Nafisa tercengang sendiri mendengar pernyataan dari Gea.
"Ma-maksudnya gimana tuh, Tante? Posisi karyawan dan bos?"
Sungguh, Nafisa sangat penasaran akan hal tersebut. Sejenak, ia merasa ada hal yang membuatnya tertarik untuk membahas itu semua.
Nafisa mengatur posisi tubuhnya sedikit condong. Ia pun sudah siap menunggu pembicaraan dari Gea.
"Jadi begini, Nak. Kamu belum dikasih tahu sama Wildan, ya?"
"Tidak, Tante. Makanya aku mau mendengar langsung dari Tante,"
"Setahun yang lalu, Wildan menerima karyawan yang namanya Nisa. Cewek yang sudah jadi pacarnya itu. Posisinya sama seperti kamu yang sebentar lagi akan jadi karyawannya Wildan juga,"
"Ta-tapi, Tante. Saya disini bukan berniat dari menjadi karyawannya Wildan terus menjadi pacarnya. Bukan, ya!" tepis Nafisa tak terima diperlakukan seperti itu.
Gea tertawa. Sementara Nafisa meringis mendengarnya. Wanita itu mengingat segala hal yang ia dengar dari mulutnya Nisa.
Nafisa sendiri baru sadar jika Nisa sendiri yang mengungkapkan secara langsung.
"Pacar rasa owner," kata Nisa beberapa saat lalu. Ucapan itu terngiang-ngiang diingatannya.
Disaat yang bersamaan, deruan mobil terdengar di luar rumah.
"Itu kayaknya Wildan, Tante,"
"Iya, Nak. Ayo kita keluar,"
"Tante, saya mau pamit sekalian ya,"
Gea tak punya pilihan lain. Dirinya terdiam kebingungan. Waktu yang terus berjalan, Wildan malah masuk lebih dulu. Ia menyapa lebih dulu mamanya yang berada di ruang tamu.
"Ma, gimana stok hari ini? Kiriman orang-orang ke luar daerah sudah aman gak?" tanya Wildan kegirangan.
"Kamu ini," sentak Gea memukul bahu anaknya. "Enak aja kamu ngomong kayak gini, mama yang repot kiri kanan ngurus ini itu,"
Wildan terkekeh tanpa rasa bersalah. Matanya lalu memindai ke arah Nafisa. Ia baru menyadari kehadiran wanita itu yang sejak tadi memilih menunduk memainkan ponselnya.
"Lah, dia datang ke rumah apa gak bantuin mama kah?" tanya Wildan mengendikkan dagunya ke arah Nafisa.
"Wildan, sopan lah!"
Gea jengkel ke anaknya yang menunjukkan sikap sok berkuasanya seperti itu. Beruntung Nafisa tak menyadari hal tersebut. Jika Nafisa tahu, mungkin wanita itu merasa sakit hati karena sikapnya Wildan yang terlihat kurang ajar.
"Tante, saya mau pamit pulang dulu. Mari," Nafisa menyahut pamit dan terkesiap menarik tangan Gea untuk berpamitan.
"Eh, kenapa pulang dulu, Nak. Bicara sama Wildan dulu," cegatnya berusaha menahan Nafisa tak langsung pulang.
"Sudah malam, Tante. Lagian apa lagi yang mau diceritakan sama Wildan? Semuanya sudah jelas kok, Tante. Aku sudah menerima pekerjaan dari Wildan. Soalnya aku juga butuh duit untuk menyambung hidup,"
Entah dari mana, Nafisa malah mengatakan sesuatu yang terdengar menceritakan masalah pribadinya. Dan Nafisa menyadari hal dimana mulutnya sudah blak-blakan mengutarakan masalah pribadinya.
Padahal, Nafisa sendiri sudah berusaha melayangkan dirinya agar tak banyak berbicara tentang masalah pribadinya. Pasalnya, Nafisa tak mau diketahui keuangan keluarganya yang kian memburuk.
"Kasihan kamu dan keluargamu, Nak. Kenapa kamu gak bilang? Besok kamu bisa masuk kerja. Kalau perlu Wildan akan memberikan gajimu lebih dulu," kata Gea dengan sekelumit wajah ibanya menatap Nafisa.
"Tante-"
"Nafisa, bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Wildan ikut iba melihat Nafisa. "Eh maksudnya bagaimana keadaan keluargamu di rumah? Kalian masih bisa menyalakan kompor?" tanya Wildan memperjelas perkataannya barusan.
Glek!
Nafisa betul-betul merutuki lidahnya yang begitu mudah berbicara seenak jdiTny.
"Nafisa bodoh!" gumam Nafisa sembari memukul jidatnya.
"Nafisa, jujur sama kita. Anggap aja kita ini sudah menjadi bagian dari keluargamu, Nak," desak Gea.
Nafisa spontan menggeleng cepat. Reaksi seperti itu membuat Gea tak bisa memaksa lebih jauh Nafisa berbicara.
"Mama sudah makan malam gak? Kalau belum nanti Wildan beliin sate ayam di tempat langganan. Mau gak?"
Entah dari mana, Wildan yang sejak tadi memutar otak tentang suatu hal, kini memulai caranya. Ia erbicara ke ammanya de gan memberikan sebuah kode mata penuh isyarat.
Hubungan anak dan ibu memang gak perlu diragukan. Gea langsung membalasnya dengan memberikan kedipan yang juga memberikan kode penuh isyarat.
Keduanya seolah lupa jika ada Nafisa diantara mereka berdua Namun beruntun takdir kode-kodean itu masih berpihak pada keduanya.
Nafisa tak melihatnya karena pandangan matanya tertuju ke arah lain.
"Boleh, Nak. Beliin mama sekarang. Perut sudah kelaparan. Jangan sampai marahnya mama kambuh,"
"Oke siap, Ma!" Wildan antusias dan ia menarik Nafisa agar keluar rumah dengannya.
Mendapatkan perlakuan seperti itu sontak membuat Nafisa mengelak. Ia berusaha meloloskan cengkraman tangannya Wildan namun sulit sekali dilepas. Mengingat tenaganya memang tak seberapa dengan lelaki itu.
"Ikut saja, Nak. Kamu mau pulang bukan? Lebih baik Wildan yang mengantarmu pulang. Kamu gak usah malu sama kita. Anggap saja semua yang kita lakukan ini untuk membantu sama lain. Ya?"
"Baiklah, Tante," pasrah Nafisa.
***
Tiga puluh menit, entah tujuan kemana lagi Wildan membawa Nafisa berkeliling jalanan. Akhirnya wanita itu geram sendiri.
Dengan sigapNafisa menaikkan helem kaca hitamnya. Ia langsung memukul emosi pundaknya Wildan dari belakang.
"Wildan! Lo mau bawa gue kemana sih sebenarnya?!"
"Astaga, bisa gak kamu kalau dijalana. gak usah bar-bar begitu? Kamu pikir gak sakit pundakku main dipukul aja?!" Wildan berbalik marah.
"Bodoh amat! Lo yang salah! Lo mau bawa gue pulang atau cuma mau cari angin? Atau ...,"
Nafisa mengantungkan ucapannya Pikirannya langsung berkelana ke hal yang lain.
"Apa?" tanya Wildan enteng. Lelaki itu masih fokus melihat lampu merah di depan.
"Ha!" Nafisa memekik keras diatas motor. "Jangan-jangan lo mau curi gue? Ngaku gak?! Makanya lo pura-pura tujuannya mau nganter gue pulang,"
Wildan meringis malu mendengarnya. Kepalanya mendongak ke samping kanan dan ke kiri. Detik berikutnya, begitu lampu hijau, Wildan langsung menderukan dengan kencang motornya.
Melesat dengan kecepatan tinggi, membuat Nafisa hampir jantungan di belakang. Ia secepatnya langsung merengkuh pinggangnya Wildan begitu erat.
"Wildan, astaga! Gue masih mau hidup!"
"Makanya jangan berisik. Mulutmu bikin malu tahu gak. Siapa juga yang mau nyulik kamu. Lo mah cewek dibawah standar. Kalau mau culik, mending cari cewek diatas rata-rata," sahut Wildan, hembusan nafas bicaranya saling beradu dengan hembusan angin malam.
Nafis terdiam membeku. Aliran darahnya seolah terhenti mendapatkan ucapan seprit itu. Entahlah, Wildan yang mungkin emosi atau berbicara sterlalu jujur, tetap saja perkataan tersebut membuat Nafisa tertampar sendiri.
"Iya juga, ya. Ngapain sih gue kayak orang panikan begini sama Wildan. Sebentar lagi dia bos aku juga. Harusnya gue tetap keep kalem lah," batin Nafisa sembari merutuki dirinya yang selalu saja mendahulukan paniknya.
"Sorry, gue jengkel soalnya lo gak antar gue pulang. Gue mau pulang ini. Tapi lo malah ngajak kemana-mana. Dipikir kalau keliling naik motor begini, kita gak makan angin?" tanya Nafisa menggerutu sebal.
"Siapa yang mau makan angin? Aku mau bawa kamu ke kafe jetsky dulu. Dinner bareng," jawab Wildan santai.