?" tanya Dave dengan nada sinis. Pria itu bersedekap dada, lalu memalingkan wajah seperti sedia kala. Selina sama sekali tidak tersinggung, gadis dengan rambut panjang keriting gantung yang tergulung itu malah kembali merekahkan senyuman.
"Selamat pagi, Dave," sapanya ramah.
Dave lngsung merotasikan kedua bola mata. Basa-basi yang selalu gadis itu katakan terdengar begitu membosankan.
"Sudah hampir siang," desisnya memberi tanggapan. Nada bicara Dave sama sekali tidak berubah, pria itu masih begitu arogan. Selina sudah terbiasa, jadi tidak akan mempermasalahkan.
Mangkuk berisi aneka buah yang telah dipotong dadu itu Selina letakan di atas nakas.
Setelahnya, ia berdiri sembari dengan tubuh tertuju pada Deva . Pria itu menatapnya tanpa minat dengan kedua alis terangkat.
"Kau ingin ke luar kamar?" tawar Selina.
Pembawaan gadis itu memang begitu riang, bahkan guratan wajah penuh binar tak berniat hilang. Jiwa Selina seolah dibuat untuk mencairkan orang seperti Dave.
Pria itu berdesis, "Kau tahu bagaimana bosannya aku di dalam kamar di hari libur seperti ini?" tanya Dave kesal.
Selina tak langsung menanggapi, ia membiarkan
Dave meraih kembali iPad yang tergeletak di atas ranjang untuk ia letakan di sisi mangkuk buah-buahan.
"Itu karena ibumu meminta ditemani setengah hari ini. Maaf," jawab Selina, Mau bagaimanapun, ini jelas kesalahannya. Ia tidak memberitahu Dave saat akan pergi dengan Nyonya Lenia.
Dave kembali mengembuskan napas kesal, "Ambilkan kursi rodaku!" perintahnya mutlak.
Tiap-tiap perkataanya selalu melewati pemikiran yang begitu matang.
Dave mempertimbangkan Selina untuk ia bawa ke pesta tahunan. Walau gadis itu sangat kampungan, wajahnya cukup menjual.
Setidaknya tidak akan terlalu mempermalukan. Yang lebih menguntungkan lagi, jika Dave bisa membawa pasangan wanita, para petinggi perusahaan akan bungkam. Mereka tidak akan menjadikannya bahan pembicaraan.
Jadi, Dave harus membicarakan ini dengan Selina. Lalu memastikan gadis itu mengiyakan ajakannya.
Mendengar perintah itu, Selina langsung berjalan cepat menuju kursi roda yang tergeletak tak jauh dari ranjang. Ia sempat menatap keadaan sekitar, ada kemeja dan celana kerja yang tergeletak di atas ranjang. Itu pakaian yang ia pilihkan kemarin. Embusan napas mengudara, Dave memang selalu seperti ini.
Selina meletakan kursi roda itu di samping ranjang, lalu beralih menatap Selina yang sempat menatap mangkuk buah di atas nakas. Oh benar, Selina lupa jika tujuan utamanya kemari adalah untuk memastikan Dave memakan buah buatan ahli gizi yang Lenia pekerjakan beberapa hari lalu. Untuk memastikan anaknya sehat.
"Selina, habiskan buah ini terlebih dahulu agar aku tidak mendapat teguran dari ibumu." Selina meletakan mangkuk itu pada telapak tangan Dave, lalu menyodorkan sendok garpu pada pria itu. Decakkan tak senang mengudara, sifat aktif Selina selalu membuatnya merasa kesal.
Ia mengambil alih sendok garpu itu dengan sentakkan kecil, ekspresi wajahnya tetap tidak bersahabat. Namun Selina malah tersenyum begitu mendapati Dave menyendokkan satu potongan buah ke dalam mulutnya. Memang selalu seperti itu, tetap dilakukan walau dengan raut wajah kesal. Mungkin mulai sedikit lapar karena hari sudah beranjak siang.
"Aku akan membersihkan kamar sembari menunggu kau selesai makan," ujar Selina kembali. Wanita itu langsung berjalan menjauhi ranjang tanpa menunggu respon balasan pemilik kamar.
Mendapatinya, Dave hanya mengembuskan napas panjang. Selina adalah gadis paling lancang yang pernah ia kenal.
Walau begitu, ia terus memperhatikan langkah kaki kecil yang berjalan ke sana ke mari.
Selina mengambil beberapa pakaian yang tergeletak di dalam kamar, lalu meletakannya pada ranjang baju kotor.
Tak berselang lama, Dave mengumpat pelan saat Selina membuka lebar-lebar jendela besar dalam kamar. Jendela yang sejauh ini selalu dibuka dan ditutup oleh gadis itu sendiri. Selina tidak pernah membukanya, ia tidak terlalu senang dengan cahaya matahari langsung. Itu terlalu silau.
"Dave, aku harus membuka jendela agar oksigen yang kau hirup terasa segar," katanya.
Dave mengerutkan dahi, "Walau jendela tidak terbuka, napasku tidak memberat."
Mendengar itu, Selina menoleh, "Tidak memberat, tetapi terasa pengap."
Skak, ia tidak bisa membalas. Dave kalah beradu dialog dengan Selina untuk ke sekian kalinya. Kemampuan gadis itu dalam membungkam lawan bicaranya memang perlu diakui.
Tercipta hening beberapa menit, Dave menikmati buah dalam mangkuk sembari menatap Selina, sementara gadis itu tampak sedang menata ulang kemeja Dave berdasarkan warna di dalam lemari.
"Selina ," panggilnya. Nada bicara Dave yang terdengar netral berhasil membuat gadis itu menatapnya balik. Sangat jarang mendengar Dave berbicara tanpa meninggikkan suara.
"Ya?" Kedua alisnya serta terangkat sembari menatap pria itu.
"Kemari, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu," titahnya.
Perasaan Selina sedikit gusar karena tidak biasanya Deva berbicara dengan nada lembut.